BibTex Citation Data :
@article{IO3444, author = {Bayu Ardyantara and Muchamad Yulianto and Nurul Hasfi}, title = {Interpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papua di Televisi}, journal = {Interaksi Online}, volume = {1}, number = {4}, year = {2013}, keywords = {}, abstract = { Sumary Penelitan Interpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papua di Televisi 1. Pendahuluan Beberapa waktu terjadi pemogokan hampir dua bulan lamanya, berbagai kerusuhan di Puncak Mulia , jalur Freeport-di blokir,penembakan di Abepura, kekerasan dalam Kongres Rakyat Papua ke 3 , penembakan terhadap Kapolsek Mulia, serta sekarang terjadi lagi kasus serupa di Bandara Mulia.Sekelompok orang tidak dikenal menembaki pesawat Trigana yang menewaskan penumpangnya, serta melukai lainnya. Penganiayaan orang tak dikenal terhadap aparat juga terjadi lagi di Sentani yang menewaskan salah satu anggota kepolisian Polres Keerom. Anehnya lagi berbagai penembakan tersebut sampai sekarang belum bisa diungkapkan siapa pelakunya yang berada di balik penembakan tersebut. Fakta merupakan dinamika yang lahir melalui interaksi antar manusia. Sering jurnalis merasa hanya berkepentingan untuk menangkap interaksi ini tanpa perlu mempersoalkan kualitas dari interaksi tersebut. Karenanya pada sisi lain kemudian muncul dorongan untuk mengajak jumalis menumbuhkan penghayatan atas posisi person yang diceritakan. Realitas konflik menjadi sangat dilematis bagi media. Hukum pasar yang bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media untuk menyajikan informasi semenarik dan sedramatis mungkin. Meskipun jarang sekali diakui, bahkan selalu disangkal, ramuannya cukup jelas: bad news is good news. Ramuan inilah yang menyebabkan realitas konflik (perang, pertikaian politik, kerusuhan, tawuran, demonstrasi yang anarkhis, dst) selalu menjadi primadona pemberitaan. “Konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja-kerja jurnalistik,” begitu kata George Wangtang. Konflik selalu menyajikan sensasi dan daya magnetik yang besar bagi publik. Liputan konflik dapat secara signifikan menaikkan oplah, rating, hit,everage sebuah media. Pemberitaan konflik yang terjadi dipapua yang terakhir kali yaitu mengenai pembunuhan aparat keamanan yang berdinas di Polresta oleh sekelompok orang tak dikenal dan penembakan kapolsek Muliya di bandara serta penembakan pesawat komersil di daerah wamena.pembeitaan tersebut menimbulkan berbagai persepsi di benak khalayak. Pemberitaan mengenai konflik Papua oleh media massa dapat menimbulkan berbagai prasangka dalam benak khalayak yang diterpa ataupun menyaksikan pemberitaan tersebut. Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) didefinisikan sebagai suatu keadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresi perasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadap anggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan rasisme juga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial yang pada mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Pengalaman kebudayaan Amerika, yang dianggap sebagai kampiun demokrasi, juga tidak terlepas dari prasangka dan stereotipe sosial. Publikasi penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association (Dovidio et. al, 2002) menjelaskan bahwa di abad global-modern ini saja masih terdapat bias persepsi pada diri orang kulit putih dalam perilaku verbal terhadap orang Negro. Orang-orang kulit putih ternyata lebih ramah dan bersahabat terhadap kalangan mereka sendiri. Hochschild (Dovidio et. al, 2002) menjelaskan bahwa perilaku orang-orang kulit putih yang kadang-kadang berbeda dan kontradiktoris terhadap orang kulit hitam dalam interaksi antar-ras dapat memberikan kontribusi iklim yang miskomunikatif, mispersepsi, dan ketidakpercayaan di Amerika Serikat. Bahkan menurut Anderson (Dovidio et al, 2002) mayoritas orang kulit hitam di Amerika dewasa ini memiliki ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap polisi dan sistem hukum, terutama ketidakpercayaan terhadap orang-orang kulit putih. Kekerasan yang dibahas dalam pemberitaan konflik seputar Papua tidak lagi semata-mata untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai konflik yang terjadi di tanah Papua. Namun, kekerasan tersebut sudah masuk ke bisnis industri media yang mengikuti selera pasar yang tertarik pada berita-berita dengan unsur kekerasan didalamnya. Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana interpretasi khalayak terhadap masyarakat Papua setelah menyaksikan pemberitaan mengenai konflik yang terjadi di Papua. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana interpretasi khalayak mengenai pemberitaan konflik Papua yang disajikan oleh televisi. 3. Landasan Teori Dalam analisis resepsi disebutkan bahwa khalayak akan menginterpretasikan teks berita sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman subjektif yang dimiliki masing-masing khalayak. Perbedaan latar belakang membuat interpretasi terhadap isi berita menjadi berbeda-beda. Berita di media massa, diinterpretasi oleh khalayak dengan dipengaruhi tiga kondisi antara lain : a) Budaya Informasi yang disampaikan komunikator melalui media massa akan diberi arti yang berbeda-beda yang sesuai dengan latar belakang budaya khalyak. b) Psikologi Pesan komunikasi massa yang disampaikan media massa akan diberi arti sesuai frame of reference (ruang lingkup pandangan) dan field of experience (ruang lingkup pengalaman) khalayak. c) Fisik Kondisi fisik khalayak baik internal maupun eksternal akan mempengaruhi khalayak dalam mempersepsi esan komunikasi massa melalui media massa. Kondisi fisik internal dimaksudkan sebagai keadaan kesehatan seseorang. Jika komunikan dalam keadaan tidak sehat, ia akan mengabaikan pesan apapun walaupun pesan tertentu biasanya sangat menarik minatnya. Kondisi fisik eksternal dimaksudkan keadaan lingkungan disekitar khalayak ketika ia menerima pesan dari media massa. Misalnya khalayak merasa tidak nyaman ketika membaca surat kabar didalam kendaraan umum ketika berjalan. Atau khalayak merasa nyaman ketika menonton televisi pada sorehari sambil meminum teh hangat (Winarni, 2003:18). Selain faktor latar belakang budaya, sosial, pendidikan, pengetahuan, yangdapat mempengaruhi interpretasi khalayak pada berita-berita dimedia massa, interpretative communities juga memberi pengaruh terhadap interpretasi khalayak. Stanley Fish (dalam Littlejhon, 1999 : 209) menyatakan bahwa pembaca bagian dari interpretative communities, akan membangun pemaknaannya terhadap realita dari hasil interaksi kelompoknya dan akan digunakannya saat membaca teks berita di media. Jadi bagaimana khalayak memaknai teks media, akan tergantung juga oleh interpretative communities dari pembaca itu sendiri. Untuk itu, Stuart Hall (dalam Baran dan Dennis K. Davis, 2000:262), membagi tiga tipe utama pemaknaan atau pembacaan khalayak terhadap teks media (dominant reading, negotiated meaning, oppositional decoding) : • Dominant reading Ketika khalayak memaknai isi media sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat pesan atau media. Jika seseorang melakukan pemaknaan sesuai dengan makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media. • Negotiated meaning Ketika khalayak membuat pemaknaan alternatif atau pemakanaan sendiri pada pesan media yang berbeda dari preferred reading sesuai dengan kondisi mereka. • Oppositional decoding Ketika khalayak menghasilkan pemaknaan atas isi media yang langsung berlawanan dengan preferred reading. 4. Metoda Penelitian Tipe penelitian ini adalah kualitatif. Penelitan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis resepsi. Analisis resepsi meneliti bagaimana khalayak mengkonstruksi makna keluar dari yang ditawarkan oleh media. 5. Hasil Penelitian Adapun hasil penelitian tersebut merupakan hasil dari wawancara mendalam dengan enam informan. Informan yang dipilih berdasarkan perbedaan jenis kelamin, latar belakang sosial-budaya dan tingkat pendidikan yang beragam. Pertanyaan yang diajukan kepada informan mengacu pada interview guide yang telah dibuat., yaitu seputar resepsi terhadap berita-berita konflik Papua di televisi. Tiap-tiap informan memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pemberitaan konflik Papua di televisi, karena masing-masing informan memiliki latar belakang budaya, sosial, maupun pendidikan yang berbeda-beda. Konflik Papua dengan segala peristiwa yang terjadi didalamnya, diinterpretasi oleh informan dengan sudut pandang dan pendekatan yang bervariasi. Terdapat kesamaan dan perbedaan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepada informan. Interpretasi informan terhadap konflik Papua pada pemberitaan ditelevisi, melihat konflik Papua sangat dekat dengan kekerasan, pembunuhan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kekerasan. Selain itu konflik Papua juga dalam pemberitaannya selalu dikaitkan dengan unsur kekerasan dan anarkisme. Hal ini menyebabkan penggambaran terhadap masyarakat Papua oleh informan menjadi kurang baik dalam kehidupannya. Perangai yang keras, tidak bisa diatur dan sadis merupakan salah satu dari sekian citra negatif dalam pemberitan media mengenai masyarakat Papua. 6. Pembahasan Dari fokus permasalahan yang telah diteliti peneliti, yaitu menelusuri pemaknaan yang diberikan audience televisi terhadap pemberitaan konflik Papua, ternyata peneliti menemukan resepsi yang dilakukan para informan terhadap pemberitaan konflik Papua sangat beragam. Informan pertama bernama Gentur, masuk dalam posisi negotiated reading, gentur membuat pemaknaan alternatif atau pemaknaan sendiri pada berita konflik Papua. Meskipun Gentur melihat konflik Papua terjadi antara pemerintah dengan sebagian warga Papua, Gentur juga memberikan penilaian bahwa konflik Papua terjadi karena faktor kesenjangan ekonomi antara pendatang dan pribumi. Selain itu gentur melihat konflik yang terjadi menyebabkan timbulnya banyak korban, akan tetapi gentur menilai sebagian besar pihak yang berkonflik sudah memulai dialog damai antar pihak pemerintah dengan pemuka adat. Gentur berada ditengah-tengah yang melihat konflik dari sisi negatif namun tetap memberikan penilaian positif berupa dialog damai dalam rekonsiliasi konflik Papua. Gentur yang memiliki latar belakang sebagai polisi, tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan diberbagai media termasuk televisi. Gentur memiliki pendapatnya sendiri dalam memandang konflik Papua. pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang sosialnya tersebut membuat Gentur memnculkan maknanya sendiri saat menginterpretasi berita konflik Papua yang diterimanya. Informan kedua adalah Zamzuri, menempati posisi dominant reading, Zamzuri memaknai berita konflik Papua yang dilihatnya, sesuai dengan makna dominan (prefered reading) yang ditawarkan oleh pemberitaan di televisi. Zamzuri melihat konflik Papua sebagai konflik bersenjata antara aparat dengan Organisasi Papua Merdeka. Zamzuri melihat konflik selalu diliputi oleh berbagai kekerasan seperti penembakan dan pembunuhan. Unsur kekerasan yang ditonjolkan oleh televisi dan melekat dengan dengan masyarakat Papua dalam pemberitaan konflik Papua, dimaknai sama oleh Zamzuri. Interpretasi yang dilakukan oleh zamzuri dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sosialnya. Zamzuri yang tinggal dilingkungan barak batalyon TNI selalu menganggap setiap permasalahn konflik berujung pada kekerasan. Latar belakang dan kerangka pemikiran ini ikut mempengaruhi pemikirannya dalam memandang konflik Papua. Konflik antara pemerintah dengan masyarakatnya sendiri menurut Zamzuri justru membuat stabilitas negara menjadi terganggu dan dengan itu harus diselesaikan dengan cepat. Informan ketiga bernama Sahrian, ia masuk dalam dominant reading. Sahrian melihat konflik Papua sebagai upaya kurang perhatiannya pemerintah terhadap warganya sendiri tanpa adanya penyelesian masalah dari pemerintah dan solusi. Sahrian menganggap kekerasaan yang terjadi di Papua lebih banyak menimbukan korban jiwa. Selain itu Sahrian menganggap kinerja aparat tidak maksimal dan tdak dapat menangkap pelaku kekerasan seperti yang diberitaka oleh media televisi dalam pemberitaannya. Interpretasi Sahrian dipengaruhi oleh latar belakang budaya sosialnya. Sahrian tinggal dikeluarga yang hangat dan tidak menyenangi konflik terbuka. Jika ada suatu masalah, Sahrian terbiasa untuk menyelesaikan baik-baik tanpa perlu bersitegang secara langsung. Latar belakang itu mempengaruhi pemikirannya dalam menyikapi konflik yang terjadi di Papua. Informan keempat bernama Niko, ia termasuk dalam posisi oppositional reading. Niko menilai konflik yang terjadi di Papua hanya protes warga terhadap pemerintah hanya saja caranya yang berbeda dan tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah. Niko juga menilai bahwa orang Papua itu kehidupannya sama saja dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Niko memaknai berita konflik Papua yang diterimanya, berbeda dengan makna dominan yang dihasilkan pengelola pemberitaan ditelevisi. Niko sangat mudah bergaul dengan siapapun salah satunya dengan beberapa orang Papua yang ada di Semarang. Kebiasaan inilah yang membuat Niko tidak mudah terpengaruh denagn pemberitaan yang disajikan media televisi dalam mengangkat peristiwa yang terjadi diPapua. Pengalaman bergaul dengan orang Papua inilah yang lebih dipercayai Niko daripada pemberitaan yang ada. Informan kelima adalah Meida, ia masuk dalam posisi negotiated reading. Menurut Meida kehidupan masyarakat Papua masih terbelakang namun mereka tidak buta akan informasi. Konflik di Papua menurut Meida tidak pernah lepas dari aksi kekerasan. Meida menilai konflik yang terjadi dipapua karena sebagian masyarakat Papua ingin memisahkan diri dari NKRI. Meida juga menambahkan selain masyarakat Papua ingin memerdekakan diri, masyarakat Papua juga ingin diperhatikan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyaknya koruptor yang merajalela menjadi salah satu alasan terjadinya konflik di Papua. Meida membuat pemaknaan sendiri pada berita konflik papua yang disaksikannya. Interpretasi Meida dipengaruhi oleh latar belakang Meida sebagai seoang guru yang dituntut untuk memiliki wawasan dan pengetahuan meskipun dari media massa. Informan keenam adalah Nia, ia masuk kedalam posisi dominant reading, karena Nia menginterpretasikan berita konflik Papua yang disaksikan sesuai dengan makna dominan yang dihadirkan media televisi. Ia memaknai konflik yang terjadi di Papua selalu diliputi oleh kekerasan. Hal yang sering muncul dalam pemberitaan konflik Papua seperti pembunuhan, penembakan dan penyerangan yang ditujukan oleh aparat dan warga sipil oleh orang tak dikenal. Ia memandang negatif citra masyarakat Papua dan kehidupan masyarakat Papua sangat terbelakang dan temperamental. Secara keseluruhan Nia menilai konflik di Papua lekat dengan anarkisme dan kekerasan. Interpretasi Nia tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial dan latar belakang budaya. Nia yang sangat kental dengan kebudayan Jawa ningrat sangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau kekerasan dan konflik. 7. Penutup Interpretasi khalayak merupakan wujud interaksi antara khalayak dengan media. Khalayak akan memaknai kembali informasi yang diterima melalua media massa sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, pengetahuan, dan pendidikan yang mereka miliki. Begitupun dengan berita konflik Papua yang ditayangkan media televisi, khalayak akan menginterpretasikannya sesuai dengan latar belakangnya yang berbeda. ABSTRAKSI Nama : Bayu Ardyantara NIM : D2C606009 Judul : Interpretasi Khalayak terhadap Pemberitaan Konflik Papua di Televisi Pascareformasi, Papua sering dilanda konflik. Konflik Papua rupanya memilki daya tarik tersendiri bagi media massa untuk mengengkatnya menjadi berita. Televisi, merupakan salah satu media yang memberitakan konflik Papua sebagai pemberitaannya. Akan tetapi, Televisi mengidentikan konflik Papua yang terjadi dengan kekerasan pada berita yang dihasilkan. Kata-kata penembakan, pembunuhan, dan kekerasan selalu ada dalam berita konflik Papua di televisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana interpretasi khalayak terhadap berita- berita konflik Papua di Televisi. Tipe penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis resepsi. Dalam analisis resepsi, khalayak dipandang sebagai produser makna, tidak hanya menjadi konsumen isi media. Khalayak akan menerima berita konflik Papua yang diterimanya sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengetahuan mereka. Penelitian ini juga menggunakan model encoding-decoding Stuart Hall, untuk menjeelaskan jalannya proses encoding dan decoding berita-berita konflik Papua. Hasil penelitian menunjukan bahwa khalayak aktif dalam menginterpretasi berita konflik Papua yang diterimannya. Interpretasi khalayak terbagi dalam tiga posisi pemaknaan; dominant reading, negotiated reading, dan oppositional reading. Khalayak yang masuk posisi dominant reading, memaknai konflik Papua identik dengan kekerasan didalamnya. Khalayak tersebut memaknai berita konflik Papua sesuai dengan makna dominan yang dihadirkan media televisi. Sementara khalayak dengan posisi negotiated reading, memaknai konflik Papua dengan pemaknaannya sendiri. Khalayak ini tidak memandang konflik Papua dari segi kekerasannya saja tetapi dia lebih menonjolkan positif daripada konflik tersebut. Sedangkan khalayak yang masuk dalam posisi oppositional reading memaknai konflik Papua sama sekali berbeda dengan makna dominan dari pemberitaan televisi. Penelitian ini sangat terbuka untuk dikaji dari sudut pandang dan metode yang berbeda. Penelitian serupa dengan memaknai pendekatan yang berbeda, diharapkan dapat dapat menambah dan menyempurnakan penelitian yang sudah ada. Key words : kekerasan, media massa, resepsi, interpretasi }, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/3444} }
Refworks Citation Data :
Sumary PenelitanInterpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papuadi Televisi1. PendahuluanBeberapa waktu terjadi pemogokan hampir dua bulan lamanya, berbagaikerusuhan di Puncak Mulia , jalur Freeport-di blokir,penembakan di Abepura,kekerasan dalam Kongres Rakyat Papua ke 3 , penembakan terhadap Kapolsek Mulia,serta sekarang terjadi lagi kasus serupa di Bandara Mulia.Sekelompok orang tidakdikenal menembaki pesawat Trigana yang menewaskan penumpangnya, serta melukailainnya. Penganiayaan orang tak dikenal terhadap aparat juga terjadi lagi di Sentaniyang menewaskan salah satu anggota kepolisian Polres Keerom. Anehnya lagiberbagai penembakan tersebut sampai sekarang belum bisa diungkapkan siapapelakunya yang berada di balik penembakan tersebut.Fakta merupakan dinamika yang lahir melalui interaksi antar manusia. Seringjurnalis merasa hanya berkepentingan untuk menangkap interaksi ini tanpa perlumempersoalkan kualitas dari interaksi tersebut. Karenanya pada sisi lain kemudianmuncul dorongan untuk mengajak jumalis menumbuhkan penghayatan atas posisiperson yang diceritakan.Realitas konflik menjadi sangat dilematis bagi media. Hukum pasar yangbertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong mediauntuk menyajikan informasi semenarik dan sedramatis mungkin. Meskipun jarangsekali diakui, bahkan selalu disangkal, ramuannya cukup jelas: bad news is goodnews. Ramuan inilah yang menyebabkan realitas konflik (perang, pertikaian politik,kerusuhan, tawuran, demonstrasi yang anarkhis, dst) selalu menjadi primadonapemberitaan. “Konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja-kerjajurnalistik,” begitu kata George Wangtang. Konflik selalu menyajikan sensasi dandaya magnetik yang besar bagi publik. Liputan konflik dapat secara signifikanmenaikkan oplah, rating, hit,everage sebuah media.Pemberitaan konflik yang terjadi dipapua yang terakhir kali yaitu mengenaipembunuhan aparat keamanan yang berdinas di Polresta oleh sekelompok orang takdikenal dan penembakan kapolsek Muliya di bandara serta penembakan pesawatkomersil di daerah wamena.pembeitaan tersebut menimbulkan berbagai persepsi dibenak khalayak. Pemberitaan mengenai konflik Papua oleh media massa dapatmenimbulkan berbagai prasangka dalam benak khalayak yang diterpa ataupunmenyaksikan pemberitaan tersebut.Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) didefinisikan sebagai suatukeadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresiperasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadapanggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan rasismejuga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial yang pada mulanya hanyamerupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalamtindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golonganyang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orangyang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.Pengalaman kebudayaan Amerika, yang dianggap sebagai kampiundemokrasi, juga tidak terlepas dari prasangka dan stereotipe sosial. Publikasipenelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association (Dovidio et. al,2002) menjelaskan bahwa di abad global-modern ini saja masih terdapat bias persepsipada diri orang kulit putih dalam perilaku verbal terhadap orang Negro. Orang-orangkulit putih ternyata lebih ramah dan bersahabat terhadap kalangan mereka sendiri.Hochschild (Dovidio et. al, 2002) menjelaskan bahwa perilaku orang-orang kulit putihyang kadang-kadang berbeda dan kontradiktoris terhadap orang kulit hitam dalaminteraksi antar-ras dapat memberikan kontribusi iklim yang miskomunikatif,mispersepsi, dan ketidakpercayaan di Amerika Serikat. Bahkan menurut Anderson(Dovidio et al, 2002) mayoritas orang kulit hitam di Amerika dewasa ini memilikiketidakpercayaan yang sangat besar terhadap polisi dan sistem hukum, terutamaketidakpercayaan terhadap orang-orang kulit putih.Kekerasan yang dibahas dalam pemberitaan konflik seputar Papua tidak lagisemata-mata untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai konflik yangterjadi di tanah Papua. Namun, kekerasan tersebut sudah masuk ke bisnis industrimedia yang mengikuti selera pasar yang tertarik pada berita-berita dengan unsurkekerasan didalamnya. Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk menelitibagaimana interpretasi khalayak terhadap masyarakat Papua setelah menyaksikanpemberitaan mengenai konflik yang terjadi di Papua.2. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana interpretasi khalayakmengenai pemberitaan konflik Papua yang disajikan oleh televisi.3. Landasan TeoriDalam analisis resepsi disebutkan bahwa khalayak akan menginterpretasikanteks berita sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman subjektifyang dimiliki masing-masing khalayak. Perbedaan latar belakang membuatinterpretasi terhadap isi berita menjadi berbeda-beda. Berita di media massa,diinterpretasi oleh khalayak dengan dipengaruhi tiga kondisi antara lain :a) BudayaInformasi yang disampaikan komunikator melalui media massa akan diberi arti yangberbeda-beda yang sesuai dengan latar belakang budaya khalyak.b) PsikologiPesan komunikasi massa yang disampaikan media massa akan diberi arti sesuaiframe of reference (ruang lingkup pandangan) dan field of experience (ruang lingkuppengalaman) khalayak.c) FisikKondisi fisik khalayak baik internal maupun eksternal akan mempengaruhikhalayak dalam mempersepsi esan komunikasi massa melalui media massa. Kondisifisik internal dimaksudkan sebagai keadaan kesehatan seseorang. Jika komunikandalam keadaan tidak sehat, ia akan mengabaikan pesan apapun walaupun pesantertentu biasanya sangat menarik minatnya. Kondisi fisik eksternal dimaksudkankeadaan lingkungan disekitar khalayak ketika ia menerima pesan dari media massa.Misalnya khalayak merasa tidak nyaman ketika membaca surat kabar didalamkendaraan umum ketika berjalan. Atau khalayak merasa nyaman ketika menontontelevisi pada sorehari sambil meminum teh hangat (Winarni, 2003:18).Selain faktor latar belakang budaya, sosial, pendidikan, pengetahuan,yangdapat mempengaruhi interpretasi khalayak pada berita-berita dimedia massa,interpretative communities juga memberi pengaruh terhadap interpretasi khalayak.Stanley Fish (dalam Littlejhon, 1999 : 209) menyatakan bahwa pembaca bagian dariinterpretative communities, akan membangun pemaknaannya terhadap realita darihasil interaksi kelompoknya dan akan digunakannya saat membaca teks berita dimedia. Jadi bagaimana khalayak memaknai teks media, akan tergantung juga olehinterpretative communities dari pembaca itu sendiri.Untuk itu, Stuart Hall (dalam Baran dan Dennis K. Davis, 2000:262),membagi tiga tipe utama pemaknaan atau pembacaan khalayak terhadap teks media(dominant reading, negotiated meaning, oppositional decoding) :• Dominant readingKetika khalayak memaknai isi media sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuatpesan atau media. Jika seseorang melakukan pemaknaan sesuai dengan maknadominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.• Negotiated meaningKetika khalayak membuat pemaknaan alternatif atau pemakanaan sendiri pada pesanmedia yang berbeda dari preferred reading sesuai dengan kondisi mereka.• Oppositional decodingKetika khalayak menghasilkan pemaknaan atas isi media yang langsung berlawanandengan preferred reading.4. Metoda PenelitianTipe penelitian ini adalah kualitatif. Penelitan kualitatif adalah penelitian yangbermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian misalnyaperilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsidalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dandengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis resepsi.Analisis resepsi meneliti bagaimana khalayak mengkonstruksi makna keluar dari yangditawarkan oleh media.5. Hasil PenelitianAdapun hasil penelitian tersebut merupakan hasil dari wawancara mendalamdengan enam informan. Informan yang dipilih berdasarkan perbedaan jenis kelamin,latar belakang sosial-budaya dan tingkat pendidikan yang beragam. Pertanyaan yangdiajukan kepada informan mengacu pada interview guide yang telah dibuat., yaituseputar resepsi terhadap berita-berita konflik Papua di televisi. Tiap-tiap informanmemiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pemberitaan konflik Papua ditelevisi, karena masing-masing informan memiliki latar belakang budaya, sosial,maupun pendidikan yang berbeda-beda.Konflik Papua dengan segala peristiwa yang terjadi didalamnya, diinterpretasioleh informan dengan sudut pandang dan pendekatan yang bervariasi. Terdapatkesamaan dan perbedaan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadainforman. Interpretasi informan terhadap konflik Papua pada pemberitaan ditelevisi,melihat konflik Papua sangat dekat dengan kekerasan, pembunuhan dan hal-hal lainyang berhubungan dengan kekerasan. Selain itu konflik Papua juga dalampemberitaannya selalu dikaitkan dengan unsur kekerasan dan anarkisme. Hal inimenyebabkan penggambaran terhadap masyarakat Papua oleh informan menjadikurang baik dalam kehidupannya. Perangai yang keras, tidak bisa diatur dan sadismerupakan salah satu dari sekian citra negatif dalam pemberitan media mengenaimasyarakat Papua.6. PembahasanDari fokus permasalahan yang telah diteliti peneliti, yaitu menelusuripemaknaan yang diberikan audience televisi terhadap pemberitaan konflik Papua,ternyata peneliti menemukan resepsi yang dilakukan para informan terhadappemberitaan konflik Papua sangat beragam.Informan pertama bernama Gentur, masuk dalam posisi negotiated reading,gentur membuat pemaknaan alternatif atau pemaknaan sendiri pada berita konflikPapua. Meskipun Gentur melihat konflik Papua terjadi antara pemerintah dengansebagian warga Papua, Gentur juga memberikan penilaian bahwa konflik Papuaterjadi karena faktor kesenjangan ekonomi antara pendatang dan pribumi. Selain itugentur melihat konflik yang terjadi menyebabkan timbulnya banyak korban, akantetapi gentur menilai sebagian besar pihak yang berkonflik sudah memulai dialogdamai antar pihak pemerintah dengan pemuka adat. Gentur berada ditengah-tengahyang melihat konflik dari sisi negatif namun tetap memberikan penilaian positifberupa dialog damai dalam rekonsiliasi konflik Papua. Gentur yang memiliki latarbelakang sebagai polisi, tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan diberbagaimedia termasuk televisi. Gentur memiliki pendapatnya sendiri dalam memandangkonflik Papua. pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang sosialnya tersebutmembuat Gentur memnculkan maknanya sendiri saat menginterpretasi berita konflikPapua yang diterimanya.Informan kedua adalah Zamzuri, menempati posisi dominant reading,Zamzuri memaknai berita konflik Papua yang dilihatnya, sesuai dengan maknadominan (prefered reading) yang ditawarkan oleh pemberitaan di televisi. Zamzurimelihat konflik Papua sebagai konflik bersenjata antara aparat dengan OrganisasiPapua Merdeka. Zamzuri melihat konflik selalu diliputi oleh berbagai kekerasanseperti penembakan dan pembunuhan. Unsur kekerasan yang ditonjolkan oleh televisidan melekat dengan dengan masyarakat Papua dalam pemberitaan konflik Papua,dimaknai sama oleh Zamzuri. Interpretasi yang dilakukan oleh zamzuri dipengaruhioleh latar belakang budaya dan sosialnya. Zamzuri yang tinggal dilingkungan barakbatalyon TNI selalu menganggap setiap permasalahn konflik berujung padakekerasan. Latar belakang dan kerangka pemikiran ini ikut mempengaruhipemikirannya dalam memandang konflik Papua. Konflik antara pemerintah denganmasyarakatnya sendiri menurut Zamzuri justru membuat stabilitas negara menjaditerganggu dan dengan itu harus diselesaikan dengan cepat.Informan ketiga bernama Sahrian, ia masuk dalam dominant reading. Sahrianmelihat konflik Papua sebagai upaya kurang perhatiannya pemerintah terhadapwarganya sendiri tanpa adanya penyelesian masalah dari pemerintah dan solusi.Sahrian menganggap kekerasaan yang terjadi di Papua lebih banyak menimbukankorban jiwa. Selain itu Sahrian menganggap kinerja aparat tidak maksimal dan tdakdapat menangkap pelaku kekerasan seperti yang diberitaka oleh media televisi dalampemberitaannya. Interpretasi Sahrian dipengaruhi oleh latar belakang budayasosialnya. Sahrian tinggal dikeluarga yang hangat dan tidak menyenangi konflikterbuka. Jika ada suatu masalah, Sahrian terbiasa untuk menyelesaikan baik-baiktanpa perlu bersitegang secara langsung. Latar belakang itu mempengaruhipemikirannya dalam menyikapi konflik yang terjadi di Papua.Informan keempat bernama Niko, ia termasuk dalam posisi oppositionalreading. Niko menilai konflik yang terjadi di Papua hanya protes warga terhadappemerintah hanya saja caranya yang berbeda dan tidak ditanggapi dengan baik olehpemerintah. Niko juga menilai bahwa orang Papua itu kehidupannya sama sajadengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Niko memaknai berita konflik Papuayang diterimanya, berbeda dengan makna dominan yang dihasilkan pengelolapemberitaan ditelevisi. Niko sangat mudah bergaul dengan siapapun salah satunyadengan beberapa orang Papua yang ada di Semarang. Kebiasaan inilah yang membuatNiko tidak mudah terpengaruh denagn pemberitaan yang disajikan media televisidalam mengangkat peristiwa yang terjadi diPapua. Pengalaman bergaul dengan orangPapua inilah yang lebih dipercayai Niko daripada pemberitaan yang ada.Informan kelima adalah Meida, ia masuk dalam posisi negotiated reading.Menurut Meida kehidupan masyarakat Papua masih terbelakang namun mereka tidakbuta akan informasi. Konflik di Papua menurut Meida tidak pernah lepas dari aksikekerasan. Meida menilai konflik yang terjadi dipapua karena sebagian masyarakatPapua ingin memisahkan diri dari NKRI. Meida juga menambahkan selainmasyarakat Papua ingin memerdekakan diri, masyarakat Papua juga ingindiperhatikan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyaknya koruptor yangmerajalela menjadi salah satu alasan terjadinya konflik di Papua. Meida membuatpemaknaan sendiri pada berita konflik papua yang disaksikannya. Interpretasi Meidadipengaruhi oleh latar belakang Meida sebagai seoang guru yang dituntut untukmemiliki wawasan dan pengetahuan meskipun dari media massa.Informan keenam adalah Nia, ia masuk kedalam posisi dominant reading,karena Nia menginterpretasikan berita konflik Papua yang disaksikan sesuai denganmakna dominan yang dihadirkan media televisi. Ia memaknai konflik yang terjadi diPapua selalu diliputi oleh kekerasan. Hal yang sering muncul dalam pemberitaankonflik Papua seperti pembunuhan, penembakan dan penyerangan yang ditujukanoleh aparat dan warga sipil oleh orang tak dikenal. Ia memandang negatif citramasyarakat Papua dan kehidupan masyarakat Papua sangat terbelakang dantemperamental. Secara keseluruhan Nia menilai konflik di Papua lekat dengananarkisme dan kekerasan. Interpretasi Nia tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosialdan latar belakang budaya. Nia yang sangat kental dengan kebudayan Jawa ningratsangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau kekerasan dan konflik.7. PenutupInterpretasi khalayak merupakan wujud interaksi antara khalayak denganmedia. Khalayak akan memaknai kembali informasi yang diterima melalua mediamassa sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, pengetahuan, dan pendidikan yangmereka miliki. Begitupun dengan berita konflik Papua yang ditayangkan mediatelevisi, khalayak akan menginterpretasikannya sesuai dengan latar belakangnya yangberbeda.ABSTRAKSINama : Bayu ArdyantaraNIM : D2C606009Judul : Interpretasi Khalayak terhadap Pemberitaan Konflik Papua di TelevisiPascareformasi, Papua sering dilanda konflik. Konflik Papua rupanya memilki dayatarik tersendiri bagi media massa untuk mengengkatnya menjadi berita. Televisi, merupakansalah satu media yang memberitakan konflik Papua sebagai pemberitaannya. Akan tetapi,Televisi mengidentikan konflik Papua yang terjadi dengan kekerasan pada berita yangdihasilkan. Kata-kata penembakan, pembunuhan, dan kekerasan selalu ada dalam beritakonflik Papua di televisi.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana interpretasi khalayakterhadap berita- berita konflik Papua di Televisi. Tipe penelitian ini adalah kualitatif denganmenggunakan pendekatan analisis resepsi. Dalam analisis resepsi, khalayak dipandangsebagai produser makna, tidak hanya menjadi konsumen isi media. Khalayak akan menerimaberita konflik Papua yang diterimanya sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, danpengetahuan mereka. Penelitian ini juga menggunakan model encoding-decoding Stuart Hall,untuk menjeelaskan jalannya proses encoding dan decoding berita-berita konflik Papua.Hasil penelitian menunjukan bahwa khalayak aktif dalam menginterpretasi beritakonflik Papua yang diterimannya. Interpretasi khalayak terbagi dalam tiga posisi pemaknaan;dominant reading, negotiated reading, dan oppositional reading. Khalayak yang masuk posisidominant reading, memaknai konflik Papua identik dengan kekerasan didalamnya. Khalayaktersebut memaknai berita konflik Papua sesuai dengan makna dominan yang dihadirkanmedia televisi. Sementara khalayak dengan posisi negotiated reading, memaknai konflikPapua dengan pemaknaannya sendiri. Khalayak ini tidak memandang konflik Papua dari segikekerasannya saja tetapi dia lebih menonjolkan positif daripada konflik tersebut. Sedangkankhalayak yang masuk dalam posisi oppositional reading memaknai konflik Papua sama sekaliberbeda dengan makna dominan dari pemberitaan televisi.Penelitian ini sangat terbuka untuk dikaji dari sudut pandang dan metode yangberbeda. Penelitian serupa dengan memaknai pendekatan yang berbeda, diharapkan dapatdapat menambah dan menyempurnakan penelitian yang sudah ada.Key words : kekerasan, media massa, resepsi, interpretasi
Last update:
Interaksi Online, is published by Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jln. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275; Telp. (024)7460056, Fax: (024)7460055
Interaksi Online by http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/interaksi-online is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.