BibTex Citation Data :
@article{IO2961, author = {Daeng Rato R and Triyono Lukmantoro and Nurul Hasfi}, title = {Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan}, journal = {Interaksi Online}, volume = {1}, number = {3}, year = {2013}, keywords = {}, abstract = { Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan JUDUL : Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan NAMA : Daeng Lanta Mutiara Rato Rasanae NIM : 14030110151029 ABSTRAK Film adalah media populer yang digunakan tidak hanya untuk menyampaikan pesan-pesan, tetapi juga menyalurkan pandangan-pandangan kepada khalayak. Perkembangan film Indonesia menjadikan para pembuat film semakin kreatif mengangkat tema dan subjek film, salah satunya tentang anak-anak pedalaman. Ini yang membuat Alenia Pictures memproduksi Denias, Senandung di Atas Awan. Film ini menjadi tema segar di tengah sedikitnya film anak-anak nasional, yang semuanya berlatar kota metropolitan. Film yang diproduksi tahun 2006 ini menceritakan perjuangan anak-anak pedalaman Papua mengejar pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui representasi sosok anak-anak pedalaman Papua. Dengan tipe penelitian kualitatif, penelitian menggunakan analisis semiotika. Teknik analisis data menggunakan konsep Kode-Kode Televisi yang dikemukakan John Fiske. Analisis dilakukan dengan tiga level, yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi. Level realitas dan level representasi dianalisis secara sintagmatik, sedangkan analisis secara paradigmatik untuk level ideologi. Hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak pedalaman Papua digambarkan sebagai Other, seperti halnya stereotip terhadap ras kulit hitam. Stereotip ini digambarkan primitif, miskin, bodoh, dan suka berkelahi. Sangat mungkin bagi pembuat film untuk mengonstruksi realitas agar dapat menempatkan ideologi-ideologi. Di sini, pembuat film menggunakan anak-anak sebagai alat penyalur ideologi dominan. Pendidikan membuat peradaban dan pemikiran anak-anak pedalaman lebih modern. Film ini juga menonjolkan sisi nasionalis seorang anak pedalaman Papua, serta menjunjung peran militer secara positif. Konstruksi realitas dilakukan dengan menghilangkan fakta tentang konflik sosial politik di Papua. Selain berusaha mengajak penonton anak-anak semangat bersekolah, film ini juga menyiratkan makna yang kuat bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia yang tidak boleh dipisahkan. Kata kunci: film, representasi, anak-anak, Papua TITLE : Representation of Papua Inland Children Figure on Denias, Senandung di Atas Awan NAME : Daeng Lanta Mutiara Rato Rasanae NIM : 14030110151029 ABSTRACT Movie is popular media that is used not only to convey messages, but also to lead ideas to public. Indonesia movie development causes the movie makers getting creative in raising movie themes and subjects, one of them is about the inland children. This is the reason why Alenia Pictures produced Denias, Senandung di Atas Awan. The movie becomes a fresh theme in the middle of some national children movies, which all are set in metropolitan cities. The movie was produced in the year 2006, tells about the Papua inland children who struggle to reach education. The research aims to determine the representation of Papua inland children figure. With qualitative type, the research uses semiotics analysis. Data analysis technique applies the concept of Television Codes put forward by John Fiske. The analysis is applied by three levels, namely reality level, representation level, and ideology level. Reality and representation level are sintagmatically analyzed, whereas paradigmatically analyzed for ideology level. The final results of the research find out that Papua inland children are described as Other, just as the stereotypes of black race. The stereotypes are described as primitive, poor, foolish, and fight a lot. It is very possible for movie maker to construct reality so they can put down ideologies. Here, movie maker use the children as a medium for dominant ideology. Education makes their civilization and ideas get a little more modern. The movie also shows up their nationalist side, and positively give a full respect for military role as well. The construction of reality is attempted by missing the facts about social politic conflict in Papua. Beside attempting to invite the children audience to be schoolspirited, the movie implies a strong meaning that Papua is part of Indonesia territories that may not be separated. Keyword : movie, representation, children, Papua PENDAHULUAN Media audio visual telah menjadi bentuk hiburan yang banyak digunakan khalayak, salah satunya film. Selain berfungsi menghibur, film diproduksi sebagai penyalur pesan dari pembuat film kepada khalayak. Dalam perkembangan film Indonesia pada kurun dekade terakhir, pembuat film semakin kreatif mengeksplorasi tema-tema baru. Tak hanya menyampaikan pesan, pembuat film pun meletakkan ideologi-ideologi. Tujuannya selain agar penonton menerima pesan yang dimaksud, juga agar ideologi-ideologi tersebut terserap dan menempel di benak penonton. Ini menjadikan film sebagai salah satu media komunikasi massa yang efektif. Pembuat film tentu menyadari benak penonton anak-anak dengan mudah menyerap apa yang mereka lihat dan dengar. Namun, pembuat film juga perlu memilih tema yang sesuai dan disukai anak-anak, yakni film yang mengandung pesan moral dan bertema petualangan. Menurut analisis Heru Effendy (2008: 28), kelompok remaja maupun anak adalah sasaran empuk bagi film-film dengan muatan pendidikan yang baik. Dari segi ekonomis, bisa dideskripsikan bahwa lebih dari separuh penonton film Indonesia di bioskop saat ini adalah remaja. Di sisi lain, jumlah anak-anak tidak sebanyak remaja, hingga film anak-anak yang diproduksi tidak sampai 5% dari total produksi film Indonesia. Rumah produksi Alenia Pictures menemukan celah baru yang selama ini belum dirambah film lain. Film Denias, Senandung di Atas Awan menjadi debut Alenia sekaligus film anak-anak pertama yang menyorot kehidupan di pedalaman Papua. Film Indonesia tampaknya masih berkiblat pada perfilman Hollywood, di mana kehidupan pedalaman ditampilkan secara kurang beradab atau masih primitif. Terlebih pada ras kulit hitam, secara global mereka ditampilkan sebagai sosok yang identik dengan kekerasan, bodoh, miskin, dan primitif. Tak jauh berbeda dengan film tentang pedalaman Papua, pembuat film masih mengadopsi—walau walau tak seesktrem—stereotip-stereotip kulit hitam Hollywood tersebut. Adalah kewenangan pembuat film untuk membentuk seperti apa realitas di layar, terlepas dari sesuai tidaknya dengan dunia nyata. Demikian juga dalam film Denias, Senandung di Atas Awan, menceritakan keinginan anak-anak pedalaman untuk belajar, meski hanya di sekolah darurat yang berbentuk Honai sederhana. Denias dan teman-temannya diceritakan sangat akrab dengan seorang TNI-AD, dikenal dengan nama Maleo, yang bertugas di desanya. Namun tak dapat dipungkiri, sebagai daerah yang sedang mengalami konflik, Papua ada dalam pengawasan TNI. Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) pada 2007, wilayah pegunungan/dataran tinggi Papua telah lama menjadi wilayah konfrontasi antara militer dan polisi Indonesia dengan sel-sel kecil Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah organisasi politik bawah tanah yang didirikan sejak tahun 1965. Organisasi rahasia ini telah berulang kali melakukan serangan terhadap instalasi militer Indonesia, sementara militer Indonesia dengan gencar melakukan sweeping hingga ke daerah-daerah paling terpencil untuk memberantas kaum yang disebut pemberontak ini. Sweeping yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak jarang disertai penjarahan, perusakan barang milik penduduk setempat bahkan tindak kekerasan hingga pemerkosaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil. Menurut laporan terbaru HRW, pengawasan militer untuk daerah dataran tinggi Papua jauh lebih intensif dari daerah-daerah lain di Papua (http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_interstitial=1&u=%2Fjo urnal%2Fitem diakses 4 Juli 2012). Mengesampingkan fakta-fakta tentang perlakuan kekerasan TNI di tanah Papua terhadap rakyat sipil, dalam Denias, Senandung di Atas Awan, sosok TNIAD yang dipanggil Maleo (diperankan Ari Sihasale) justru sangat akrab dengan anak-anak. Maleo merupakan salah satu tokoh panutan Denias yang mengantar semangatnya mengejar mimpi ke sekolah fasilitas di kota. Di balik kesuksesan Denias, Senandung di Atas Awan menyentuh emosi penonton dalam kegigihan Denias untuk menuntut ilmu, film ini justru menempatkan—tak hanya orang dewasa Papua seperti film-film sebelumnya, tetapi juga—anak-anak dalam ke-inferioritas-an. Alenia Pictures nampaknya berhasil menggambarkan keoptimisan seorang anak meraih pendidikan sembari menjual keibaan terhadap anak-anak Papua itu sendiri. Yang artinya, realitas yang diadaptasi dari film ini berhasil dikonstruksi sedemikian rupa sehingga membelokkan stereotip-stereotip miring terhadap orang-orang Papua, menjadi lebih beradab lewat sosok anak-anak yang mengejar pendidikan. Namun tetap, terpinggirkan dan inferior bahkan di kampung halamannya sendiri. Berdasarkan sosok orang Papua yang ditampilkan sacara tidak mengancam seperti ini, maka penelitian merumuskan permasalahan tentang representasi sosok anak-anak pedalaman Papua dalam film Denias, Senandung di Atas Awan. ISI Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dengan analisis semiotika, yakni menganalisis teks media sebagai suatu kesatuan struktur untuk melihat dan membaca makna yang terkandung di balik teks. Untuk meneliti respresentasi sendiri menggunakan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24). Data yang diperoleh untuk melakukan penelitian ini berdasarkan pengamatan dan pengkajian pada film Denias, Senandung di Atas Awan, dengan teknik analisis kode-kode televisi John Fiske. Kode-kode ini meliputi tiga level, yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi. Analisis ketiga level tersebut lebih lanjut akan mengungkapkan bagaimana pembuat film merepresentasikan sosok anak-anak pedalaman Papua melalui tanda-tanda, bagaimana realitas dikonstruksi untuk mencapai makna yang mengandung ideologi pembuat film. Memahami bagaimana media (termasuk film) merepresentasikan realitas, Croteau dan Hoynes (2000: 214) menjelaskan dalam tiga gagasan. Pertama, representasi bukanlah realitas. Ada proses seleksi di mana terdapat aspek-aspek yang ditonjolkan atau diabaikan. Kedua, media tidak merefleksikan dunia nyata. Disebabkan keterbatasan waktu, sumber daya, atau alasan lain yang tidak memungkinkan. Ketiga, penggunaan kata nyata. Dalam perspektif konstruksionis, adanya pembingkaian isu menyebabkan representasi realitas tidak pernah benarbenar nyata. Bagi penonton anak-anak yang terbiasa dengan pemandangan kota metropolitan, film ini memiliki daya tarik sendiri. Pembuat film sengaja mengenalkan Papua dari pemandangan etnografi yang indah dan eksotis, ditambah dengan budaya dan penampilan fisik orang Papua yang berbeda dari kita. Perbedaan yang ditonjolkan ini seperti perulangan dari stereotip kulit hitam yang biasa dilihat di film Hollywood, yang oleh Donald Bogle dalam Hall (1997: 251) disebut sebagai Other. Dari lima tipe stereotip yakni Tom, Coon, Mullato, Mammies, dan Bad Bucks, dua diantaranya terdapat di film ini. Sosok Denias yang lugu jelas dikategorikan pada tipe Tom. Karakternya adalah anak baik hati dan patuh, sering dianiaya Noel, tidak pernah melawan orang kulit putih (direpresentasikan pada sosok Maleo, Pak Guru, Ibu Gembala, dan Angel), gigih namun pasrah ketika menyadari usahanya tidak membuahkan hasil. Karakter ini cukup berhasil diperankan dengan baik oleh Albert Fakdawer hingga film ini mendapat banyak pujian karena sukses menarik simpati penonton. Tapi sebaliknya, karakter Noel yang suka berbuat onar mendekati tipe Bad Bucks. Meskipun di akhir cerita, anak nakal ini kapok dan menjadi anak baik seperti Denias. Pengamatan menemukan bahwa pembuat film dekat dengan pemikiran dominan bahwa Papua masih inferior. Tampak dari bagaimana realitas yang direpresentasikan masih terkait dengan stereotip tentang Papua. Stereotip terkait dengan pandangan atau judgment atas identitas, baik kondisi fisik, jender, ras, maupun politik. Sederhananya, menurut Richard Dyer (dalam Hall 1997: 257), stereotip didefenisikan sebagai karakteristik yang simpel, gamblang, dapat diingat, mudah diserap, umum dikenal tentang seseorang atau kelompok tertentu. Meskipun melalui karakter polos anak-anak, kepedalaman mereka ditonjolkan dengan budaya dan adat yang primitif. Hal utama yang mudah ditangkap sebagai sisi primitif di film Denias, Senandung di Atas Awan tampak menonjol dalam penampilan fisik sebagai penanda tubuh. Bahkan kamera sering mengambil gambar penampilan ini secara close up. Penduduk lokal di latar pedalaman tampak menonjol dengan kulit hitam dan penampilannya yang hampir telanjang karena hanya berpakaian untuk menutupi alat kelaminnya saja. Pakaian ini berupa koteka pada laki-laki, dan sadli pada perempuan. Semuanya bertelanjang dada. Perbedaan dalam merepresentasikan tubuh ini menjadi bukti nyata akan perbedaan ras. Ras dianggap sebagai fakta sosial, sebuah bukti diri atas identitas dan karakter manusia. Di sisi lain, pembuat film memperhatikan sisi estetika berpakaian yang menyesuaikan budaya kota, yaitu dengan memperlihatkan pakaian menutup aurat pada tokoh-tokoh utama film. Selain itu, kehidupan pedalaman Papua yang miskin juga ditampilkan di film ini. Diceritakan dari hambatan Denias dan Enos masuk sekolah fasilitas di kota karena mereka bukan anak siapa-siapa. Kurangnya akses pendidikan di pedalaman direpresentasikan pada sosok anak-anak yang terkesan bodoh karena kepolosannya. Namun di dalam film, kesan bodoh ini justru dijadikan bahan lelucon untuk penonton. Bahkan Denias yang tergolong paling cerdas di antara teman-teman desanya tidak bisa membedakan sapi, anjing, dan babi, serta tidak bisa menyusun peta Indonesia dengan benar. Sementara itu, stereotip keras pada watak orang Papua pun direpresentasikan pada anak-anak pedalaman ini. Denias dan Noel diceritakan bermusuhan dan mudah terpancing emosi yang berbuntut adu fisik. Teman-teman mereka, bukannya melerai, justru menonton perkelahian mereka dengan senang. Sedangkan secara tersirat, pembuat film memasukkan ideologi atau pandangan dominan. Lewat sosok anak-anak penuh semangat sekolah yang disajikan di film Denias, Senandung di Atas Awan, Papua terlihat sangat damai. Namun di sinilah ideologi diletakkan, dan dikonstruksi melalui representasi, hingga memunculkan makna baru bagi penonton. Fiske (1987: 11) menyatakan kita ini telah menjadi generasi pembaca yang dikonstruksi oleh teks, bahkan menurut Althusser (1971), konstruksi subjek-dalam-ideologi merupakan praktik ideologi utama pada masyarakat kapitalis, yang kemudian disebut ideologi dominan. Ini mengapa banyak penonton simpati dengan film ini, karena makna dari pesan pembuat film tersalurkan. Adanya tokoh Maleo, Ibu Gembala, dan Pak Guru menjadi tanda berlakunya ideologi dominan di film ini. Ketiganya tokoh penting bagi hidup Denias, ketiganya pula diceritakan berasal dari Jawa. Di sini pembuat film memposisikan Jawa sebagai role model bagi anak-anak pedalaman Papua. Terdapat oposisi biner antara pemikiran anak-anak dan orang dewasa di pedalaman Papua tentang Jawa. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua sudah lebih terbuka, maju, dan modern dibanding para orang tua yang kolot. Denias memandang belajar di sekolah adalah sebuah keharusan. Denias dan temantemannya bahkan mendambakan seragam merah-putih agar bisa seperti anak-anak sekolah di Jawa. Sementara ayah Denias, Samuel, dan kepala suku berkeras menilai belajar adalah kewajiban anak-anak di Jawa, tak perlu diterapkan di pedalaman Papua. Ideologi yang disampaikan dalam film ini adalah pandangan modernisme, yaitu dengan menyetarakan Papua dengan Jawa, tetapi tetap merendahkan Papua dengan stereotip-stereotip atas Other yang mengacu pada rasisme. Ada pun bagi penonton dewasa yang sedikit banyak mengerti kompleksnya konflik yang terjadi di Papua, representasi ke-Indonesia-an yang ada di film ini jelas sebuah konstruksi yang berlebihan. Namun bagi penonton anakanak, yang dalam pelajaran di sekolahnya dipatenkan bahwa Papua, yang dulu bernama Irian Jaya ini, adalah bagian dari Republik Indonesia, representasi nasionalisme di film ini tidak mengada-ada. Berdasarkan argumen Ernest Gellner dan Hobsbawn dalam Billig (2002: 19), nasionalisme sangat terkait dengan konsep negara-bangsa, yang mana di kondisi ini prinsip politik terlihat alami. Lingkup negara-bangsa adalah segala bentuk karakter dasar tentang modernitas. Sementara sejarawan Watson dan Johnson menyebut munculnya rasa patriotisme dan loyalitas. Begitu nasionalisnya seorang Denias, bocah ini hormat di hadapan peta Indonesia dari kertas karton meski dengan susunan pulau yang salah. Denias juga menyanyikan reffrain lagu Indonesia Raya dengan baik, walaupun dengan lafal yang keliru: Endonesa. Anak-anak pedalaman ini pun senang bukan kepalang saat Maleo memberikan masing-masing seragam merah-putih. Dari Maleo pula anak-anak ini belajar tentang Indonesia. Peran Maleo di film ini tidak menunjukkan fungsi seorang tentara yang bertugas, karena keberadaannya di desa Denias lebih pada misi sosial. Satu-satunya identitas tentara Maleo yang terlihat jelas hanya pada saat ia mengenakan seragam profesinya dengan lengkap. Menengok beberapa pemikiran Louis Althusser (1969), ideologi diproduksi pada subjek, seperti halnya pemaknaan representasi. Pada masyarakat kapitalis, Althusser menjelaskan pendekatan konseptual peran ideologi (Wayne, 2005: 88). Repressive State Apparatus (RSAs) atau Aparatus Negara Represif dan Ideological State Apparatus (ISAs) yaitu Aparatus Negara Ideologis. Kedua pendekatan ini bersama-sama menyokong kekuatan negara untuk kelas penguasa, dan mempertahankan status quo. Fungsi militer yang ditugaskan di Papua antara lain mengawasi aktivitas warga setempat. Dari pemberitaan media, kerap terjadi bentrokan antara militer dengan warga sipil. Bahkan berbagai bentuk penindasan hingga pembantaian dilakukan satuan militer, mengakibatkan penderitaan dan tekanan dialami warga sipil. Anak-anak pun menjadi sulit mendapat akses pendidikan karena ketatnya operasi militer dijalankan. Dari sini terlihat pendekatan pertama Althusser. Tentara berkuasa, menguasai negara. Anak-anak pedalaman Papua digunakan sebagai alat untuk mengangkat kekuatan militer di Papua, tapi dengan menyinggung sisi lembut seorang militer, yang selama ini identik keras. Jelas bahwa ideologi di sini adalah militerisme pemerintah Indonesia, direpresentasikam dengan menjunjung tinggi sosok militer sebagai aspek yang ditonjolkan. Dan mengabaikan aspek lainnya seperti apa sesungguhnya fungsi militer di tanah Papua, karena dalam film sama sekali tidak ditampilkan konflik nyata sedikit pun. PENUTUP Film ini tidak hanya berusaha menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak, termasuk anak-anak pedalaman Papua. Tetapi juga menyajikan kebudayaan Papua, memberi contoh bagaimana menjadi anak Indonesia, hingga memperkenalkan sosok militer. Penelitian menemukan representasi sosok anakanak pedalaman Papua, juga ideologi-ideologi yang tersimpan di baliknya. a. Anak-anak pedalaman Papua dianggap sebagai Other, yang membedakan mereka dengan anak-anak kita. Perbedaan tidak hanya diperlihatkan dari warna kulit, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, intelektual, dan perilaku. Anak-anak pedalaman berkulit hitam ini direpresentasikan dengan kebudayaan primitif, keluarga miskin, tidak pintar, dan suka berkelahi. Representasi atas ke-other-an ini menyiratkan pandangan tentang perbedaan ras. Bahwa ras orang Papua masih dianggap lebih rendah dan tidak seberadab kita yang tinggal di Jawa, misalnya. b. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua direpresentasikan sudah lebih maju dengan menyadari pentingnya pendidikan. Semangat belajar dan menuntut ilmu hingga ke kota merupakan bentuk kemajuan peradaban anak-anak pedalaman Papua. Di samping itu, semangat belajar Denias dan teman-teman didorong oleh orang-orang pendatang dari Jawa. Pembuat film memasukkan ideologi modernisme, sebagai upaya menyetarakan peradaban Papua dengan Jawa. c. Pada sosok Denias, anak pedalaman Papua direpresentasikan sebagai pribadi yang nasionalis. Bentuk kecintaannya pada negara ditonjolkan lewat penghormatan terhadap wilayah Indonesia, seragam sekolah merah-putih, lagu Indonesia Raya, dan upacara bendera. Dengan representasi ini, pembuat film mengambil jalan aman, yakni menghilangkan konflik sosial politik di Papua, dan meletakkan nasionalisme sebagai ideologi dominan. Untuk mematenkan Papua sebagai wilayah yang tak terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Keseharian hidup anak-anak pedalaman Papua digambarkan tidak lepas dari peran militer. Film merepresentasikan anak-anak pedalaman Papua yang berteman baik dengan TNI-AD yang bertugas di wilayahnya. Keakraban di antara mereka membentuk pencitraan positif militer di Papua. Maka dalam representasi ini terdapat ideologi militerisme, yang mana penonton menangkap makna bahwa militer adalah pengayom rakyat Papua, berdedikasi tinggi untuk misi sosial, antara lain mengusahakan pendidikan yang layak bagi anak-anak pedalaman Papua. DAFTAR PUSTAKA Billig, Michael. 2002. Banal Nationalism. London: SAGE Publications. Croteau, David dan William Hoynes. 2000. Media Society: Industries, Images and Audiences. Thousand Oaks: Pine Forge Press. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Effendy, Heru. 2008. Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta: Erlangga. Fiske, John. 2001. Television Culture. New York: Routledge. Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: SAGE Publications. Wayne, Mike (ed.). 2005. Understanding Film: Marxist Perspectives. London: Pluto Press. Sumber internet: Veronique. 2008. Problem Representasi dalam Film “Denias, Senandung di Atas Awan”. Dalam http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_ interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses pada 4 Juli 2012. }, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/2961} }
Refworks Citation Data :
Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias,Senandung di Atas AwanJUDUL : Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papuadalam Film Denias, Senandung di Atas AwanNAMA : Daeng Lanta Mutiara Rato RasanaeNIM : 14030110151029ABSTRAKFilm adalah media populer yang digunakan tidak hanya untuk menyampaikanpesan-pesan, tetapi juga menyalurkan pandangan-pandangan kepada khalayak.Perkembangan film Indonesia menjadikan para pembuat film semakin kreatifmengangkat tema dan subjek film, salah satunya tentang anak-anak pedalaman.Ini yang membuat Alenia Pictures memproduksi Denias, Senandung di AtasAwan. Film ini menjadi tema segar di tengah sedikitnya film anak-anak nasional,yang semuanya berlatar kota metropolitan. Film yang diproduksi tahun 2006 inimenceritakan perjuangan anak-anak pedalaman Papua mengejar pendidikan.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui representasi sosok anak-anakpedalaman Papua. Dengan tipe penelitian kualitatif, penelitian menggunakananalisis semiotika. Teknik analisis data menggunakan konsep Kode-Kode Televisiyang dikemukakan John Fiske. Analisis dilakukan dengan tiga level, yakni levelrealitas, level representasi, dan level ideologi. Level realitas dan level representasidianalisis secara sintagmatik, sedangkan analisis secara paradigmatik untuk levelideologi.Hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak pedalaman Papuadigambarkan sebagai Other, seperti halnya stereotip terhadap ras kulit hitam.Stereotip ini digambarkan primitif, miskin, bodoh, dan suka berkelahi. Sangatmungkin bagi pembuat film untuk mengonstruksi realitas agar dapatmenempatkan ideologi-ideologi. Di sini, pembuat film menggunakan anak-anaksebagai alat penyalur ideologi dominan. Pendidikan membuat peradaban danpemikiran anak-anak pedalaman lebih modern. Film ini juga menonjolkan sisinasionalis seorang anak pedalaman Papua, serta menjunjung peran militer secarapositif. Konstruksi realitas dilakukan dengan menghilangkan fakta tentang konfliksosial politik di Papua. Selain berusaha mengajak penonton anak-anak semangatbersekolah, film ini juga menyiratkan makna yang kuat bahwa Papua adalahbagian dari wilayah Indonesia yang tidak boleh dipisahkan.Kata kunci: film, representasi, anak-anak, PapuaTITLE : Representation of Papua Inland Children Figure onDenias, Senandung di Atas AwanNAME : Daeng Lanta Mutiara Rato RasanaeNIM : 14030110151029ABSTRACTMovie is popular media that is used not only to convey messages, but also to leadideas to public. Indonesia movie development causes the movie makers gettingcreative in raising movie themes and subjects, one of them is about the inlandchildren. This is the reason why Alenia Pictures produced Denias, Senandung diAtas Awan. The movie becomes a fresh theme in the middle of some nationalchildren movies, which all are set in metropolitan cities. The movie was producedin the year 2006, tells about the Papua inland children who struggle to reacheducation.The research aims to determine the representation of Papua inland childrenfigure. With qualitative type, the research uses semiotics analysis. Data analysistechnique applies the concept of Television Codes put forward by John Fiske. Theanalysis is applied by three levels, namely reality level, representation level, andideology level. Reality and representation level are sintagmatically analyzed,whereas paradigmatically analyzed for ideology level.The final results of the research find out that Papua inland children aredescribed as Other, just as the stereotypes of black race. The stereotypes aredescribed as primitive, poor, foolish, and fight a lot. It is very possible for moviemaker to construct reality so they can put down ideologies. Here, movie makeruse the children as a medium for dominant ideology. Education makes theircivilization and ideas get a little more modern. The movie also shows up theirnationalist side, and positively give a full respect for military role as well. Theconstruction of reality is attempted by missing the facts about social politicconflict in Papua. Beside attempting to invite the children audience to be schoolspirited,the movie implies a strong meaning that Papua is part of Indonesiaterritories that may not be separated.Keyword : movie, representation, children, PapuaPENDAHULUANMedia audio visual telah menjadi bentuk hiburan yang banyak digunakankhalayak, salah satunya film. Selain berfungsi menghibur, film diproduksi sebagaipenyalur pesan dari pembuat film kepada khalayak. Dalam perkembangan filmIndonesia pada kurun dekade terakhir, pembuat film semakin kreatifmengeksplorasi tema-tema baru. Tak hanya menyampaikan pesan, pembuat filmpun meletakkan ideologi-ideologi. Tujuannya selain agar penonton menerimapesan yang dimaksud, juga agar ideologi-ideologi tersebut terserap dan menempeldi benak penonton. Ini menjadikan film sebagai salah satu media komunikasimassa yang efektif.Pembuat film tentu menyadari benak penonton anak-anak dengan mudahmenyerap apa yang mereka lihat dan dengar. Namun, pembuat film juga perlumemilih tema yang sesuai dan disukai anak-anak, yakni film yang mengandungpesan moral dan bertema petualangan. Menurut analisis Heru Effendy (2008: 28),kelompok remaja maupun anak adalah sasaran empuk bagi film-film denganmuatan pendidikan yang baik. Dari segi ekonomis, bisa dideskripsikan bahwalebih dari separuh penonton film Indonesia di bioskop saat ini adalah remaja. Disisi lain, jumlah anak-anak tidak sebanyak remaja, hingga film anak-anak yangdiproduksi tidak sampai 5% dari total produksi film Indonesia.Rumah produksi Alenia Pictures menemukan celah baru yang selama inibelum dirambah film lain. Film Denias, Senandung di Atas Awan menjadi debutAlenia sekaligus film anak-anak pertama yang menyorot kehidupan di pedalamanPapua.Film Indonesia tampaknya masih berkiblat pada perfilman Hollywood, dimana kehidupan pedalaman ditampilkan secara kurang beradab atau masihprimitif. Terlebih pada ras kulit hitam, secara global mereka ditampilkan sebagaisosok yang identik dengan kekerasan, bodoh, miskin, dan primitif. Tak jauhberbeda dengan film tentang pedalaman Papua, pembuat film masihmengadopsi—walau walau tak seesktrem—stereotip-stereotip kulit hitamHollywood tersebut.Adalah kewenangan pembuat film untuk membentuk seperti apa realitas dilayar, terlepas dari sesuai tidaknya dengan dunia nyata. Demikian juga dalam filmDenias, Senandung di Atas Awan, menceritakan keinginan anak-anak pedalamanuntuk belajar, meski hanya di sekolah darurat yang berbentuk Honai sederhana.Denias dan teman-temannya diceritakan sangat akrab dengan seorang TNI-AD,dikenal dengan nama Maleo, yang bertugas di desanya.Namun tak dapat dipungkiri, sebagai daerah yang sedang mengalamikonflik, Papua ada dalam pengawasan TNI. Menurut laporan Human RightsWatch (HRW) pada 2007, wilayah pegunungan/dataran tinggi Papua telah lamamenjadi wilayah konfrontasi antara militer dan polisi Indonesia dengan sel-selkecil Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah organisasi politik bawah tanahyang didirikan sejak tahun 1965. Organisasi rahasia ini telah berulang kalimelakukan serangan terhadap instalasi militer Indonesia, sementara militerIndonesia dengan gencar melakukan sweeping hingga ke daerah-daerah palingterpencil untuk memberantas kaum yang disebut pemberontak ini. Sweeping yangdilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak jarang disertai penjarahan,perusakan barang milik penduduk setempat bahkan tindak kekerasan hinggapemerkosaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil. Menurut laporan terbaruHRW, pengawasan militer untuk daerah dataran tinggi Papua jauh lebih intensifdari daerah-daerah lain di Papua(http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses 4 Juli 2012).Mengesampingkan fakta-fakta tentang perlakuan kekerasan TNI di tanahPapua terhadap rakyat sipil, dalam Denias, Senandung di Atas Awan, sosok TNIADyang dipanggil Maleo (diperankan Ari Sihasale) justru sangat akrab dengananak-anak. Maleo merupakan salah satu tokoh panutan Denias yang mengantarsemangatnya mengejar mimpi ke sekolah fasilitas di kota.Di balik kesuksesan Denias, Senandung di Atas Awan menyentuh emosipenonton dalam kegigihan Denias untuk menuntut ilmu, film ini justrumenempatkan—tak hanya orang dewasa Papua seperti film-film sebelumnya,tetapi juga—anak-anak dalam ke-inferioritas-an. Alenia Pictures nampaknyaberhasil menggambarkan keoptimisan seorang anak meraih pendidikan sembarimenjual keibaan terhadap anak-anak Papua itu sendiri. Yang artinya, realitas yangdiadaptasi dari film ini berhasil dikonstruksi sedemikian rupa sehinggamembelokkan stereotip-stereotip miring terhadap orang-orang Papua, menjadilebih beradab lewat sosok anak-anak yang mengejar pendidikan. Namun tetap,terpinggirkan dan inferior bahkan di kampung halamannya sendiri.Berdasarkan sosok orang Papua yang ditampilkan sacara tidak mengancamseperti ini, maka penelitian merumuskan permasalahan tentang representasi sosokanak-anak pedalaman Papua dalam film Denias, Senandung di Atas Awan.ISIPenelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dengan analisis semiotika,yakni menganalisis teks media sebagai suatu kesatuan struktur untuk melihat danmembaca makna yang terkandung di balik teks. Untuk meneliti respresentasisendiri menggunakan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan,menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24).Data yang diperoleh untuk melakukan penelitian ini berdasarkanpengamatan dan pengkajian pada film Denias, Senandung di Atas Awan, denganteknik analisis kode-kode televisi John Fiske. Kode-kode ini meliputi tiga level,yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi. Analisis ketiga leveltersebut lebih lanjut akan mengungkapkan bagaimana pembuat filmmerepresentasikan sosok anak-anak pedalaman Papua melalui tanda-tanda,bagaimana realitas dikonstruksi untuk mencapai makna yang mengandungideologi pembuat film.Memahami bagaimana media (termasuk film) merepresentasikan realitas,Croteau dan Hoynes (2000: 214) menjelaskan dalam tiga gagasan. Pertama,representasi bukanlah realitas. Ada proses seleksi di mana terdapat aspek-aspekyang ditonjolkan atau diabaikan. Kedua, media tidak merefleksikan dunia nyata.Disebabkan keterbatasan waktu, sumber daya, atau alasan lain yang tidakmemungkinkan. Ketiga, penggunaan kata nyata. Dalam perspektif konstruksionis,adanya pembingkaian isu menyebabkan representasi realitas tidak pernah benarbenarnyata.Bagi penonton anak-anak yang terbiasa dengan pemandangan kotametropolitan, film ini memiliki daya tarik sendiri. Pembuat film sengajamengenalkan Papua dari pemandangan etnografi yang indah dan eksotis,ditambah dengan budaya dan penampilan fisik orang Papua yang berbeda darikita. Perbedaan yang ditonjolkan ini seperti perulangan dari stereotip kulit hitamyang biasa dilihat di film Hollywood, yang oleh Donald Bogle dalam Hall (1997:251) disebut sebagai Other. Dari lima tipe stereotip yakni Tom, Coon, Mullato,Mammies, dan Bad Bucks, dua diantaranya terdapat di film ini. Sosok Denias yanglugu jelas dikategorikan pada tipe Tom. Karakternya adalah anak baik hati danpatuh, sering dianiaya Noel, tidak pernah melawan orang kulit putih(direpresentasikan pada sosok Maleo, Pak Guru, Ibu Gembala, dan Angel), gigihnamun pasrah ketika menyadari usahanya tidak membuahkan hasil. Karakter inicukup berhasil diperankan dengan baik oleh Albert Fakdawer hingga film inimendapat banyak pujian karena sukses menarik simpati penonton. Tapisebaliknya, karakter Noel yang suka berbuat onar mendekati tipe Bad Bucks.Meskipun di akhir cerita, anak nakal ini kapok dan menjadi anak baik sepertiDenias.Pengamatan menemukan bahwa pembuat film dekat dengan pemikirandominan bahwa Papua masih inferior. Tampak dari bagaimana realitas yangdirepresentasikan masih terkait dengan stereotip tentang Papua. Stereotip terkaitdengan pandangan atau judgment atas identitas, baik kondisi fisik, jender, ras,maupun politik. Sederhananya, menurut Richard Dyer (dalam Hall 1997: 257),stereotip didefenisikan sebagai karakteristik yang simpel, gamblang, dapat diingat,mudah diserap, umum dikenal tentang seseorang atau kelompok tertentu.Meskipun melalui karakter polos anak-anak, kepedalaman mereka ditonjolkandengan budaya dan adat yang primitif. Hal utama yang mudah ditangkap sebagaisisi primitif di film Denias, Senandung di Atas Awan tampak menonjol dalampenampilan fisik sebagai penanda tubuh. Bahkan kamera sering mengambilgambar penampilan ini secara close up. Penduduk lokal di latar pedalamantampak menonjol dengan kulit hitam dan penampilannya yang hampir telanjangkarena hanya berpakaian untuk menutupi alat kelaminnya saja. Pakaian ini berupakoteka pada laki-laki, dan sadli pada perempuan. Semuanya bertelanjang dada.Perbedaan dalam merepresentasikan tubuh ini menjadi bukti nyata akan perbedaanras. Ras dianggap sebagai fakta sosial, sebuah bukti diri atas identitas dan karaktermanusia. Di sisi lain, pembuat film memperhatikan sisi estetika berpakaian yangmenyesuaikan budaya kota, yaitu dengan memperlihatkan pakaian menutup auratpada tokoh-tokoh utama film. Selain itu, kehidupan pedalaman Papua yang miskinjuga ditampilkan di film ini. Diceritakan dari hambatan Denias dan Enos masuksekolah fasilitas di kota karena mereka bukan anak siapa-siapa.Kurangnya akses pendidikan di pedalaman direpresentasikan pada sosokanak-anak yang terkesan bodoh karena kepolosannya. Namun di dalam film,kesan bodoh ini justru dijadikan bahan lelucon untuk penonton. Bahkan Deniasyang tergolong paling cerdas di antara teman-teman desanya tidak bisamembedakan sapi, anjing, dan babi, serta tidak bisa menyusun peta Indonesiadengan benar. Sementara itu, stereotip keras pada watak orang Papua pundirepresentasikan pada anak-anak pedalaman ini. Denias dan Noel diceritakanbermusuhan dan mudah terpancing emosi yang berbuntut adu fisik. Teman-temanmereka, bukannya melerai, justru menonton perkelahian mereka dengan senang.Sedangkan secara tersirat, pembuat film memasukkan ideologi ataupandangan dominan. Lewat sosok anak-anak penuh semangat sekolah yangdisajikan di film Denias, Senandung di Atas Awan, Papua terlihat sangat damai.Namun di sinilah ideologi diletakkan, dan dikonstruksi melalui representasi,hingga memunculkan makna baru bagi penonton. Fiske (1987: 11) menyatakankita ini telah menjadi generasi pembaca yang dikonstruksi oleh teks, bahkanmenurut Althusser (1971), konstruksi subjek-dalam-ideologi merupakan praktikideologi utama pada masyarakat kapitalis, yang kemudian disebut ideologidominan. Ini mengapa banyak penonton simpati dengan film ini, karena maknadari pesan pembuat film tersalurkan.Adanya tokoh Maleo, Ibu Gembala, dan Pak Guru menjadi tandaberlakunya ideologi dominan di film ini. Ketiganya tokoh penting bagi hidupDenias, ketiganya pula diceritakan berasal dari Jawa. Di sini pembuat filmmemposisikan Jawa sebagai role model bagi anak-anak pedalaman Papua.Terdapat oposisi biner antara pemikiran anak-anak dan orang dewasa dipedalaman Papua tentang Jawa. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua sudahlebih terbuka, maju, dan modern dibanding para orang tua yang kolot. Deniasmemandang belajar di sekolah adalah sebuah keharusan. Denias dan temantemannyabahkan mendambakan seragam merah-putih agar bisa seperti anak-anaksekolah di Jawa. Sementara ayah Denias, Samuel, dan kepala suku berkerasmenilai belajar adalah kewajiban anak-anak di Jawa, tak perlu diterapkan dipedalaman Papua. Ideologi yang disampaikan dalam film ini adalah pandanganmodernisme, yaitu dengan menyetarakan Papua dengan Jawa, tetapi tetapmerendahkan Papua dengan stereotip-stereotip atas Other yang mengacu padarasisme.Ada pun bagi penonton dewasa yang sedikit banyak mengertikompleksnya konflik yang terjadi di Papua, representasi ke-Indonesia-an yang adadi film ini jelas sebuah konstruksi yang berlebihan. Namun bagi penonton anakanak,yang dalam pelajaran di sekolahnya dipatenkan bahwa Papua, yang dulubernama Irian Jaya ini, adalah bagian dari Republik Indonesia, representasinasionalisme di film ini tidak mengada-ada. Berdasarkan argumen Ernest Gellnerdan Hobsbawn dalam Billig (2002: 19), nasionalisme sangat terkait dengankonsep negara-bangsa, yang mana di kondisi ini prinsip politik terlihat alami.Lingkup negara-bangsa adalah segala bentuk karakter dasar tentang modernitas.Sementara sejarawan Watson dan Johnson menyebut munculnya rasa patriotismedan loyalitas. Begitu nasionalisnya seorang Denias, bocah ini hormat di hadapanpeta Indonesia dari kertas karton meski dengan susunan pulau yang salah. Deniasjuga menyanyikan reffrain lagu Indonesia Raya dengan baik, walaupun denganlafal yang keliru: Endonesa. Anak-anak pedalaman ini pun senang bukan kepalangsaat Maleo memberikan masing-masing seragam merah-putih.Dari Maleo pula anak-anak ini belajar tentang Indonesia. Peran Maleo difilm ini tidak menunjukkan fungsi seorang tentara yang bertugas, karenakeberadaannya di desa Denias lebih pada misi sosial. Satu-satunya identitastentara Maleo yang terlihat jelas hanya pada saat ia mengenakan seragamprofesinya dengan lengkap. Menengok beberapa pemikiran Louis Althusser(1969), ideologi diproduksi pada subjek, seperti halnya pemaknaan representasi.Pada masyarakat kapitalis, Althusser menjelaskan pendekatan konseptual peranideologi (Wayne, 2005: 88). Repressive State Apparatus (RSAs) atau AparatusNegara Represif dan Ideological State Apparatus (ISAs) yaitu Aparatus NegaraIdeologis. Kedua pendekatan ini bersama-sama menyokong kekuatan negarauntuk kelas penguasa, dan mempertahankan status quo.Fungsi militer yang ditugaskan di Papua antara lain mengawasi aktivitaswarga setempat. Dari pemberitaan media, kerap terjadi bentrokan antara militerdengan warga sipil. Bahkan berbagai bentuk penindasan hingga pembantaiandilakukan satuan militer, mengakibatkan penderitaan dan tekanan dialami wargasipil. Anak-anak pun menjadi sulit mendapat akses pendidikan karena ketatnyaoperasi militer dijalankan. Dari sini terlihat pendekatan pertama Althusser.Tentara berkuasa, menguasai negara.Anak-anak pedalaman Papua digunakan sebagai alat untuk mengangkatkekuatan militer di Papua, tapi dengan menyinggung sisi lembut seorang militer,yang selama ini identik keras. Jelas bahwa ideologi di sini adalah militerismepemerintah Indonesia, direpresentasikam dengan menjunjung tinggi sosok militersebagai aspek yang ditonjolkan. Dan mengabaikan aspek lainnya seperti apasesungguhnya fungsi militer di tanah Papua, karena dalam film sama sekali tidakditampilkan konflik nyata sedikit pun.PENUTUPFilm ini tidak hanya berusaha menekankan pentingnya pendidikan bagianak-anak, termasuk anak-anak pedalaman Papua. Tetapi juga menyajikankebudayaan Papua, memberi contoh bagaimana menjadi anak Indonesia, hinggamemperkenalkan sosok militer. Penelitian menemukan representasi sosok anakanakpedalaman Papua, juga ideologi-ideologi yang tersimpan di baliknya.a. Anak-anak pedalaman Papua dianggap sebagai Other, yang membedakanmereka dengan anak-anak kita. Perbedaan tidak hanya diperlihatkan dariwarna kulit, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, intelektual, dan perilaku.Anak-anak pedalaman berkulit hitam ini direpresentasikan dengankebudayaan primitif, keluarga miskin, tidak pintar, dan suka berkelahi.Representasi atas ke-other-an ini menyiratkan pandangan tentang perbedaanras. Bahwa ras orang Papua masih dianggap lebih rendah dan tidak seberadabkita yang tinggal di Jawa, misalnya.b. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua direpresentasikan sudah lebih majudengan menyadari pentingnya pendidikan. Semangat belajar dan menuntutilmu hingga ke kota merupakan bentuk kemajuan peradaban anak-anakpedalaman Papua. Di samping itu, semangat belajar Denias dan teman-temandidorong oleh orang-orang pendatang dari Jawa. Pembuat film memasukkanideologi modernisme, sebagai upaya menyetarakan peradaban Papua denganJawa.c. Pada sosok Denias, anak pedalaman Papua direpresentasikan sebagai pribadiyang nasionalis. Bentuk kecintaannya pada negara ditonjolkan lewatpenghormatan terhadap wilayah Indonesia, seragam sekolah merah-putih,lagu Indonesia Raya, dan upacara bendera. Dengan representasi ini, pembuatfilm mengambil jalan aman, yakni menghilangkan konflik sosial politik diPapua, dan meletakkan nasionalisme sebagai ideologi dominan. Untukmematenkan Papua sebagai wilayah yang tak terpisah dari Negara KesatuanRepublik Indonesia.d. Keseharian hidup anak-anak pedalaman Papua digambarkan tidak lepas dariperan militer. Film merepresentasikan anak-anak pedalaman Papua yangberteman baik dengan TNI-AD yang bertugas di wilayahnya. Keakraban diantara mereka membentuk pencitraan positif militer di Papua. Maka dalamrepresentasi ini terdapat ideologi militerisme, yang mana penontonmenangkap makna bahwa militer adalah pengayom rakyat Papua, berdedikasitinggi untuk misi sosial, antara lain mengusahakan pendidikan yang layakbagi anak-anak pedalaman Papua.DAFTAR PUSTAKABillig, Michael. 2002. Banal Nationalism. London: SAGE Publications.Croteau, David dan William Hoynes. 2000. Media Society: Industries, Images andAudiences. Thousand Oaks: Pine Forge Press.Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.Effendy, Heru. 2008. Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta:Erlangga.Fiske, John. 2001. Television Culture. New York: Routledge.Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and SignifyingPractices. London: SAGE Publications.Wayne, Mike (ed.). 2005. Understanding Film: Marxist Perspectives. London:Pluto Press.Sumber internet:Veronique. 2008. Problem Representasi dalam Film “Denias, Senandung di AtasAwan”. Dalam http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses pada 4 Juli 2012.
Last update:
Interaksi Online, is published by Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jln. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275; Telp. (024)7460056, Fax: (024)7460055
Interaksi Online by http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/interaksi-online is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.