skip to main content

PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEER EDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV


Citation Format:
Abstract

PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEER
EDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV
Abstrak
Sosialisasi menjadi komunikasi persuasif yang paling sering dipilih oleh LSM maupun
pemerintah dalam mempersuasif masyarakat atas isu-isu tertentu seperti pencegahan HIV
melalui penggunaan kondom, sayangnya mensosialisasi penggunaan kondom bagi para Wanita
Penjaja Seks (WPS) tidak semudah mensosialisasikannya pada kelompok masyarakat lainnya.
Sikap skeptis ditunjukkan WPS akibat tanggapan masyarakat atas pekerjaan mereka serta
banyaknya salah kaprah mengenai penyakit HIV yang membuat WPS menutup diri dari
informasi luar. Hadirnya Peer Educator (PE) yang merupakan WPS juga dalam program peer
education diharapkan dapat membantu mempersuasi WPS menggunakan kondom. masalah
yang muncul: Bagaimana cara PE tersebut mempersuasif WPS lainnya hingga tujuan merubah
perilaku dapat tercapai?
Tujuan penelitian ini menggambarkan pengalaman komunikasi WPS sebagai PE dalam
mempersuasif WPS lainnya untuk menggunakan kondom 100% dalam upaya pencegahan HIV
serta bagaimana seorang PE menjadi persuader yang baik. Upaya untuk menjawab
permasalahan dan tujuan penelitian dilakukan dengan menggunakan teori dialog dan retortika
ajakan serta teori kompetensi komunikasi. Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif dengan
metode fenomenologi untuk mengungkap pengalaman komunikasi PE kepada peer-nya.
Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana komunikan bertipe skeptis seperti WPS
dapat menerima informasi dari pihak luar dengan cara persuasif menggunakan ajakan serta
dialog dimana dalam interaksi tersebut WPS dapat mengemukakan pendapat, alasan, serta
pandangannya terhadap isu yang diangkat seperti penggunaan kondom untuk mencegah HIV.
Selain itu kompetensi komunikasi PE sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi persuasif
dimana ketiga faktor: pengetahuan, motivasi, serta keterampilan menjadi satu kesatuan yang
harus dimiliki PE secara maksimal. Perlu adanya pemahaman mengenai peran PE oleh setiap
WPS sehingga peran WPS tidak hanya penyedia kondom melainkan sesuai dengan tujuan
adanya PE yaitu mengedukasi dan mempersuasif sesamanya untuk merubah perilaku.
Kata kunci : Peer Educator; WPS; kompetensi komunikasi
THE EXPERIENCE OF WPS COMMUNICATION AS PEER EDUCATOR
IN PREVENTION OF HIV
Abstract
This research aims to describe the communication between WPS (Wanita Pekerja Seks) as Peer
Educator (PE) and her peer, the another WPS about using condom to prevention of HIV and to
explain how to be a good persuader in this situation. This research based on the experience
communication of female sex worker in Resosialisasi Argorejo, Semarang. Using the Theory
Rhetoric of Persuasion, Theory Dialog and Theory Communication Competence for answer the
question of this research. The type of this research is qualitative descriptive by using
phenomenology method. Phenomenological approach is used to reveal experience
communication of PE to her peer.
The result of this research is how to persuade the communicant of skeptic type like WPS to
accept the information from the others is with persuasion and dialog in interaction so WPS can
tell what her opinion, reason, and perspective, about using condom for prevention of HIV.
Moreover, communication competence of PE is affective for the success of persuasive
communication, which three factors of communication competence : knowledge, motivation,
and skill is union and PE must have them maximum. There needs to be an understanding of the
rule that PE by any WPS, that PE isn’t only just a condom providers but according to purpose
of PE is to educate and persuasion the other.
Keywords: Peer Educator; WPS; communication competence
I. PENDAHULUAN
Sosialisasi merupakan bentuk komunikasi persuasif yang sering dipilih pemerintah maupun
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada masyarakat dalam berbagai isu penting. Meski
begitu, tidak sedikit dari sosialisasi tersebut yang menciptakan polemik dimasyarakat karena
menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah sosialisasi penggunaan kondom
dimasyarakat. Ada yang mendukung tindakan tersebut, namun tidak sedikit yang mengecam
tindakan tersebut.
Human Immunedefficiency Virus atau yang disingkat HIV adalah penyakit mematikan
yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Berdasarkan
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI pada laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasus
baru HIV/AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 adalah 21.511 kasus HIV
dan 5.686 kasus AIDS. Provinsi Jawa Tengah pun tidak luput dari penyakit mematikan ini.
Dalam artikel berita di lensaindonesia.com, Jawa Tengah malahan menjadi peringkat ke-6
nasional dari segi jumlah kasus HIV/AIDS setelah Bali, dengan jumlah penderita hingga Juni
2012 yang baru terungkap mencapai 5.301 orang dari estimasi sebanyak 10.815 kasus.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jateng, Ridha Citra Turyani
mengatakan, jumlah penderita tersebut masih separuh ditemukan karena penyakit yang
mematikan ini masih sangat sulit terdeteksi bagaikan gunung es. (Gawat! 436 Ibu Rumah
Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. (2012). Dalam
http://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jateng-terjangkithivaids.
html diunduh 3 September 2013 pukul 20.30 WIB)
Terdapat banyak penyebab penularan HIV, antara lain : ibu hamil dan pemberian ASI dari ibu
yang menjadi penderita HIV kepada bayi, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan yang
menduduki persentase terbesar (70%-80%) adalah hubungan seksual. Menteri Kesehata
Nafsiah Mboi menanggapi bahwa salah satu penyebab mengapa angka penderita HIB masih
tinggi adalah karena masih rendahnya kesadara masyarakat terhadap seks berisiko. Tingginya
penulara HIV dan AIDS disebabkan oleh banyaknya pria dewasa yang memelihara kebiasaan
“belanja seks” dan kurangnya penggunaan kondom. Menurutnya perilaku negatif ini
menyebabkan 1,6 juta penduduk menikah dengan pria berisiko menderita HIV dan AIDS.
(HIV/AIDS Tinggi karena Pria Doyan Jajan Seks. (2012) dalam
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/173412771/HIVAIDS-Tinggi-karena-Pria-Doyan-
Jajan-Seks diunduh 3 September 2013 pukul 20.35 WIB).
Sosialisasi penggunaan kondom yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM
khususnya bidang kesehatan guna mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit HIV
akibat “kebiasaan jajan pria” ini sayangnya tidak berjalan mulus, timbulnya pro dan kontra
membuat sosialisasi ini kurang berdampak untuk menekan angka penderita HIV. Kini tindakan
sosialisasi penggunaan kondom sebagai pencegahan penyakit HIV dilakukan di beberapa
tempat lokalisasi (atau saat ini disebut resosialisasi), dengan kegiatan peer education.
PE sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi berupa peer education yang
dipaparkan diatas, menunjukkan betapa penting peranannya dalam mencapai keberhasilan
dalam mempengaruhi perilaku seseorang/kelompok, dalam hal ini yaitu WPS maupun PSK.
LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang yang merupakan salah satu LSM yang bergerak
di bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikan
kelompok Risiko Tinggi (RisTi) di wilayah Kota Semarang. Salah satu bentuk kegiatan
pencegahan HIV yang dilakukan oleh LSM Griya Asa PKBI bekerjasama dengan FHI (Family
Health International) pada tahun 2003 adalah mengunakan peer education sebagai salah satu
strategi komunikasi dalam pencegahan HIV di Lokalisasi Sunan Kuning. Alasan awal mengapa
dibentuk PE karena PE yang berasal dari sesama WPS, karena WPS sendiri memiliki
kecendurungan menutup diri, namun lebih terbuka dengan lingkungan dalamnya, khususnya
sesama WPS. Hal tersebut tentu akan memudahkan LSM dalam mempengaruhi WPS untuk
merubah tingkah lakunya sesuai dengan program pencegahan HIV. Selain itu, pemikiran
lainnya bahwa tidak selamanya LSM Griya Asa ada di daerah lokalisasi tersebut. Harapannya,
dengan adanya PE, edukasi mengenai program pencegahan HIV akan terus berlangsung meski
LSM tidak lagi ada disana.
Sayangnya terdapat lack of communicator di Lokalisasi Sunan Kuning. Sejak
dibentuknya kegiatan peer education pada tahun 2003 hingga saat ini 2013, tercatat sebanyak
60 WPS sebagai PE. Namun kenyataannya dari 60 WPS tersebut, kurang lebih hanya 15 orang
yang aktif sebagai PE.
Peer Educator yang terdapat di Lokalisasi Sunan Kuning mempunyai fungsi untuk
mengajak dan mengedukasi sesama WPS, untuk menjaga kesehatan reproduksi dengan
menggunakan kondom dan menjalani scanning secara rutin. Sayangnya fungsi tersebut kini
beralih. “PE di Lokalisasi Sunan Kuning kini hanyalah penyetok kondom saja,” pengakuan Ari,
salah satu relawan LSM Griya Asa yang mengikuti program ini sejak awal. Menurutnya
dibutuhkan peran aktif dan dukungan penuh dari para pengurus resos dalam menjalankan
program PE tersebut.
Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana interaksi yang dilakukan WPS
sebagai PE dalam mempersuasif sesama WPS serta bagaimana kompetensi komunikasi yang
seharusnya dimiliki WPS tersebut sebagai persuader yang baik. Dalam menjawab pertanyaan
tersebut peneliti melakukan penelitian kepada 6 (enam) WPS sebagai informan dimana mereka
terdiri dari 2 (dua) orang yang berperan sebagai peer, 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE
non aktif, dan 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE aktif. Penelitian ini sendiri dilakukan di
Lokalisasi Sunan Kuning, dimana peer education pertama kali diterapkan dilingkungan
lokalisasi di Semarang. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan
metode fenomenologi dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif dapat dimengerti
merupakan proses aktif dalam pemberian makna dari suatu pengalaman. Peneliti menggunakan
paradigma ini dan berusaha mengungkapkan dan memahami pengalaman WPS sebagai peer PE
dalam upaya pencegahan HIV.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa catatan di lapangan dan hasil
wawancara (Denscombe, 2007:289). Studi ini berusaha mendeskripsikan pemahaman wanita
WPS sebagai PE dan menyimpulkan pentingnya peran peer educator sebagai komunikator
khususnya dalam upaya merubah tingkah laku sebagai tujuan pencegahan HIV. Sehingga dapat
dirumuskan pengalaman WPS sebagai PE dalam upaya pencegahan HIV.
II. ISI
Setelah melakukan depth interview, peneliti kemudian melakukan deskripsi tekstural dan
struktural dari hasil wawancara tersebut. Setelah individual textural-structural description
tersusun, maka dibuat suatu composite description dari makna dan esensi pengalaman sehingga
menampilkan gambaran pengalaman kelompok sebagai satu kesatuan. Sehingga tahap akhir
dari studi fenomenologi adalah mempersatukan pandangan dari deskripsi tekstural dan
struktural guna membangun sintesis makna dan intisari dari sebuah fenomena dan pengalaman
(Moustakas, 1994:181).
Dalam penelitian didapatkan pemahaman WPS mengenai peran PE sangat
mempengaruhi keputusannya untuk mengikuti arahan dari PE atau tidak. Ketika seorang WPS
menganggap PE hanyalah seorang “penyetok” kondom maka dirinya merasa tidak perlu
terbuka kepada PE mengenai kesehatan reproduksinya. Baginya keputusan menggunakan
kondom merupakan keputusan pribadi dimana tidak seorang pun berhak mendiktenya.
Selain pemahaman peran PE di lingkungan resos, penelitian ini juga mendapati
bagaimana interaksi yang dilakukan antara PE dan WPS. Dalam mempersuasif WPS, PE perlu
memulai interaksi dengan menyatakan pandangannya mengenai kegunaan kondom, bagaimana
manfaat dari penggunaan kondom 100%, dan bagaimana dampak yang dirasakan PE secara
pribadi selama menggunakan kondom 100%. Penjelasan tersebut dilakukan PE sebagai bentuk
persuasif menggunakan kalimat mengajak dimana PE tidak serta merta memaksa WPS
menggunakan kondom, tapi sebaliknya membiarkan WPS memutuskan menggunakan kondom
100% secara pribadi meski harapan dari PE mereka mengikuti program pencegahan tersebut.
Ketika timbul konflik diantara PE dan WPS, PE dan PE, bahkan PE dengan pihak LSM
maupun resos, dialog menjadi pilihan utama sebagai problem solving, dimana setiap pihak yang
berselisih paham dapat bebas mengutarakan pendapat dan alasannya sesuai dengan konteks
yang menjadi masalah. Seperti halnya ketika ada WPS yang menolak menggunakan kondom,
PE akan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau menggunakan kondom. Terjepitnya WPS
akan kebutuhan yang semakin meningkat serta kondisi sepi tamu membuat WPS seringkali
berkompromi dalam menggunakan kondom atau tidak. Setelah mendengarkan penjelasan WPS
tersebut, PE kemudian memilih mengutarakan alasan-alasan yang rasional mengapa WPS tetap
harus menggunakan kondom, seperti bagaimana penyakit HIV saat ini belum ada obat yang
dapat menyembuhkannya, sehingga berapa pun uang yang dimiliki WPS tidak akan bisa
menyembuhkannya ketika terjangkit HIV. Dengan penjelasan-penjelasan yang rasional serta
menyertakan contoh dan trik-trik (merayu tamu menggunakan kondom atau menggunakan
kondom wanita) akan membuat WPS mau terbuka atas pendapat orang lain (PE) dan mengikuti
apa yang PE sampaikan karena merasa itu juga untuk kesehatan reproduksi WPS itu sendiri.
Kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang PE dapat dipenuhi ketika
faktor-faktor dari kompetensi komunikasi tersebut dimiliki secara keseluruhan. pengetahuan,
motivasi, serta keahlian komunikasi harus dimiliki PE untuk dapat menjadikannya seorang
persuader yang berhasil. ketika seorang PE kurang memiliki kompetensi komunikasi maka
dirinya pun masuk kedalam kategori PE non aktif. Adanya trauma yang dimiliki ketika
menghadapi respon negatif WPS ketika sedang dipersuasif menjadi salah satu alasan mengapa
seorang PE menjadi non aktif.
III. PENUTUP
Komunikasi merupakan cara terbaik dalam mempersuasif seseorang agar mau merubah
perilakunya sesuai dengan harapan yang diinginkan. Meski demikian tidak semua komunikasi
dapat berhasil. Banyaknya elemen dalam komunikasi memiliki peran tersendiri dalam mecapai
keberhasilan, namun dalam komunikasi persuasif, peran seorang komunikator mengambil andil
paling besar dibandingkan elemen komunikasi yang lainnya.
Keberhasilan seorang WPS sebagai PE didalam mempersuasif WPS untuk mengikuti
program pencegahan HIV dengan cara menggunakan kondom 100% perlu didukung oleh
segala pihak, tidak hanya bagaimana seorang PE menjalankan tugas dan tanggungjawabnya,
melainkan juga respon positif dari WPS lain sebagai peer-nya serta bagaimana LSM serta
pengurus resos yang konsen dalam memberdayakan PE dimana terus meng-upgrade PE
khususnya agar memiliki kompetensi komunikasi adalah faktor penentu keberhasilan program
peer education di lingkungan resosialisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aw., Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu
Jans, Molly. (1999). Comm 3210: Human Commucation Theory, Martin Buber’s Dialogic
Communication. Research Report. University of Colorado at Boulder
Kuswarno.Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya Padjadjaran
Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Theories of Human Communication (9th
edition) Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh : Mohammad Yusuf Hamdan) . Jakarta:
Salemba Humanika
Miller, Robert and Williams, Gary. (2004). The 5 Paths To Persuasion: The Art of Selling Your
Message. Summaries.com
Moleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Moustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publications,
Inc.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKIS)
Rahmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Tubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia. (1994). Human Communication:Prinsip-Prinsip Dasar.
(diterjemahkan oleh: Dr. Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
West, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Theory: Analysis and Application (3rd
edition). (diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer). Jakarta : Salemba
Humanika
Jurnal
Agustina, Rakhmawati. (2011). Pelaksanaan Kegiatan Peer Educator Dalam Upaya Pencegahan HIV
dan AIDS di SMK Ibu Kartini Kota Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas Diponegoro
Ika Setya Purwanti dan Rika Suarniati, The Indonesian Journal of Public Health vol. 2 no. 3, Mar.
2006 : 98
Jubaedah, Edah. (2009). Jurnal Ilmu Administrasi (pdf), Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan dan
Kompetensi Komunikasi Dalam Organisasi. 370-375
Murti, Elly Swandewi,dkk. (2006). Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer Education Pada
Kelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB Paru. Berita
Kedokteran Mayarakat, Vol. 22 No. 3 September 2006, hal 128-134
Zuhriyyah, L.Z. Penggunaan Kondom pada Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Kawasan Resosialisasi
Gambilangu Kabupaten Kendal Tahun 2010. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri
Semarang
Internet
Indah,dkk. (2009). Peran Komunitas AIDS Peduli HIV/AIDS. Dalam
http://theonlinejournalism.blogspot.com/2009/01/hivaids-siapkah-solomelawan_
13.html 21/05/2013. Diunduh pada 20 Mei 2013 pukul 20.45 WIB
Farihah. (2010). Dampak Psikologis PSK. Dalam
http://ulfahfarihah51.blogspot.com/2011/07/dampak-psikologis-yang-dialami-psk.html.
Diunduh pada 23 Mei 2013 pukul 18.30 WIB
Peer Education (2000). Dalam http://www.unicef.org/lifeskills/index_12078.html. Diunduh 2
Juni 2013 pukul 17.20 WIB
Iriyanto,Yuwana. (2011). Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. Dalam
http://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jatengterjangkit-
hivaids.html. Diunduh 3 September 2013 pukul 23.00 WIB

Fulltext View|Download

Last update:

No citation recorded.

Last update:

No citation recorded.