BibTex Citation Data :
@article{IO4321, author = {Maharani Easter and Tandiyo Pradekso and Turnomo Rahardjo}, title = {PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEER EDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV}, journal = {Interaksi Online}, volume = {2}, number = {1}, year = {2014}, keywords = {}, abstract = { PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEER EDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIV Abstrak Sosialisasi menjadi komunikasi persuasif yang paling sering dipilih oleh LSM maupun pemerintah dalam mempersuasif masyarakat atas isu-isu tertentu seperti pencegahan HIV melalui penggunaan kondom, sayangnya mensosialisasi penggunaan kondom bagi para Wanita Penjaja Seks (WPS) tidak semudah mensosialisasikannya pada kelompok masyarakat lainnya. Sikap skeptis ditunjukkan WPS akibat tanggapan masyarakat atas pekerjaan mereka serta banyaknya salah kaprah mengenai penyakit HIV yang membuat WPS menutup diri dari informasi luar. Hadirnya Peer Educator (PE) yang merupakan WPS juga dalam program peer education diharapkan dapat membantu mempersuasi WPS menggunakan kondom. masalah yang muncul: Bagaimana cara PE tersebut mempersuasif WPS lainnya hingga tujuan merubah perilaku dapat tercapai? Tujuan penelitian ini menggambarkan pengalaman komunikasi WPS sebagai PE dalam mempersuasif WPS lainnya untuk menggunakan kondom 100% dalam upaya pencegahan HIV serta bagaimana seorang PE menjadi persuader yang baik. Upaya untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian dilakukan dengan menggunakan teori dialog dan retortika ajakan serta teori kompetensi komunikasi. Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif dengan metode fenomenologi untuk mengungkap pengalaman komunikasi PE kepada peer-nya. Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana komunikan bertipe skeptis seperti WPS dapat menerima informasi dari pihak luar dengan cara persuasif menggunakan ajakan serta dialog dimana dalam interaksi tersebut WPS dapat mengemukakan pendapat, alasan, serta pandangannya terhadap isu yang diangkat seperti penggunaan kondom untuk mencegah HIV. Selain itu kompetensi komunikasi PE sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi persuasif dimana ketiga faktor: pengetahuan, motivasi, serta keterampilan menjadi satu kesatuan yang harus dimiliki PE secara maksimal. Perlu adanya pemahaman mengenai peran PE oleh setiap WPS sehingga peran WPS tidak hanya penyedia kondom melainkan sesuai dengan tujuan adanya PE yaitu mengedukasi dan mempersuasif sesamanya untuk merubah perilaku. Kata kunci : Peer Educator; WPS; kompetensi komunikasi THE EXPERIENCE OF WPS COMMUNICATION AS PEER EDUCATOR IN PREVENTION OF HIV Abstract This research aims to describe the communication between WPS (Wanita Pekerja Seks) as Peer Educator (PE) and her peer, the another WPS about using condom to prevention of HIV and to explain how to be a good persuader in this situation. This research based on the experience communication of female sex worker in Resosialisasi Argorejo, Semarang. Using the Theory Rhetoric of Persuasion, Theory Dialog and Theory Communication Competence for answer the question of this research. The type of this research is qualitative descriptive by using phenomenology method. Phenomenological approach is used to reveal experience communication of PE to her peer. The result of this research is how to persuade the communicant of skeptic type like WPS to accept the information from the others is with persuasion and dialog in interaction so WPS can tell what her opinion, reason, and perspective, about using condom for prevention of HIV. Moreover, communication competence of PE is affective for the success of persuasive communication, which three factors of communication competence : knowledge, motivation, and skill is union and PE must have them maximum. There needs to be an understanding of the rule that PE by any WPS, that PE isn’t only just a condom providers but according to purpose of PE is to educate and persuasion the other. Keywords: Peer Educator; WPS; communication competence I. PENDAHULUAN Sosialisasi merupakan bentuk komunikasi persuasif yang sering dipilih pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada masyarakat dalam berbagai isu penting. Meski begitu, tidak sedikit dari sosialisasi tersebut yang menciptakan polemik dimasyarakat karena menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah sosialisasi penggunaan kondom dimasyarakat. Ada yang mendukung tindakan tersebut, namun tidak sedikit yang mengecam tindakan tersebut. Human Immunedefficiency Virus atau yang disingkat HIV adalah penyakit mematikan yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Berdasarkan Ditjen PP dan PL Kemenkes RI pada laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasus baru HIV/AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 adalah 21.511 kasus HIV dan 5.686 kasus AIDS. Provinsi Jawa Tengah pun tidak luput dari penyakit mematikan ini. Dalam artikel berita di lensaindonesia.com, Jawa Tengah malahan menjadi peringkat ke-6 nasional dari segi jumlah kasus HIV/AIDS setelah Bali, dengan jumlah penderita hingga Juni 2012 yang baru terungkap mencapai 5.301 orang dari estimasi sebanyak 10.815 kasus. Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jateng, Ridha Citra Turyani mengatakan, jumlah penderita tersebut masih separuh ditemukan karena penyakit yang mematikan ini masih sangat sulit terdeteksi bagaikan gunung es. (Gawat! 436 Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. (2012). Dalam http://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jateng-terjangkithivaids. html diunduh 3 September 2013 pukul 20.30 WIB) Terdapat banyak penyebab penularan HIV, antara lain : ibu hamil dan pemberian ASI dari ibu yang menjadi penderita HIV kepada bayi, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan yang menduduki persentase terbesar (70%-80%) adalah hubungan seksual. Menteri Kesehata Nafsiah Mboi menanggapi bahwa salah satu penyebab mengapa angka penderita HIB masih tinggi adalah karena masih rendahnya kesadara masyarakat terhadap seks berisiko. Tingginya penulara HIV dan AIDS disebabkan oleh banyaknya pria dewasa yang memelihara kebiasaan “belanja seks” dan kurangnya penggunaan kondom. Menurutnya perilaku negatif ini menyebabkan 1,6 juta penduduk menikah dengan pria berisiko menderita HIV dan AIDS. (HIV/AIDS Tinggi karena Pria Doyan Jajan Seks. (2012) dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/173412771/HIVAIDS-Tinggi-karena-Pria-Doyan- Jajan-Seks diunduh 3 September 2013 pukul 20.35 WIB). Sosialisasi penggunaan kondom yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM khususnya bidang kesehatan guna mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit HIV akibat “kebiasaan jajan pria” ini sayangnya tidak berjalan mulus, timbulnya pro dan kontra membuat sosialisasi ini kurang berdampak untuk menekan angka penderita HIV. Kini tindakan sosialisasi penggunaan kondom sebagai pencegahan penyakit HIV dilakukan di beberapa tempat lokalisasi (atau saat ini disebut resosialisasi), dengan kegiatan peer education. PE sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi berupa peer education yang dipaparkan diatas, menunjukkan betapa penting peranannya dalam mencapai keberhasilan dalam mempengaruhi perilaku seseorang/kelompok, dalam hal ini yaitu WPS maupun PSK. LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang yang merupakan salah satu LSM yang bergerak di bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikan kelompok Risiko Tinggi (RisTi) di wilayah Kota Semarang. Salah satu bentuk kegiatan pencegahan HIV yang dilakukan oleh LSM Griya Asa PKBI bekerjasama dengan FHI (Family Health International) pada tahun 2003 adalah mengunakan peer education sebagai salah satu strategi komunikasi dalam pencegahan HIV di Lokalisasi Sunan Kuning. Alasan awal mengapa dibentuk PE karena PE yang berasal dari sesama WPS, karena WPS sendiri memiliki kecendurungan menutup diri, namun lebih terbuka dengan lingkungan dalamnya, khususnya sesama WPS. Hal tersebut tentu akan memudahkan LSM dalam mempengaruhi WPS untuk merubah tingkah lakunya sesuai dengan program pencegahan HIV. Selain itu, pemikiran lainnya bahwa tidak selamanya LSM Griya Asa ada di daerah lokalisasi tersebut. Harapannya, dengan adanya PE, edukasi mengenai program pencegahan HIV akan terus berlangsung meski LSM tidak lagi ada disana. Sayangnya terdapat lack of communicator di Lokalisasi Sunan Kuning. Sejak dibentuknya kegiatan peer education pada tahun 2003 hingga saat ini 2013, tercatat sebanyak 60 WPS sebagai PE. Namun kenyataannya dari 60 WPS tersebut, kurang lebih hanya 15 orang yang aktif sebagai PE. Peer Educator yang terdapat di Lokalisasi Sunan Kuning mempunyai fungsi untuk mengajak dan mengedukasi sesama WPS, untuk menjaga kesehatan reproduksi dengan menggunakan kondom dan menjalani scanning secara rutin. Sayangnya fungsi tersebut kini beralih. “PE di Lokalisasi Sunan Kuning kini hanyalah penyetok kondom saja,” pengakuan Ari, salah satu relawan LSM Griya Asa yang mengikuti program ini sejak awal. Menurutnya dibutuhkan peran aktif dan dukungan penuh dari para pengurus resos dalam menjalankan program PE tersebut. Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana interaksi yang dilakukan WPS sebagai PE dalam mempersuasif sesama WPS serta bagaimana kompetensi komunikasi yang seharusnya dimiliki WPS tersebut sebagai persuader yang baik. Dalam menjawab pertanyaan tersebut peneliti melakukan penelitian kepada 6 (enam) WPS sebagai informan dimana mereka terdiri dari 2 (dua) orang yang berperan sebagai peer, 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE non aktif, dan 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE aktif. Penelitian ini sendiri dilakukan di Lokalisasi Sunan Kuning, dimana peer education pertama kali diterapkan dilingkungan lokalisasi di Semarang. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan metode fenomenologi dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif dapat dimengerti merupakan proses aktif dalam pemberian makna dari suatu pengalaman. Peneliti menggunakan paradigma ini dan berusaha mengungkapkan dan memahami pengalaman WPS sebagai peer PE dalam upaya pencegahan HIV. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa catatan di lapangan dan hasil wawancara (Denscombe, 2007:289). Studi ini berusaha mendeskripsikan pemahaman wanita WPS sebagai PE dan menyimpulkan pentingnya peran peer educator sebagai komunikator khususnya dalam upaya merubah tingkah laku sebagai tujuan pencegahan HIV. Sehingga dapat dirumuskan pengalaman WPS sebagai PE dalam upaya pencegahan HIV. II. ISI Setelah melakukan depth interview, peneliti kemudian melakukan deskripsi tekstural dan struktural dari hasil wawancara tersebut. Setelah individual textural-structural description tersusun, maka dibuat suatu composite description dari makna dan esensi pengalaman sehingga menampilkan gambaran pengalaman kelompok sebagai satu kesatuan. Sehingga tahap akhir dari studi fenomenologi adalah mempersatukan pandangan dari deskripsi tekstural dan struktural guna membangun sintesis makna dan intisari dari sebuah fenomena dan pengalaman (Moustakas, 1994:181). Dalam penelitian didapatkan pemahaman WPS mengenai peran PE sangat mempengaruhi keputusannya untuk mengikuti arahan dari PE atau tidak. Ketika seorang WPS menganggap PE hanyalah seorang “penyetok” kondom maka dirinya merasa tidak perlu terbuka kepada PE mengenai kesehatan reproduksinya. Baginya keputusan menggunakan kondom merupakan keputusan pribadi dimana tidak seorang pun berhak mendiktenya. Selain pemahaman peran PE di lingkungan resos, penelitian ini juga mendapati bagaimana interaksi yang dilakukan antara PE dan WPS. Dalam mempersuasif WPS, PE perlu memulai interaksi dengan menyatakan pandangannya mengenai kegunaan kondom, bagaimana manfaat dari penggunaan kondom 100%, dan bagaimana dampak yang dirasakan PE secara pribadi selama menggunakan kondom 100%. Penjelasan tersebut dilakukan PE sebagai bentuk persuasif menggunakan kalimat mengajak dimana PE tidak serta merta memaksa WPS menggunakan kondom, tapi sebaliknya membiarkan WPS memutuskan menggunakan kondom 100% secara pribadi meski harapan dari PE mereka mengikuti program pencegahan tersebut. Ketika timbul konflik diantara PE dan WPS, PE dan PE, bahkan PE dengan pihak LSM maupun resos, dialog menjadi pilihan utama sebagai problem solving, dimana setiap pihak yang berselisih paham dapat bebas mengutarakan pendapat dan alasannya sesuai dengan konteks yang menjadi masalah. Seperti halnya ketika ada WPS yang menolak menggunakan kondom, PE akan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau menggunakan kondom. Terjepitnya WPS akan kebutuhan yang semakin meningkat serta kondisi sepi tamu membuat WPS seringkali berkompromi dalam menggunakan kondom atau tidak. Setelah mendengarkan penjelasan WPS tersebut, PE kemudian memilih mengutarakan alasan-alasan yang rasional mengapa WPS tetap harus menggunakan kondom, seperti bagaimana penyakit HIV saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkannya, sehingga berapa pun uang yang dimiliki WPS tidak akan bisa menyembuhkannya ketika terjangkit HIV. Dengan penjelasan-penjelasan yang rasional serta menyertakan contoh dan trik-trik (merayu tamu menggunakan kondom atau menggunakan kondom wanita) akan membuat WPS mau terbuka atas pendapat orang lain (PE) dan mengikuti apa yang PE sampaikan karena merasa itu juga untuk kesehatan reproduksi WPS itu sendiri. Kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang PE dapat dipenuhi ketika faktor-faktor dari kompetensi komunikasi tersebut dimiliki secara keseluruhan. pengetahuan, motivasi, serta keahlian komunikasi harus dimiliki PE untuk dapat menjadikannya seorang persuader yang berhasil. ketika seorang PE kurang memiliki kompetensi komunikasi maka dirinya pun masuk kedalam kategori PE non aktif. Adanya trauma yang dimiliki ketika menghadapi respon negatif WPS ketika sedang dipersuasif menjadi salah satu alasan mengapa seorang PE menjadi non aktif. III. PENUTUP Komunikasi merupakan cara terbaik dalam mempersuasif seseorang agar mau merubah perilakunya sesuai dengan harapan yang diinginkan. Meski demikian tidak semua komunikasi dapat berhasil. Banyaknya elemen dalam komunikasi memiliki peran tersendiri dalam mecapai keberhasilan, namun dalam komunikasi persuasif, peran seorang komunikator mengambil andil paling besar dibandingkan elemen komunikasi yang lainnya. Keberhasilan seorang WPS sebagai PE didalam mempersuasif WPS untuk mengikuti program pencegahan HIV dengan cara menggunakan kondom 100% perlu didukung oleh segala pihak, tidak hanya bagaimana seorang PE menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, melainkan juga respon positif dari WPS lain sebagai peer-nya serta bagaimana LSM serta pengurus resos yang konsen dalam memberdayakan PE dimana terus meng-upgrade PE khususnya agar memiliki kompetensi komunikasi adalah faktor penentu keberhasilan program peer education di lingkungan resosialisasi. DAFTAR PUSTAKA Aw., Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu Jans, Molly. (1999). Comm 3210: Human Commucation Theory, Martin Buber’s Dialogic Communication. Research Report. University of Colorado at Boulder Kuswarno.Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya Padjadjaran Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Theories of Human Communication (9th edition) Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh : Mohammad Yusuf Hamdan) . Jakarta: Salemba Humanika Miller, Robert and Williams, Gary. (2004). The 5 Paths To Persuasion: The Art of Selling Your Message. Summaries.com Moleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Moustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publications, Inc. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Rahmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset Tubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia. (1994). Human Communication:Prinsip-Prinsip Dasar. (diterjemahkan oleh: Dr. Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset West, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Theory: Analysis and Application (3rd edition). (diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer). Jakarta : Salemba Humanika Jurnal Agustina, Rakhmawati. (2011). Pelaksanaan Kegiatan Peer Educator Dalam Upaya Pencegahan HIV dan AIDS di SMK Ibu Kartini Kota Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas Diponegoro Ika Setya Purwanti dan Rika Suarniati, The Indonesian Journal of Public Health vol. 2 no. 3, Mar. 2006 : 98 Jubaedah, Edah. (2009). Jurnal Ilmu Administrasi (pdf), Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan dan Kompetensi Komunikasi Dalam Organisasi. 370-375 Murti, Elly Swandewi,dkk. (2006). Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer Education Pada Kelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB Paru. Berita Kedokteran Mayarakat, Vol. 22 No. 3 September 2006, hal 128-134 Zuhriyyah, L.Z. Penggunaan Kondom pada Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Kawasan Resosialisasi Gambilangu Kabupaten Kendal Tahun 2010. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang Internet Indah,dkk. (2009). Peran Komunitas AIDS Peduli HIV/AIDS. Dalam http://theonlinejournalism.blogspot.com/2009/01/hivaids-siapkah-solomelawan_ 13.html 21/05/2013. Diunduh pada 20 Mei 2013 pukul 20.45 WIB Farihah. (2010). Dampak Psikologis PSK. Dalam http://ulfahfarihah51.blogspot.com/2011/07/dampak-psikologis-yang-dialami-psk.html. Diunduh pada 23 Mei 2013 pukul 18.30 WIB Peer Education (2000). Dalam http://www.unicef.org/lifeskills/index_12078.html. Diunduh 2 Juni 2013 pukul 17.20 WIB Iriyanto,Yuwana. (2011). Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. Dalam http://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jatengterjangkit- hivaids.html. Diunduh 3 September 2013 pukul 23.00 WIB }, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/4321} }
Refworks Citation Data :
PENGALAMAN KOMUNIKASI WANITA PENJAJA SEKS (WPS) SEBAGAI PEEREDUCATOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN HIVAbstrakSosialisasi menjadi komunikasi persuasif yang paling sering dipilih oleh LSM maupunpemerintah dalam mempersuasif masyarakat atas isu-isu tertentu seperti pencegahan HIVmelalui penggunaan kondom, sayangnya mensosialisasi penggunaan kondom bagi para WanitaPenjaja Seks (WPS) tidak semudah mensosialisasikannya pada kelompok masyarakat lainnya.Sikap skeptis ditunjukkan WPS akibat tanggapan masyarakat atas pekerjaan mereka sertabanyaknya salah kaprah mengenai penyakit HIV yang membuat WPS menutup diri dariinformasi luar. Hadirnya Peer Educator (PE) yang merupakan WPS juga dalam program peereducation diharapkan dapat membantu mempersuasi WPS menggunakan kondom. masalahyang muncul: Bagaimana cara PE tersebut mempersuasif WPS lainnya hingga tujuan merubahperilaku dapat tercapai?Tujuan penelitian ini menggambarkan pengalaman komunikasi WPS sebagai PE dalammempersuasif WPS lainnya untuk menggunakan kondom 100% dalam upaya pencegahan HIVserta bagaimana seorang PE menjadi persuader yang baik. Upaya untuk menjawabpermasalahan dan tujuan penelitian dilakukan dengan menggunakan teori dialog dan retortikaajakan serta teori kompetensi komunikasi. Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif denganmetode fenomenologi untuk mengungkap pengalaman komunikasi PE kepada peer-nya.Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana komunikan bertipe skeptis seperti WPSdapat menerima informasi dari pihak luar dengan cara persuasif menggunakan ajakan sertadialog dimana dalam interaksi tersebut WPS dapat mengemukakan pendapat, alasan, sertapandangannya terhadap isu yang diangkat seperti penggunaan kondom untuk mencegah HIV.Selain itu kompetensi komunikasi PE sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi persuasifdimana ketiga faktor: pengetahuan, motivasi, serta keterampilan menjadi satu kesatuan yangharus dimiliki PE secara maksimal. Perlu adanya pemahaman mengenai peran PE oleh setiapWPS sehingga peran WPS tidak hanya penyedia kondom melainkan sesuai dengan tujuanadanya PE yaitu mengedukasi dan mempersuasif sesamanya untuk merubah perilaku.Kata kunci : Peer Educator; WPS; kompetensi komunikasiTHE EXPERIENCE OF WPS COMMUNICATION AS PEER EDUCATORIN PREVENTION OF HIVAbstractThis research aims to describe the communication between WPS (Wanita Pekerja Seks) as PeerEducator (PE) and her peer, the another WPS about using condom to prevention of HIV and toexplain how to be a good persuader in this situation. This research based on the experiencecommunication of female sex worker in Resosialisasi Argorejo, Semarang. Using the TheoryRhetoric of Persuasion, Theory Dialog and Theory Communication Competence for answer thequestion of this research. The type of this research is qualitative descriptive by usingphenomenology method. Phenomenological approach is used to reveal experiencecommunication of PE to her peer.The result of this research is how to persuade the communicant of skeptic type like WPS toaccept the information from the others is with persuasion and dialog in interaction so WPS cantell what her opinion, reason, and perspective, about using condom for prevention of HIV.Moreover, communication competence of PE is affective for the success of persuasivecommunication, which three factors of communication competence : knowledge, motivation,and skill is union and PE must have them maximum. There needs to be an understanding of therule that PE by any WPS, that PE isn’t only just a condom providers but according to purposeof PE is to educate and persuasion the other.Keywords: Peer Educator; WPS; communication competenceI. PENDAHULUANSosialisasi merupakan bentuk komunikasi persuasif yang sering dipilih pemerintah maupunLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada masyarakat dalam berbagai isu penting. Meskibegitu, tidak sedikit dari sosialisasi tersebut yang menciptakan polemik dimasyarakat karenamenimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah sosialisasi penggunaan kondomdimasyarakat. Ada yang mendukung tindakan tersebut, namun tidak sedikit yang mengecamtindakan tersebut.Human Immunedefficiency Virus atau yang disingkat HIV adalah penyakit mematikanyang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. BerdasarkanDitjen PP dan PL Kemenkes RI pada laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasusbaru HIV/AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 adalah 21.511 kasus HIVdan 5.686 kasus AIDS. Provinsi Jawa Tengah pun tidak luput dari penyakit mematikan ini.Dalam artikel berita di lensaindonesia.com, Jawa Tengah malahan menjadi peringkat ke-6nasional dari segi jumlah kasus HIV/AIDS setelah Bali, dengan jumlah penderita hingga Juni2012 yang baru terungkap mencapai 5.301 orang dari estimasi sebanyak 10.815 kasus.Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jateng, Ridha Citra Turyanimengatakan, jumlah penderita tersebut masih separuh ditemukan karena penyakit yangmematikan ini masih sangat sulit terdeteksi bagaikan gunung es. (Gawat! 436 Ibu RumahTangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. (2012). Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jateng-terjangkithivaids.html diunduh 3 September 2013 pukul 20.30 WIB)Terdapat banyak penyebab penularan HIV, antara lain : ibu hamil dan pemberian ASI dari ibuyang menjadi penderita HIV kepada bayi, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan yangmenduduki persentase terbesar (70%-80%) adalah hubungan seksual. Menteri KesehataNafsiah Mboi menanggapi bahwa salah satu penyebab mengapa angka penderita HIB masihtinggi adalah karena masih rendahnya kesadara masyarakat terhadap seks berisiko. Tingginyapenulara HIV dan AIDS disebabkan oleh banyaknya pria dewasa yang memelihara kebiasaan“belanja seks” dan kurangnya penggunaan kondom. Menurutnya perilaku negatif inimenyebabkan 1,6 juta penduduk menikah dengan pria berisiko menderita HIV dan AIDS.(HIV/AIDS Tinggi karena Pria Doyan Jajan Seks. (2012) dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/06/25/173412771/HIVAIDS-Tinggi-karena-Pria-Doyan-Jajan-Seks diunduh 3 September 2013 pukul 20.35 WIB).Sosialisasi penggunaan kondom yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSMkhususnya bidang kesehatan guna mencegah dan menanggulangi penyebaran penyakit HIVakibat “kebiasaan jajan pria” ini sayangnya tidak berjalan mulus, timbulnya pro dan kontramembuat sosialisasi ini kurang berdampak untuk menekan angka penderita HIV. Kini tindakansosialisasi penggunaan kondom sebagai pencegahan penyakit HIV dilakukan di beberapatempat lokalisasi (atau saat ini disebut resosialisasi), dengan kegiatan peer education.PE sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi berupa peer education yangdipaparkan diatas, menunjukkan betapa penting peranannya dalam mencapai keberhasilandalam mempengaruhi perilaku seseorang/kelompok, dalam hal ini yaitu WPS maupun PSK.LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang yang merupakan salah satu LSM yang bergerakdi bidang Keluarga Berencana (KB), pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) danHIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang dikategorikankelompok Risiko Tinggi (RisTi) di wilayah Kota Semarang. Salah satu bentuk kegiatanpencegahan HIV yang dilakukan oleh LSM Griya Asa PKBI bekerjasama dengan FHI (FamilyHealth International) pada tahun 2003 adalah mengunakan peer education sebagai salah satustrategi komunikasi dalam pencegahan HIV di Lokalisasi Sunan Kuning. Alasan awal mengapadibentuk PE karena PE yang berasal dari sesama WPS, karena WPS sendiri memilikikecendurungan menutup diri, namun lebih terbuka dengan lingkungan dalamnya, khususnyasesama WPS. Hal tersebut tentu akan memudahkan LSM dalam mempengaruhi WPS untukmerubah tingkah lakunya sesuai dengan program pencegahan HIV. Selain itu, pemikiranlainnya bahwa tidak selamanya LSM Griya Asa ada di daerah lokalisasi tersebut. Harapannya,dengan adanya PE, edukasi mengenai program pencegahan HIV akan terus berlangsung meskiLSM tidak lagi ada disana.Sayangnya terdapat lack of communicator di Lokalisasi Sunan Kuning. Sejakdibentuknya kegiatan peer education pada tahun 2003 hingga saat ini 2013, tercatat sebanyak60 WPS sebagai PE. Namun kenyataannya dari 60 WPS tersebut, kurang lebih hanya 15 orangyang aktif sebagai PE.Peer Educator yang terdapat di Lokalisasi Sunan Kuning mempunyai fungsi untukmengajak dan mengedukasi sesama WPS, untuk menjaga kesehatan reproduksi denganmenggunakan kondom dan menjalani scanning secara rutin. Sayangnya fungsi tersebut kiniberalih. “PE di Lokalisasi Sunan Kuning kini hanyalah penyetok kondom saja,” pengakuan Ari,salah satu relawan LSM Griya Asa yang mengikuti program ini sejak awal. Menurutnyadibutuhkan peran aktif dan dukungan penuh dari para pengurus resos dalam menjalankanprogram PE tersebut.Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana interaksi yang dilakukan WPSsebagai PE dalam mempersuasif sesama WPS serta bagaimana kompetensi komunikasi yangseharusnya dimiliki WPS tersebut sebagai persuader yang baik. Dalam menjawab pertanyaantersebut peneliti melakukan penelitian kepada 6 (enam) WPS sebagai informan dimana merekaterdiri dari 2 (dua) orang yang berperan sebagai peer, 2 (dua) orang yang berperan sebagai PEnon aktif, dan 2 (dua) orang yang berperan sebagai PE aktif. Penelitian ini sendiri dilakukan diLokalisasi Sunan Kuning, dimana peer education pertama kali diterapkan dilingkunganlokalisasi di Semarang. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakanmetode fenomenologi dengan paradigma interpretif. Paradigma interpretif dapat dimengertimerupakan proses aktif dalam pemberian makna dari suatu pengalaman. Peneliti menggunakanparadigma ini dan berusaha mengungkapkan dan memahami pengalaman WPS sebagai peer PEdalam upaya pencegahan HIV.Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa catatan di lapangan dan hasilwawancara (Denscombe, 2007:289). Studi ini berusaha mendeskripsikan pemahaman wanitaWPS sebagai PE dan menyimpulkan pentingnya peran peer educator sebagai komunikatorkhususnya dalam upaya merubah tingkah laku sebagai tujuan pencegahan HIV. Sehingga dapatdirumuskan pengalaman WPS sebagai PE dalam upaya pencegahan HIV.II. ISISetelah melakukan depth interview, peneliti kemudian melakukan deskripsi tekstural danstruktural dari hasil wawancara tersebut. Setelah individual textural-structural descriptiontersusun, maka dibuat suatu composite description dari makna dan esensi pengalaman sehinggamenampilkan gambaran pengalaman kelompok sebagai satu kesatuan. Sehingga tahap akhirdari studi fenomenologi adalah mempersatukan pandangan dari deskripsi tekstural danstruktural guna membangun sintesis makna dan intisari dari sebuah fenomena dan pengalaman(Moustakas, 1994:181).Dalam penelitian didapatkan pemahaman WPS mengenai peran PE sangatmempengaruhi keputusannya untuk mengikuti arahan dari PE atau tidak. Ketika seorang WPSmenganggap PE hanyalah seorang “penyetok” kondom maka dirinya merasa tidak perluterbuka kepada PE mengenai kesehatan reproduksinya. Baginya keputusan menggunakankondom merupakan keputusan pribadi dimana tidak seorang pun berhak mendiktenya.Selain pemahaman peran PE di lingkungan resos, penelitian ini juga mendapatibagaimana interaksi yang dilakukan antara PE dan WPS. Dalam mempersuasif WPS, PE perlumemulai interaksi dengan menyatakan pandangannya mengenai kegunaan kondom, bagaimanamanfaat dari penggunaan kondom 100%, dan bagaimana dampak yang dirasakan PE secarapribadi selama menggunakan kondom 100%. Penjelasan tersebut dilakukan PE sebagai bentukpersuasif menggunakan kalimat mengajak dimana PE tidak serta merta memaksa WPSmenggunakan kondom, tapi sebaliknya membiarkan WPS memutuskan menggunakan kondom100% secara pribadi meski harapan dari PE mereka mengikuti program pencegahan tersebut.Ketika timbul konflik diantara PE dan WPS, PE dan PE, bahkan PE dengan pihak LSMmaupun resos, dialog menjadi pilihan utama sebagai problem solving, dimana setiap pihak yangberselisih paham dapat bebas mengutarakan pendapat dan alasannya sesuai dengan konteksyang menjadi masalah. Seperti halnya ketika ada WPS yang menolak menggunakan kondom,PE akan menanyakan alasan mengapa ia tidak mau menggunakan kondom. Terjepitnya WPSakan kebutuhan yang semakin meningkat serta kondisi sepi tamu membuat WPS seringkaliberkompromi dalam menggunakan kondom atau tidak. Setelah mendengarkan penjelasan WPStersebut, PE kemudian memilih mengutarakan alasan-alasan yang rasional mengapa WPS tetapharus menggunakan kondom, seperti bagaimana penyakit HIV saat ini belum ada obat yangdapat menyembuhkannya, sehingga berapa pun uang yang dimiliki WPS tidak akan bisamenyembuhkannya ketika terjangkit HIV. Dengan penjelasan-penjelasan yang rasional sertamenyertakan contoh dan trik-trik (merayu tamu menggunakan kondom atau menggunakankondom wanita) akan membuat WPS mau terbuka atas pendapat orang lain (PE) dan mengikutiapa yang PE sampaikan karena merasa itu juga untuk kesehatan reproduksi WPS itu sendiri.Kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang PE dapat dipenuhi ketikafaktor-faktor dari kompetensi komunikasi tersebut dimiliki secara keseluruhan. pengetahuan,motivasi, serta keahlian komunikasi harus dimiliki PE untuk dapat menjadikannya seorangpersuader yang berhasil. ketika seorang PE kurang memiliki kompetensi komunikasi makadirinya pun masuk kedalam kategori PE non aktif. Adanya trauma yang dimiliki ketikamenghadapi respon negatif WPS ketika sedang dipersuasif menjadi salah satu alasan mengapaseorang PE menjadi non aktif.III. PENUTUPKomunikasi merupakan cara terbaik dalam mempersuasif seseorang agar mau merubahperilakunya sesuai dengan harapan yang diinginkan. Meski demikian tidak semua komunikasidapat berhasil. Banyaknya elemen dalam komunikasi memiliki peran tersendiri dalam mecapaikeberhasilan, namun dalam komunikasi persuasif, peran seorang komunikator mengambil andilpaling besar dibandingkan elemen komunikasi yang lainnya.Keberhasilan seorang WPS sebagai PE didalam mempersuasif WPS untuk mengikutiprogram pencegahan HIV dengan cara menggunakan kondom 100% perlu didukung olehsegala pihak, tidak hanya bagaimana seorang PE menjalankan tugas dan tanggungjawabnya,melainkan juga respon positif dari WPS lain sebagai peer-nya serta bagaimana LSM sertapengurus resos yang konsen dalam memberdayakan PE dimana terus meng-upgrade PEkhususnya agar memiliki kompetensi komunikasi adalah faktor penentu keberhasilan programpeer education di lingkungan resosialisasi.DAFTAR PUSTAKAAw., Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha IlmuJans, Molly. (1999). Comm 3210: Human Commucation Theory, Martin Buber’s DialogicCommunication. Research Report. University of Colorado at BoulderKuswarno.Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi,Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya PadjadjaranLittlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. (2009). Theories of Human Communication (9thedition) Teori Komunikasi (diterjemahkan oleh : Mohammad Yusuf Hamdan) . Jakarta:Salemba HumanikaMiller, Robert and Williams, Gary. (2004). The 5 Paths To Persuasion: The Art of Selling YourMessage. Summaries.comMoleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja RosdakaryaMoustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE Publications,Inc.Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : Lembaga Kajian Islam danSosial (LKIS)Rahmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetTubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia. (1994). Human Communication:Prinsip-Prinsip Dasar.(diterjemahkan oleh: Dr. Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya OffsetWest, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Theory: Analysis and Application (3rdedition). (diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer). Jakarta : SalembaHumanikaJurnalAgustina, Rakhmawati. (2011). Pelaksanaan Kegiatan Peer Educator Dalam Upaya Pencegahan HIVdan AIDS di SMK Ibu Kartini Kota Semarang. Skripsi. Semarang : Universitas DiponegoroIka Setya Purwanti dan Rika Suarniati, The Indonesian Journal of Public Health vol. 2 no. 3, Mar.2006 : 98Jubaedah, Edah. (2009). Jurnal Ilmu Administrasi (pdf), Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan danKompetensi Komunikasi Dalam Organisasi. 370-375Murti, Elly Swandewi,dkk. (2006). Efektivitas Promosi Kesehatan Dengan Peer Education PadaKelompok Dasawisma Dalam Upaya Penemuan Tersangka Penderita TB Paru. BeritaKedokteran Mayarakat, Vol. 22 No. 3 September 2006, hal 128-134Zuhriyyah, L.Z. Penggunaan Kondom pada Wanita Pekerja Seks (WPS) Di Kawasan ResosialisasiGambilangu Kabupaten Kendal Tahun 2010. Skripsi. Semarang : Universitas NegeriSemarangInternetIndah,dkk. (2009). Peran Komunitas AIDS Peduli HIV/AIDS. Dalamhttp://theonlinejournalism.blogspot.com/2009/01/hivaids-siapkah-solomelawan_13.html 21/05/2013. Diunduh pada 20 Mei 2013 pukul 20.45 WIBFarihah. (2010). Dampak Psikologis PSK. Dalamhttp://ulfahfarihah51.blogspot.com/2011/07/dampak-psikologis-yang-dialami-psk.html.Diunduh pada 23 Mei 2013 pukul 18.30 WIBPeer Education (2000). Dalam http://www.unicef.org/lifeskills/index_12078.html. Diunduh 2Juni 2013 pukul 17.20 WIBIriyanto,Yuwana. (2011). Ibu Rumah Tangga di Jateng Terjangkit HIV/AIDS. Dalamhttp://www.lensaindonesia.com/2012/10/17/gawat-436-ibu-rumah-tangga-di-jatengterjangkit-hivaids.html. Diunduh 3 September 2013 pukul 23.00 WIB
Last update:
Interaksi Online, is published by Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jln. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275; Telp. (024)7460056, Fax: (024)7460055
Interaksi Online by http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/interaksi-online is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.