skip to main content

Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan


Citation Format:
Abstract

Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua dalam Film Denias,
Senandung di Atas Awan
JUDUL : Representasi Sosok Anak-Anak Pedalaman Papua
dalam Film Denias, Senandung di Atas Awan
NAMA : Daeng Lanta Mutiara Rato Rasanae
NIM : 14030110151029
ABSTRAK
Film adalah media populer yang digunakan tidak hanya untuk menyampaikan
pesan-pesan, tetapi juga menyalurkan pandangan-pandangan kepada khalayak.
Perkembangan film Indonesia menjadikan para pembuat film semakin kreatif
mengangkat tema dan subjek film, salah satunya tentang anak-anak pedalaman.
Ini yang membuat Alenia Pictures memproduksi Denias, Senandung di Atas
Awan. Film ini menjadi tema segar di tengah sedikitnya film anak-anak nasional,
yang semuanya berlatar kota metropolitan. Film yang diproduksi tahun 2006 ini
menceritakan perjuangan anak-anak pedalaman Papua mengejar pendidikan.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui representasi sosok anak-anak
pedalaman Papua. Dengan tipe penelitian kualitatif, penelitian menggunakan
analisis semiotika. Teknik analisis data menggunakan konsep Kode-Kode Televisi
yang dikemukakan John Fiske. Analisis dilakukan dengan tiga level, yakni level
realitas, level representasi, dan level ideologi. Level realitas dan level representasi
dianalisis secara sintagmatik, sedangkan analisis secara paradigmatik untuk level
ideologi.
Hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak pedalaman Papua
digambarkan sebagai Other, seperti halnya stereotip terhadap ras kulit hitam.
Stereotip ini digambarkan primitif, miskin, bodoh, dan suka berkelahi. Sangat
mungkin bagi pembuat film untuk mengonstruksi realitas agar dapat
menempatkan ideologi-ideologi. Di sini, pembuat film menggunakan anak-anak
sebagai alat penyalur ideologi dominan. Pendidikan membuat peradaban dan
pemikiran anak-anak pedalaman lebih modern. Film ini juga menonjolkan sisi
nasionalis seorang anak pedalaman Papua, serta menjunjung peran militer secara
positif. Konstruksi realitas dilakukan dengan menghilangkan fakta tentang konflik
sosial politik di Papua. Selain berusaha mengajak penonton anak-anak semangat
bersekolah, film ini juga menyiratkan makna yang kuat bahwa Papua adalah
bagian dari wilayah Indonesia yang tidak boleh dipisahkan.
Kata kunci: film, representasi, anak-anak, Papua
TITLE : Representation of Papua Inland Children Figure on
Denias, Senandung di Atas Awan
NAME : Daeng Lanta Mutiara Rato Rasanae
NIM : 14030110151029
ABSTRACT
Movie is popular media that is used not only to convey messages, but also to lead
ideas to public. Indonesia movie development causes the movie makers getting
creative in raising movie themes and subjects, one of them is about the inland
children. This is the reason why Alenia Pictures produced Denias, Senandung di
Atas Awan. The movie becomes a fresh theme in the middle of some national
children movies, which all are set in metropolitan cities. The movie was produced
in the year 2006, tells about the Papua inland children who struggle to reach
education.
The research aims to determine the representation of Papua inland children
figure. With qualitative type, the research uses semiotics analysis. Data analysis
technique applies the concept of Television Codes put forward by John Fiske. The
analysis is applied by three levels, namely reality level, representation level, and
ideology level. Reality and representation level are sintagmatically analyzed,
whereas paradigmatically analyzed for ideology level.
The final results of the research find out that Papua inland children are
described as Other, just as the stereotypes of black race. The stereotypes are
described as primitive, poor, foolish, and fight a lot. It is very possible for movie
maker to construct reality so they can put down ideologies. Here, movie maker
use the children as a medium for dominant ideology. Education makes their
civilization and ideas get a little more modern. The movie also shows up their
nationalist side, and positively give a full respect for military role as well. The
construction of reality is attempted by missing the facts about social politic
conflict in Papua. Beside attempting to invite the children audience to be schoolspirited,
the movie implies a strong meaning that Papua is part of Indonesia
territories that may not be separated.
Keyword : movie, representation, children, Papua
PENDAHULUAN
Media audio visual telah menjadi bentuk hiburan yang banyak digunakan
khalayak, salah satunya film. Selain berfungsi menghibur, film diproduksi sebagai
penyalur pesan dari pembuat film kepada khalayak. Dalam perkembangan film
Indonesia pada kurun dekade terakhir, pembuat film semakin kreatif
mengeksplorasi tema-tema baru. Tak hanya menyampaikan pesan, pembuat film
pun meletakkan ideologi-ideologi. Tujuannya selain agar penonton menerima
pesan yang dimaksud, juga agar ideologi-ideologi tersebut terserap dan menempel
di benak penonton. Ini menjadikan film sebagai salah satu media komunikasi
massa yang efektif.
Pembuat film tentu menyadari benak penonton anak-anak dengan mudah
menyerap apa yang mereka lihat dan dengar. Namun, pembuat film juga perlu
memilih tema yang sesuai dan disukai anak-anak, yakni film yang mengandung
pesan moral dan bertema petualangan. Menurut analisis Heru Effendy (2008: 28),
kelompok remaja maupun anak adalah sasaran empuk bagi film-film dengan
muatan pendidikan yang baik. Dari segi ekonomis, bisa dideskripsikan bahwa
lebih dari separuh penonton film Indonesia di bioskop saat ini adalah remaja. Di
sisi lain, jumlah anak-anak tidak sebanyak remaja, hingga film anak-anak yang
diproduksi tidak sampai 5% dari total produksi film Indonesia.
Rumah produksi Alenia Pictures menemukan celah baru yang selama ini
belum dirambah film lain. Film Denias, Senandung di Atas Awan menjadi debut
Alenia sekaligus film anak-anak pertama yang menyorot kehidupan di pedalaman
Papua.
Film Indonesia tampaknya masih berkiblat pada perfilman Hollywood, di
mana kehidupan pedalaman ditampilkan secara kurang beradab atau masih
primitif. Terlebih pada ras kulit hitam, secara global mereka ditampilkan sebagai
sosok yang identik dengan kekerasan, bodoh, miskin, dan primitif. Tak jauh
berbeda dengan film tentang pedalaman Papua, pembuat film masih
mengadopsi—walau walau tak seesktrem—stereotip-stereotip kulit hitam
Hollywood tersebut.
Adalah kewenangan pembuat film untuk membentuk seperti apa realitas di
layar, terlepas dari sesuai tidaknya dengan dunia nyata. Demikian juga dalam film
Denias, Senandung di Atas Awan, menceritakan keinginan anak-anak pedalaman
untuk belajar, meski hanya di sekolah darurat yang berbentuk Honai sederhana.
Denias dan teman-temannya diceritakan sangat akrab dengan seorang TNI-AD,
dikenal dengan nama Maleo, yang bertugas di desanya.
Namun tak dapat dipungkiri, sebagai daerah yang sedang mengalami
konflik, Papua ada dalam pengawasan TNI. Menurut laporan Human Rights
Watch (HRW) pada 2007, wilayah pegunungan/dataran tinggi Papua telah lama
menjadi wilayah konfrontasi antara militer dan polisi Indonesia dengan sel-sel
kecil Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah organisasi politik bawah tanah
yang didirikan sejak tahun 1965. Organisasi rahasia ini telah berulang kali
melakukan serangan terhadap instalasi militer Indonesia, sementara militer
Indonesia dengan gencar melakukan sweeping hingga ke daerah-daerah paling
terpencil untuk memberantas kaum yang disebut pemberontak ini. Sweeping yang
dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak jarang disertai penjarahan,
perusakan barang milik penduduk setempat bahkan tindak kekerasan hingga
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil. Menurut laporan terbaru
HRW, pengawasan militer untuk daerah dataran tinggi Papua jauh lebih intensif
dari daerah-daerah lain di Papua
(http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_interstitial=1&u=%2Fjo
urnal%2Fitem diakses 4 Juli 2012).
Mengesampingkan fakta-fakta tentang perlakuan kekerasan TNI di tanah
Papua terhadap rakyat sipil, dalam Denias, Senandung di Atas Awan, sosok TNIAD
yang dipanggil Maleo (diperankan Ari Sihasale) justru sangat akrab dengan
anak-anak. Maleo merupakan salah satu tokoh panutan Denias yang mengantar
semangatnya mengejar mimpi ke sekolah fasilitas di kota.
Di balik kesuksesan Denias, Senandung di Atas Awan menyentuh emosi
penonton dalam kegigihan Denias untuk menuntut ilmu, film ini justru
menempatkan—tak hanya orang dewasa Papua seperti film-film sebelumnya,
tetapi juga—anak-anak dalam ke-inferioritas-an. Alenia Pictures nampaknya
berhasil menggambarkan keoptimisan seorang anak meraih pendidikan sembari
menjual keibaan terhadap anak-anak Papua itu sendiri. Yang artinya, realitas yang
diadaptasi dari film ini berhasil dikonstruksi sedemikian rupa sehingga
membelokkan stereotip-stereotip miring terhadap orang-orang Papua, menjadi
lebih beradab lewat sosok anak-anak yang mengejar pendidikan. Namun tetap,
terpinggirkan dan inferior bahkan di kampung halamannya sendiri.
Berdasarkan sosok orang Papua yang ditampilkan sacara tidak mengancam
seperti ini, maka penelitian merumuskan permasalahan tentang representasi sosok
anak-anak pedalaman Papua dalam film Denias, Senandung di Atas Awan.
ISI
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dengan analisis semiotika,
yakni menganalisis teks media sebagai suatu kesatuan struktur untuk melihat dan
membaca makna yang terkandung di balik teks. Untuk meneliti respresentasi
sendiri menggunakan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan,
menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,
dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24).
Data yang diperoleh untuk melakukan penelitian ini berdasarkan
pengamatan dan pengkajian pada film Denias, Senandung di Atas Awan, dengan
teknik analisis kode-kode televisi John Fiske. Kode-kode ini meliputi tiga level,
yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi. Analisis ketiga level
tersebut lebih lanjut akan mengungkapkan bagaimana pembuat film
merepresentasikan sosok anak-anak pedalaman Papua melalui tanda-tanda,
bagaimana realitas dikonstruksi untuk mencapai makna yang mengandung
ideologi pembuat film.
Memahami bagaimana media (termasuk film) merepresentasikan realitas,
Croteau dan Hoynes (2000: 214) menjelaskan dalam tiga gagasan. Pertama,
representasi bukanlah realitas. Ada proses seleksi di mana terdapat aspek-aspek
yang ditonjolkan atau diabaikan. Kedua, media tidak merefleksikan dunia nyata.
Disebabkan keterbatasan waktu, sumber daya, atau alasan lain yang tidak
memungkinkan. Ketiga, penggunaan kata nyata. Dalam perspektif konstruksionis,
adanya pembingkaian isu menyebabkan representasi realitas tidak pernah benarbenar
nyata.
Bagi penonton anak-anak yang terbiasa dengan pemandangan kota
metropolitan, film ini memiliki daya tarik sendiri. Pembuat film sengaja
mengenalkan Papua dari pemandangan etnografi yang indah dan eksotis,
ditambah dengan budaya dan penampilan fisik orang Papua yang berbeda dari
kita. Perbedaan yang ditonjolkan ini seperti perulangan dari stereotip kulit hitam
yang biasa dilihat di film Hollywood, yang oleh Donald Bogle dalam Hall (1997:
251) disebut sebagai Other. Dari lima tipe stereotip yakni Tom, Coon, Mullato,
Mammies, dan Bad Bucks, dua diantaranya terdapat di film ini. Sosok Denias yang
lugu jelas dikategorikan pada tipe Tom. Karakternya adalah anak baik hati dan
patuh, sering dianiaya Noel, tidak pernah melawan orang kulit putih
(direpresentasikan pada sosok Maleo, Pak Guru, Ibu Gembala, dan Angel), gigih
namun pasrah ketika menyadari usahanya tidak membuahkan hasil. Karakter ini
cukup berhasil diperankan dengan baik oleh Albert Fakdawer hingga film ini
mendapat banyak pujian karena sukses menarik simpati penonton. Tapi
sebaliknya, karakter Noel yang suka berbuat onar mendekati tipe Bad Bucks.
Meskipun di akhir cerita, anak nakal ini kapok dan menjadi anak baik seperti
Denias.
Pengamatan menemukan bahwa pembuat film dekat dengan pemikiran
dominan bahwa Papua masih inferior. Tampak dari bagaimana realitas yang
direpresentasikan masih terkait dengan stereotip tentang Papua. Stereotip terkait
dengan pandangan atau judgment atas identitas, baik kondisi fisik, jender, ras,
maupun politik. Sederhananya, menurut Richard Dyer (dalam Hall 1997: 257),
stereotip didefenisikan sebagai karakteristik yang simpel, gamblang, dapat diingat,
mudah diserap, umum dikenal tentang seseorang atau kelompok tertentu.
Meskipun melalui karakter polos anak-anak, kepedalaman mereka ditonjolkan
dengan budaya dan adat yang primitif. Hal utama yang mudah ditangkap sebagai
sisi primitif di film Denias, Senandung di Atas Awan tampak menonjol dalam
penampilan fisik sebagai penanda tubuh. Bahkan kamera sering mengambil
gambar penampilan ini secara close up. Penduduk lokal di latar pedalaman
tampak menonjol dengan kulit hitam dan penampilannya yang hampir telanjang
karena hanya berpakaian untuk menutupi alat kelaminnya saja. Pakaian ini berupa
koteka pada laki-laki, dan sadli pada perempuan. Semuanya bertelanjang dada.
Perbedaan dalam merepresentasikan tubuh ini menjadi bukti nyata akan perbedaan
ras. Ras dianggap sebagai fakta sosial, sebuah bukti diri atas identitas dan karakter
manusia. Di sisi lain, pembuat film memperhatikan sisi estetika berpakaian yang
menyesuaikan budaya kota, yaitu dengan memperlihatkan pakaian menutup aurat
pada tokoh-tokoh utama film. Selain itu, kehidupan pedalaman Papua yang miskin
juga ditampilkan di film ini. Diceritakan dari hambatan Denias dan Enos masuk
sekolah fasilitas di kota karena mereka bukan anak siapa-siapa.
Kurangnya akses pendidikan di pedalaman direpresentasikan pada sosok
anak-anak yang terkesan bodoh karena kepolosannya. Namun di dalam film,
kesan bodoh ini justru dijadikan bahan lelucon untuk penonton. Bahkan Denias
yang tergolong paling cerdas di antara teman-teman desanya tidak bisa
membedakan sapi, anjing, dan babi, serta tidak bisa menyusun peta Indonesia
dengan benar. Sementara itu, stereotip keras pada watak orang Papua pun
direpresentasikan pada anak-anak pedalaman ini. Denias dan Noel diceritakan
bermusuhan dan mudah terpancing emosi yang berbuntut adu fisik. Teman-teman
mereka, bukannya melerai, justru menonton perkelahian mereka dengan senang.
Sedangkan secara tersirat, pembuat film memasukkan ideologi atau
pandangan dominan. Lewat sosok anak-anak penuh semangat sekolah yang
disajikan di film Denias, Senandung di Atas Awan, Papua terlihat sangat damai.
Namun di sinilah ideologi diletakkan, dan dikonstruksi melalui representasi,
hingga memunculkan makna baru bagi penonton. Fiske (1987: 11) menyatakan
kita ini telah menjadi generasi pembaca yang dikonstruksi oleh teks, bahkan
menurut Althusser (1971), konstruksi subjek-dalam-ideologi merupakan praktik
ideologi utama pada masyarakat kapitalis, yang kemudian disebut ideologi
dominan. Ini mengapa banyak penonton simpati dengan film ini, karena makna
dari pesan pembuat film tersalurkan.
Adanya tokoh Maleo, Ibu Gembala, dan Pak Guru menjadi tanda
berlakunya ideologi dominan di film ini. Ketiganya tokoh penting bagi hidup
Denias, ketiganya pula diceritakan berasal dari Jawa. Di sini pembuat film
memposisikan Jawa sebagai role model bagi anak-anak pedalaman Papua.
Terdapat oposisi biner antara pemikiran anak-anak dan orang dewasa di
pedalaman Papua tentang Jawa. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua sudah
lebih terbuka, maju, dan modern dibanding para orang tua yang kolot. Denias
memandang belajar di sekolah adalah sebuah keharusan. Denias dan temantemannya
bahkan mendambakan seragam merah-putih agar bisa seperti anak-anak
sekolah di Jawa. Sementara ayah Denias, Samuel, dan kepala suku berkeras
menilai belajar adalah kewajiban anak-anak di Jawa, tak perlu diterapkan di
pedalaman Papua. Ideologi yang disampaikan dalam film ini adalah pandangan
modernisme, yaitu dengan menyetarakan Papua dengan Jawa, tetapi tetap
merendahkan Papua dengan stereotip-stereotip atas Other yang mengacu pada
rasisme.
Ada pun bagi penonton dewasa yang sedikit banyak mengerti
kompleksnya konflik yang terjadi di Papua, representasi ke-Indonesia-an yang ada
di film ini jelas sebuah konstruksi yang berlebihan. Namun bagi penonton anakanak,
yang dalam pelajaran di sekolahnya dipatenkan bahwa Papua, yang dulu
bernama Irian Jaya ini, adalah bagian dari Republik Indonesia, representasi
nasionalisme di film ini tidak mengada-ada. Berdasarkan argumen Ernest Gellner
dan Hobsbawn dalam Billig (2002: 19), nasionalisme sangat terkait dengan
konsep negara-bangsa, yang mana di kondisi ini prinsip politik terlihat alami.
Lingkup negara-bangsa adalah segala bentuk karakter dasar tentang modernitas.
Sementara sejarawan Watson dan Johnson menyebut munculnya rasa patriotisme
dan loyalitas. Begitu nasionalisnya seorang Denias, bocah ini hormat di hadapan
peta Indonesia dari kertas karton meski dengan susunan pulau yang salah. Denias
juga menyanyikan reffrain lagu Indonesia Raya dengan baik, walaupun dengan
lafal yang keliru: Endonesa. Anak-anak pedalaman ini pun senang bukan kepalang
saat Maleo memberikan masing-masing seragam merah-putih.
Dari Maleo pula anak-anak ini belajar tentang Indonesia. Peran Maleo di
film ini tidak menunjukkan fungsi seorang tentara yang bertugas, karena
keberadaannya di desa Denias lebih pada misi sosial. Satu-satunya identitas
tentara Maleo yang terlihat jelas hanya pada saat ia mengenakan seragam
profesinya dengan lengkap. Menengok beberapa pemikiran Louis Althusser
(1969), ideologi diproduksi pada subjek, seperti halnya pemaknaan representasi.
Pada masyarakat kapitalis, Althusser menjelaskan pendekatan konseptual peran
ideologi (Wayne, 2005: 88). Repressive State Apparatus (RSAs) atau Aparatus
Negara Represif dan Ideological State Apparatus (ISAs) yaitu Aparatus Negara
Ideologis. Kedua pendekatan ini bersama-sama menyokong kekuatan negara
untuk kelas penguasa, dan mempertahankan status quo.
Fungsi militer yang ditugaskan di Papua antara lain mengawasi aktivitas
warga setempat. Dari pemberitaan media, kerap terjadi bentrokan antara militer
dengan warga sipil. Bahkan berbagai bentuk penindasan hingga pembantaian
dilakukan satuan militer, mengakibatkan penderitaan dan tekanan dialami warga
sipil. Anak-anak pun menjadi sulit mendapat akses pendidikan karena ketatnya
operasi militer dijalankan. Dari sini terlihat pendekatan pertama Althusser.
Tentara berkuasa, menguasai negara.
Anak-anak pedalaman Papua digunakan sebagai alat untuk mengangkat
kekuatan militer di Papua, tapi dengan menyinggung sisi lembut seorang militer,
yang selama ini identik keras. Jelas bahwa ideologi di sini adalah militerisme
pemerintah Indonesia, direpresentasikam dengan menjunjung tinggi sosok militer
sebagai aspek yang ditonjolkan. Dan mengabaikan aspek lainnya seperti apa
sesungguhnya fungsi militer di tanah Papua, karena dalam film sama sekali tidak
ditampilkan konflik nyata sedikit pun.
PENUTUP
Film ini tidak hanya berusaha menekankan pentingnya pendidikan bagi
anak-anak, termasuk anak-anak pedalaman Papua. Tetapi juga menyajikan
kebudayaan Papua, memberi contoh bagaimana menjadi anak Indonesia, hingga
memperkenalkan sosok militer. Penelitian menemukan representasi sosok anakanak
pedalaman Papua, juga ideologi-ideologi yang tersimpan di baliknya.
a. Anak-anak pedalaman Papua dianggap sebagai Other, yang membedakan
mereka dengan anak-anak kita. Perbedaan tidak hanya diperlihatkan dari
warna kulit, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, intelektual, dan perilaku.
Anak-anak pedalaman berkulit hitam ini direpresentasikan dengan
kebudayaan primitif, keluarga miskin, tidak pintar, dan suka berkelahi.
Representasi atas ke-other-an ini menyiratkan pandangan tentang perbedaan
ras. Bahwa ras orang Papua masih dianggap lebih rendah dan tidak seberadab
kita yang tinggal di Jawa, misalnya.
b. Pemikiran anak-anak pedalaman Papua direpresentasikan sudah lebih maju
dengan menyadari pentingnya pendidikan. Semangat belajar dan menuntut
ilmu hingga ke kota merupakan bentuk kemajuan peradaban anak-anak
pedalaman Papua. Di samping itu, semangat belajar Denias dan teman-teman
didorong oleh orang-orang pendatang dari Jawa. Pembuat film memasukkan
ideologi modernisme, sebagai upaya menyetarakan peradaban Papua dengan
Jawa.
c. Pada sosok Denias, anak pedalaman Papua direpresentasikan sebagai pribadi
yang nasionalis. Bentuk kecintaannya pada negara ditonjolkan lewat
penghormatan terhadap wilayah Indonesia, seragam sekolah merah-putih,
lagu Indonesia Raya, dan upacara bendera. Dengan representasi ini, pembuat
film mengambil jalan aman, yakni menghilangkan konflik sosial politik di
Papua, dan meletakkan nasionalisme sebagai ideologi dominan. Untuk
mematenkan Papua sebagai wilayah yang tak terpisah dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Keseharian hidup anak-anak pedalaman Papua digambarkan tidak lepas dari
peran militer. Film merepresentasikan anak-anak pedalaman Papua yang
berteman baik dengan TNI-AD yang bertugas di wilayahnya. Keakraban di
antara mereka membentuk pencitraan positif militer di Papua. Maka dalam
representasi ini terdapat ideologi militerisme, yang mana penonton
menangkap makna bahwa militer adalah pengayom rakyat Papua, berdedikasi
tinggi untuk misi sosial, antara lain mengusahakan pendidikan yang layak
bagi anak-anak pedalaman Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Billig, Michael. 2002. Banal Nationalism. London: SAGE Publications.
Croteau, David dan William Hoynes. 2000. Media Society: Industries, Images and
Audiences. Thousand Oaks: Pine Forge Press.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, Heru. 2008. Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta:
Erlangga.
Fiske, John. 2001. Television Culture. New York: Routledge.
Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices. London: SAGE Publications.
Wayne, Mike (ed.). 2005. Understanding Film: Marxist Perspectives. London:
Pluto Press.
Sumber internet:
Veronique. 2008. Problem Representasi dalam Film “Denias, Senandung di Atas
Awan”. Dalam http://pravdakino.multiply.com/journal/item/24?&show_
interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses pada 4 Juli 2012.

Fulltext View|Download

Last update:

No citation recorded.

Last update:

No citation recorded.