slot gacor slot gacor hari ini slot gacor 2025 demo slot pg slot gacor slot gacor
Representasi Figur Ustaz/Ustazah pada Iklan Televisi | Fatimah | Interaksi Online skip to main content

Representasi Figur Ustaz/Ustazah pada Iklan Televisi


Citation Format:
Abstract

Representasi Figur Ustaz/Ustazah pada Iklan Televisi
ABSTRAK
Fenomena ustaz/ustazah masuk dalam ranah dunia entertaiment di Indonesia
tidaklah menjadi hal yang tabu bahkan sudah menjadi trend. Termasuk keikutsertaan
ustaz/ustazh sebagai endorser untuk produk-produk komersial. Menunjukan
bagaimana representasi figur ustaz/ustazah dalam iklan Larutan Penyegar Cap Kaki
Tiga dan provider Telkomsel, peneliti menggunakan konsep yang dikemukakan oleh
John Fiske dalam buku Television Culture, yaitu tentang The Codes of Television.
Setelah melakukan analisis sintagmatik pada level reality dan level representation,
peneliti kemudian melakukan analisis secara paradigmatik untuk level ideology.
Analisis paradigmatik dilakukan untuk mengetahui makna terdalam dari teks iklan
Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dan Telkomsel dengan melihat hubungan eksternal
pada suatu tanda dengan tanda lain. Selain itu, analisis paradigmatik juga berfungsi
untuk menunjukkan adanya arti „kedua‟ dan realitas lain yang mungkin bersifat
abstrak yang ada di balik gagasan-gagasan yang teridentifikasi dalam analisis
sintagmatik.
Setelah melakukan analisis sintagmatik dan analisis paradigmatik, maka
didapat beberapa temuan penelitian, yaitu adanya eksploitasi simbol-simbol
keislaman, di mana figur ustaz/ustazah di jadikan sebagai komoditas, representasi
ustaz/ustazah sebagai icon dunia konsumsi, serta mitos di balik representasi figur
ustaz/ustazah pada iklan televisi. Temuan-temuan penelitian yang didapat oleh
peneliti menjelaskan bahwa ustaz/ustazah yang ditampilkan di iklan televisi oleh si
pembuat iklan bukan lagi sebagai ustaz seperti yang masyarakat kenal sebagai
seorang suri tauladan, seorang yang berilmu dan nasehatnya dituruti banyak orang
atau pun penyambung wahyu Tuhan yang diterima nabi, melainkan sebagai icon
konsumsi dan tidak berbeda dengan endorser-endorser lain dari kalangan bintang
film, penyanyi, dsb.
Kata Kunci: Iklan, Representasi, Simbol-simbol keislaman, Ustaz/ustazah, Semiotika.
ABSTRACT
The phenomenon ustaz/ustazah entered in the realm of entertainment world in
Indonesia is not a taboo even has become a trend. Including participation
ustaz/ustazah as endorser of commercial products. Researcher use John Fiske‟s idea
in Television Culture, about The Codes of Television to show how ustaz/ustazah
figure representation on Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga and Telkomsel commercial
ads. After conducted syntagmatic analysis at the level of reality and level of
representation, researcher then conduct a paradigmatic analysis to the level of
ideology. Paradigmatic analysis conducted to know meaning of text in Larutan
Penyegar Cap Kaki Tiga and Telkomsel commercial ads within looking at eksternal
relation on a symbol with another. Besides, paradigmatic analysis usefull to show the
second meaning and another reality that may be abstract behind some ideas which
indentified with sintagmatic analysis.
After conducting sintagmatic analysis and paradigmatic analysis, then there
are some research finding, that is Islamic symbol exploitation where ustaz/ustazah
figure used as commodity, ustaz/ustazah representation as communication icon, and
the myth behind ustaz/ustazah figure representation on television ads. Research
findings which obtained explain that exposed ustaz/ustazah on commercial tv ads by
advertiser is not the ustaz whom people know as role models/knowledgeable person
whose their advice obeyed/connector of God‟s revelation which accepeted by the
prophet anymore, but as the commercial icon and hasn‟t difference from another
endorsers fo movie stars, singers, ect.
Keywords: Ads (advertising), Representation, Islamic symbols, Ustaz/ustazah,
Semiotic
I. Pendaguluan
Sekarang ini banyak sekali iklan di layar televisi yang menawarkan berbagai
macam produk dengan variasi dan kreativitas bermacam-macam. Pada umumnya
iklan televisi menampilkan model iklan wanita yang cantik, atau jika pria yang
ditampilkan berparas tampan. Seringkali iklan-iklan televisi menggunakan model
iklan yang dikenal oleh masyarakat seperti bintang film, bintang sinetron, penyanyi,
peragawati atau peragawan, musisi, pelawak hingga tokoh ustaz/ustazah yang
merupakan simbol keislaman bagi masyarakat Indonesia. Pengiklan dalam hal ini
produsen memang menganggarkan dana untuk promosi dalam bentuk iklan televisi
dan sesuai kebutuhan dari produknya masing-masing.
Popularitas televisi kemudian membuat televisi tidak lagi dipandang sebagai
seperangkat kotak elektronik yang berkemampuan audio visual, tapi lebih dari itu,
televisi merupakan seperangkat media transfer nilai, ideologi serta budaya yang sarat
akan kepentingan dan perebutan pengaruh/kekuasaan. Popularitas juga dirasakan oleh
ustaz/ustazah di ranah pertelevisian dengan memiliki banyak jamaah pada gilirannya
menyeret tokoh masyarakat tersebut untuk ikut terlibat dalam iklan-iklan produk
komersial. Sayangnya, ustaz/ustazah yang ditampilkan di iklan televisi oleh si
pembuat iklan bukan lagi sebagai ustaz seperti yang masyarakat kenal sebagai
seorang suri tauladan, seorang yang berilmu dan nasehatnya dituruti banyak orang,
penyambung wahyu Tuhan yang diterima nabi, melainkan sebagai icon konsumsi dan
tidak berbeda dengan endorser-endorser lain dari kalangan bintang film, penyanyi,
dsb.
Masyarakat di Indonesia sejatinya mengenal ustaz adalah pemuka masyarakat,
karena dianggap sebagai orang yang berilmu dan nasehatnya diturut oleh banyak
orang. Masyarakat menetapkan siapa yang bakal menjadi 'ustaz' mereka.
Ustaz/ustazah yang merupakan simbol keislaman muncul di layar televesi tidak lagi
hanya berada di balik mimbar untuk berdakwah, melainkan menjadi endorser iklan
produk-produk yang bersifat komersial, seperti iklan untuk produk helm GM, AXIS,
Ekstra Joss, Fresh Care yang dibintangi oleh ustaz Jefri Al Buchori (Uje), iklan
Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga, “Bintang Toedjoe Masuk Angin” oleh Mamah
Dedeh, serta iklan Telkomsel, oleh ustaz Maulana, dan beberapa iklan produk
komersial lainnya. Kemuculan ustaz/ustazah pada iklan-iklan tersebut bukanlah
sebuah kebetulan, melainkan tanda pada media iklan televisi yang bisa dikaji dengan
perspektif semiotika.
Secara teoretis semua teks media termasuk iklan merupakan representasi dari
realitas. Namun realitas tersebut bukan realitas yang sesungguhnya, akan tetapi
realitas dalam versi si pembuat teks, yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam proses mediasi teks. Demikian pun representasi figur para
ustaz/ustazah merupakan realitas yang dikemas sesuai kebutuhan si pembuat iklan.
Akan banyak arti ‟kedua‟ yang muncul dari tanda berupa representasi ustaz/ustazah
yang ada pada iklan Telkomsel versi Ustaz Maulana, serta Larutan Penyegar Cap
Kaki Tiga oleh Mamah Dedeh. Pada penelitian ini, peneliti akan membahas masalah
seperti yang telah dirumuskan yaitu, bagaimana figur ustaz/ustazah sebagai simbol
keislaman direpresentasikan pada iklan televisi?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna ‟kedua‟ atau makna
konotatif dari representasi ustaz/ustazah sebagai simbol keislaman di dalam iklan
televisi.
II. Kerangka Teori dan Metode Penelitian.
Mengungkap makna di balik repesentasi ustaz/ustazah dalam iklan televisi
artinya mengkaji tentang tanda. Ilmu tentang tanda yang mampu menemukan makna
tersembunyi di balik sebuah teks seperti pada iklan yang melibatkan ustaz/ustazah
adalah bidang semiotika. Semiotika adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem
tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1993: 1). Semiotika yang
mengulas masalah-masalah, katakanlah, tanda tanpa disengaja dan konotasi dikenal
dengan semiotika konotatif. Seperti munculnya figur ustaz/ustazah pada iklan televisi
tentu saja tidak kemudian diartikan sebagai siar agama seperti halnya ketika
ustaz/ustazah tersebut berdiri di balik mimbar. Ada arti „kedua‟ di balik representasi
ustaz/ustazah sebagai simbol keislamaan.
Memaknai representasi melibatkan faktor-faktor yang kompleks. Representasi
didefinisikan sebagai penggunaan “tanda-tanda” (gambar, suara, dan sebagainya)
untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindrakan, dibayangkan, atau
dirasakan dalam bentuk fisik. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang
sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pemahaman bahasa dan penandaan
yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik (Hartley, 2004: 265).
Kemunculan Ustaz Maulana dan Mamah Dedeh pada iklan televisi misalnya,
merupakan bentuk representasi, yakni mewakili suatu fakta figur ustaz/ustazah yang
dikenal masyarakat sebagai pemuka agama. Melalui fungsi tanda „mewakili‟ kita
mempelajari realitas.
Agama memainkan peranan yang sangat penting di dalam mempertahankan
ikatan anatara individu dan kelompok yang lebih luas, baik sebagai dasar persekutuan
maupun sebagai sarana untuk mengungkapkan nilai-nilai yang di hayati bersama
(Raho, 2013: 77). Ilmu sosiologipun memiliki pendekatan teoritis untuk mempelajari
Agama di tengah masyarakat. Sosiolog Prancis Emile Durkheim mengidentifikasi
salah satu fungsi utama agama untuk operasi masyarakat, adalah membangun kohesi
sosial. Agama menyatukan orang melalui simbolisme bersama, nilai-nilai, dan norma.
Pemikiran keagamaan dan ritual mendirikan aturan fair play, mengatur kehidupan
sosial kita.
Simbol merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan
beragama. Hubungan yang suci tidak dapat dilakukan tanpa simbol-simbol. Simbolsimbol
keagamaan tersebut membangkitkan perasaan keterikatan dan kesatuan pada
anggota-anggota pemeluk agama yang sama. Memiliki simbol yang sama merupakan
cara efektif untuk semakin memperkuat rsa persatuan di dalam kelompok pemeluk.
Dalam budaya dominan yang telah mapan di masyarakat. Indonesia yang
mayoritas beragama islam, ustaz/ustazah sebagai simbol agama merupakan figur
yang memiliki pengaruh terhadap pengikutnya. Tokoh agama seperti misalnya
ustaz/ustazah adalah figur yang dijadikan panutan dan memiliki pengaruh pada para
jamaah, ummat, atau pengikutnya dan dianggap memiliki kharisma. Kharisma
merupakan suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang dengan mana dia
dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang memilik
anugrah kekuasaan adikodrati, adimunusiawi, atau setidaknya kekuatan/ kualitas yang
sangat luar biasa.
Ustaz/ustazah di mana istilah tersebut merupakan salah satu status yang ada di
tengah masyarakat dan memiliki peranan. Sosiologi menggunakan dua
istilah, status dan peran, untuk menggambarkan bentuk dasar interaksi dalam
masyarakat (Kimmel & Aronson, 2010: 76). Status Ustaz/ustazah merupakan
pencapaian status yang dianggap begitu penting sehingga membayangi, mendominasi
dan mengendalikan posisi di masyarakat serta menjadi status master.
Peran sosial adalah set perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menempati
status tertentu. Peran sebagai tokoh masyarakat dalam hal ini ustaz/ustazah, tentunya
merupakan representasi dari adanya sifat-sifat tanggung jawab, mampu
menyampaikan pesan-pesan agama.
Iklan adalah sebuah message, artinya bahwa iklan mengandung suatu sumber
yang mengeluarkannya, yaitu perusahaan yang menghasilkan produk yang
diluncurkan dengan semua keunggulannya, suatu titik resepsi-penerimaan, yaitu
publik, dan suatu saluran transmisi, yang disebut media (Barthes, 2007: 281).
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, bisa dikaji lewat sistem
tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik
yang berupa verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks,
terutama dalam iklan radio, televisi, dan film.
Menunjukkan bagaimana representasi figur ustaz/ustazah pada iklan televisi,
peneliti menggunakan konsep yang dikemukakan oleh John Fiske dalam buku
Television Culture, yaitu tentang The Codes of Television. John Fiske menyatakan
bahwa untuk menganalisis iklan di media televisi dibagi menjadi tiga level, yaitu
level reality, level representation dan level ideology. Pada level reality kode-kode
yang diamati dapat berupa penampilan, pakaian, riasan, lingkungan, gaya bicara, dan
ekspresi. Sedangkan pada level kedua, yaitu representation meliputi kamera,
pencahayaan, musik dan suara, penarasian, dialog, karakter, dan pemeranan. Dan
pada level terakhir, level ideology yaitu berusaha menampilkan kode-kode yang
tersembunyi dalam sebuah gambar seperti patriarki, kelas, individu, feminisme dan
juga kode-kode di balik representasi figur ustaz/ustazah pada iklan produk komersial
di televisi (Fiske, 2001: 4-5).
Tiga level tersebut diurai dalam dua bagian, yakni analisis sitagmatik dan
paradigmatik. Pada analisis sintagmatik menjelaskan tanda-tanda atau makna-makna
yang muncul dalam shot atau adegan dari berbagai aspek teknis yang merujuk pada
representasi figur ustaz/ustaz pada iklan televisi pada level reality dan level
representation. Level ideology akan diuraikan dengan analisis paradigmatik, dimana
analisis paradigmatik berusaha mengetahui makna terdalam dari sebuah teks dengan
melihat hubungan eksternal pada suatu tanda dengan tanda lain. Analisis
paradigmatic berguna dalam penelitian representasi, dan khususnya untuk
memastikan tanda apa yang telah dipilih pada pengeluaran yang lain (Hartley, 2004:
221).
III. Pembahasan
Analisis sintagmatik menguraikan tanda-tanda atau makna-makna yang
muncul dalam shot-shot dan adegan-adegan yang terjalin dari berbagai kombinasi
aspek teknis yang merujuk pada representasi figur ustaz/ustazah pada iklan Larutan
Penyegar Cap Kaki Tiga yang dibintangi oleh Mamah Dedeh dan juga iklan
Telkomsel yang dibintangi oleh Ustaz Maulana. Secara sintagmatik, iklan-iklan
tersebut akan dianalisis sebatas tanda-tanda yang muncul dari hal-hal teknis produksi
iklan.
Kode sosial dalam sebuah iklan televisi terlihat jelas dan nyata pada level ini,
sehingga pemirsa bisa lebih dekat dengan unsur-unsur yang ada dalam iklan. Seperti
saat pemirsa melihat penampilan yang ditunjukkan oleh para endorser iklan.
Penampilan yang ditambah dengan kostum dan riasan yang digunakan dan dipakai
oleh para pemain akan memperjelas karakter seseorang dalam sebuah iklan.
Lingkungan yang menjadi latar dalam iklan juga memberikan pengaruh yang sangat
penting dalam iklan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh para pemain melalui mimik
muka dan ekspresi dapat membuat para pemirsa lebih memahami perasaan sang
tokoh.
Hal-hal dalam level reality telah diencode secara elektronik oleh kode-kode
teknis (technical code), sedangkan dalam level ke-2, yaitu level representation.
Seperti halnya dalam produksi film, yang penting dalam sebuah iklan adalah gambar
dan suara, tanpa gambar dan suara yang mendukung maka tidak akan tercipta sebuah
iklan yang bagus. Oleh sebab itu, untuk mendukung terciptanya gambar dan musik
yang bagus terdapat beberapa aspek penting yang dibutuhkan. Aspek-aspek yang
terdapat dalam level representation sebuah iklan bisa merepresentasikan pesan atau
ide yang ingin diutarakan oleh sutradaranya.
Misalnya dalam level ini terdapat aspek kamera. Pengambilan gambar oleh
kamera akan membawa pemirsa kepada gambar-gambar yang dapat
merepresentasikan pesan dari sebuah iklan. Sebuah gambar dengan menggunakan
teknik-tekniknya dapat membawa pemirsa mengenal tokoh-tokoh, tempat dan
suasana dalam sebuah iklan. Dengan didukung pencahayaan yang baik, maka akan
menghasilkan gambar yang baik. Pencahayaan bertujuan untuk lebih memperjelas
maksud dari sebuah gambar. Demikian juga pada musik yang dapat mendukung
terciptanya suasana dalam iklan. Dialog dan konflik juga menjadi aspek penting
dalam sebuah iklan. Dengan adanya konflik dan dialog yang menarik, maka akan
tercipta jalan cerita yang juga menarik.
Secara garis besar pada level reality Mamah Dedeh dan Ustaz Maulana di
tampilkan sesuai dengan statusnya di masyarakat, yakni dengan busana
muslim/muslimah sesuai dengan identitas agama islam, gaya bicara yang santun dan
penuh ajakan, setting dan suasana yang akrab dengan statusnya sebagai ustaz/ustazah
seperti tanah suci Mekah, dsb. Tetapi, masuk pada level representation aspek-aspek
di dalamnya mengerucut pada kepentingan si pembuat iklan. Seperti, pengambilan
gambar yang didominasi gambar produk komersial, dialog yang mengarah pada pesan
promosi produk, dsb.
Berikutnya, pada analisis paradigmatik, berusaha mengetahui makna terdalam
dari teks iklan Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dan Telkomsel dengan melihat
hubungan eksternal pada suatu tanda dengan tanda lain. Selain itu, analisis
paradigmatik juga berfungsi untuk menunjukkan adanya arti „kedua‟ dan realitas lain
yang mungkin bersifat abstrak yang ada di balik gagasan-gagasan yang teridentifikasi
dalam analisis sintagmatik.
Setelah melakukan analisis sintagmatik dan analisis paradigmatik dari
representasi figur ustaz/ustazah pada kedua iklan, maka didapat beberapa temuan
penelitian, yaitu adanya eksploitasi simbol-simbol keIslaman, di mana figur
ustaz/ustazah, tempat peribadatan, busana yang merupakan identitas
muslim/muslimah di jadikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk
mendapat keuntungan. Kemudian, ustaz/ustazah yang muncul dalam iklan televisi
tidak lain adalah penanda dan memiliki kesamaan dari dunia konsumsi itu sendiri.
Ustaz Maulana dan Mamah Dedeh hadir dalam iklan-iklan tersebut hanyalah
mewakili dunia pemakaian atau penggunaan produk-produk yang mereka iklankan,
dengan kata lain representasi ustaz/ustazah pada iklan televisi hanya sebagai icon
dunia konsumsi. Temuan berikuntya adalah adanya mitos yang menganggap bahwa
semua pesan yang disampaikan ustaz/ustazah adalah benar dan pantas dijadikan
panutan di balik representasi figur ustaz/ustazah pada iklan televisi.
IV. Kesimpulan
Teori semiotika konotatif milik Barthes membawa peneliti menemukan arti
„kedua„ di dalam iklan Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dan Telkomsel, dimana
Mamah Dedeh dan ustaz Maulana yang merupakan figur ustaz/ustazah hadir dalam
iklan televisi justru bukan sebagai penyampai pesan agama yang melainkan
menyampaikan pesan-pesan untuk mempromosikan produk komersial.
Representasi figur ustaz/ustazah pada iklan televisi untuk produk komersial
pada akhirnya menggeser peran ustaz/ustazah di masyarakat. Jika peran merupakan
set perilaku yang diharapkan pada seseorang yang memiliki status, dalam hal ini
ustaz/ustazah dengan perannya menyampaikan pesan Tuhan, maka representasi
ustaz/ustazah pada iklan televisi untuk produk komersial pesan ustaz/ustazah adalah
menyampaikan pesan promosi produk komersial yang diiklankan.
Agama menurut Email Durkheim diidentifikasikan sebagai pembangun kohesi
masyarakat salah satunya melalui simbol. Ustaz/ustazah merupakan salah satu bentuk
simbol agama Islam dimana figur tersebut juga menjadi alat untuk membangun
kohesi di masyarakat. Teori tersebut kemudian digunakan pembuat iklan untuk
menggiring jamaah dari ustaz/ustazah yang memiliki kohesi tersebut untuk
menggunakan produk yang sama atau yang digunakan oleh panutannya seperti yang
direpresentasikan dalam iklan.
Representasi figur ustaz/ustazah pada iklan televisi yang diperlihatkan peneliti,
serta temuan-temuan penelitian yang didapat, diharapkan mampu membuat pembaca
sebagai penikmat televisi untuk lebih berfikir kritis ketika akan memaknai pesanpesan
iklan televisi yang kenyataannya sarat akan kepentingan.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 2007. Petualang Semiologi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Fiske, J. 2001. Television Culture. London: Methuen & Co. Ltd.
Hartley, John. 2004. Communication, Cultural, & Media Studies.Yogjakarta:
Jalasutra.
Kimmel, Michael. Amy Aronson. 2010. Sociology now: the essentials (2nd ed.).
Boston: Allyn & Bacon.
Stout, Daniel A. 2006. Encyclopedia of Religion, Communication, and Media.
London and New York: Routledge.
Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Fulltext

Last update:

No citation recorded.

Last update:

No citation recorded.