skip to main content

Interpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papua di Televisi


Citation Format:
Abstract

Sumary Penelitan
Interpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papua
di Televisi
1. Pendahuluan
Beberapa waktu terjadi pemogokan hampir dua bulan lamanya, berbagai
kerusuhan di Puncak Mulia , jalur Freeport-di blokir,penembakan di Abepura,
kekerasan dalam Kongres Rakyat Papua ke 3 , penembakan terhadap Kapolsek Mulia,
serta sekarang terjadi lagi kasus serupa di Bandara Mulia.Sekelompok orang tidak
dikenal menembaki pesawat Trigana yang menewaskan penumpangnya, serta melukai
lainnya. Penganiayaan orang tak dikenal terhadap aparat juga terjadi lagi di Sentani
yang menewaskan salah satu anggota kepolisian Polres Keerom. Anehnya lagi
berbagai penembakan tersebut sampai sekarang belum bisa diungkapkan siapa
pelakunya yang berada di balik penembakan tersebut.
Fakta merupakan dinamika yang lahir melalui interaksi antar manusia. Sering
jurnalis merasa hanya berkepentingan untuk menangkap interaksi ini tanpa perlu
mempersoalkan kualitas dari interaksi tersebut. Karenanya pada sisi lain kemudian
muncul dorongan untuk mengajak jumalis menumbuhkan penghayatan atas posisi
person yang diceritakan.
Realitas konflik menjadi sangat dilematis bagi media. Hukum pasar yang
bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media
untuk menyajikan informasi semenarik dan sedramatis mungkin. Meskipun jarang
sekali diakui, bahkan selalu disangkal, ramuannya cukup jelas: bad news is good
news. Ramuan inilah yang menyebabkan realitas konflik (perang, pertikaian politik,
kerusuhan, tawuran, demonstrasi yang anarkhis, dst) selalu menjadi primadona
pemberitaan. “Konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja-kerja
jurnalistik,” begitu kata George Wangtang. Konflik selalu menyajikan sensasi dan
daya magnetik yang besar bagi publik. Liputan konflik dapat secara signifikan
menaikkan oplah, rating, hit,everage sebuah media.
Pemberitaan konflik yang terjadi dipapua yang terakhir kali yaitu mengenai
pembunuhan aparat keamanan yang berdinas di Polresta oleh sekelompok orang tak
dikenal dan penembakan kapolsek Muliya di bandara serta penembakan pesawat
komersil di daerah wamena.pembeitaan tersebut menimbulkan berbagai persepsi di
benak khalayak. Pemberitaan mengenai konflik Papua oleh media massa dapat
menimbulkan berbagai prasangka dalam benak khalayak yang diterpa ataupun
menyaksikan pemberitaan tersebut.
Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresi
perasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadap
anggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan rasisme
juga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial yang pada mulanya hanya
merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalam
tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan
yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang
yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.
Pengalaman kebudayaan Amerika, yang dianggap sebagai kampiun
demokrasi, juga tidak terlepas dari prasangka dan stereotipe sosial. Publikasi
penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association (Dovidio et. al,
2002) menjelaskan bahwa di abad global-modern ini saja masih terdapat bias persepsi
pada diri orang kulit putih dalam perilaku verbal terhadap orang Negro. Orang-orang
kulit putih ternyata lebih ramah dan bersahabat terhadap kalangan mereka sendiri.
Hochschild (Dovidio et. al, 2002) menjelaskan bahwa perilaku orang-orang kulit putih
yang kadang-kadang berbeda dan kontradiktoris terhadap orang kulit hitam dalam
interaksi antar-ras dapat memberikan kontribusi iklim yang miskomunikatif,
mispersepsi, dan ketidakpercayaan di Amerika Serikat. Bahkan menurut Anderson
(Dovidio et al, 2002) mayoritas orang kulit hitam di Amerika dewasa ini memiliki
ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap polisi dan sistem hukum, terutama
ketidakpercayaan terhadap orang-orang kulit putih.
Kekerasan yang dibahas dalam pemberitaan konflik seputar Papua tidak lagi
semata-mata untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai konflik yang
terjadi di tanah Papua. Namun, kekerasan tersebut sudah masuk ke bisnis industri
media yang mengikuti selera pasar yang tertarik pada berita-berita dengan unsur
kekerasan didalamnya. Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana interpretasi khalayak terhadap masyarakat Papua setelah menyaksikan
pemberitaan mengenai konflik yang terjadi di Papua.
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana interpretasi khalayak
mengenai pemberitaan konflik Papua yang disajikan oleh televisi.
3. Landasan Teori
Dalam analisis resepsi disebutkan bahwa khalayak akan menginterpretasikan
teks berita sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman subjektif
yang dimiliki masing-masing khalayak. Perbedaan latar belakang membuat
interpretasi terhadap isi berita menjadi berbeda-beda. Berita di media massa,
diinterpretasi oleh khalayak dengan dipengaruhi tiga kondisi antara lain :
a) Budaya
Informasi yang disampaikan komunikator melalui media massa akan diberi arti yang
berbeda-beda yang sesuai dengan latar belakang budaya khalyak.
b) Psikologi
Pesan komunikasi massa yang disampaikan media massa akan diberi arti sesuai
frame of reference (ruang lingkup pandangan) dan field of experience (ruang lingkup
pengalaman) khalayak.
c) Fisik
Kondisi fisik khalayak baik internal maupun eksternal akan mempengaruhi
khalayak dalam mempersepsi esan komunikasi massa melalui media massa. Kondisi
fisik internal dimaksudkan sebagai keadaan kesehatan seseorang. Jika komunikan
dalam keadaan tidak sehat, ia akan mengabaikan pesan apapun walaupun pesan
tertentu biasanya sangat menarik minatnya. Kondisi fisik eksternal dimaksudkan
keadaan lingkungan disekitar khalayak ketika ia menerima pesan dari media massa.
Misalnya khalayak merasa tidak nyaman ketika membaca surat kabar didalam
kendaraan umum ketika berjalan. Atau khalayak merasa nyaman ketika menonton
televisi pada sorehari sambil meminum teh hangat (Winarni, 2003:18).
Selain faktor latar belakang budaya, sosial, pendidikan, pengetahuan,
yangdapat mempengaruhi interpretasi khalayak pada berita-berita dimedia massa,
interpretative communities juga memberi pengaruh terhadap interpretasi khalayak.
Stanley Fish (dalam Littlejhon, 1999 : 209) menyatakan bahwa pembaca bagian dari
interpretative communities, akan membangun pemaknaannya terhadap realita dari
hasil interaksi kelompoknya dan akan digunakannya saat membaca teks berita di
media. Jadi bagaimana khalayak memaknai teks media, akan tergantung juga oleh
interpretative communities dari pembaca itu sendiri.
Untuk itu, Stuart Hall (dalam Baran dan Dennis K. Davis, 2000:262),
membagi tiga tipe utama pemaknaan atau pembacaan khalayak terhadap teks media
(dominant reading, negotiated meaning, oppositional decoding) :
• Dominant reading
Ketika khalayak memaknai isi media sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat
pesan atau media. Jika seseorang melakukan pemaknaan sesuai dengan makna
dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.
• Negotiated meaning
Ketika khalayak membuat pemaknaan alternatif atau pemakanaan sendiri pada pesan
media yang berbeda dari preferred reading sesuai dengan kondisi mereka.
• Oppositional decoding
Ketika khalayak menghasilkan pemaknaan atas isi media yang langsung berlawanan
dengan preferred reading.
4. Metoda Penelitian
Tipe penelitian ini adalah kualitatif. Penelitan kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis resepsi.
Analisis resepsi meneliti bagaimana khalayak mengkonstruksi makna keluar dari yang
ditawarkan oleh media.
5. Hasil Penelitian
Adapun hasil penelitian tersebut merupakan hasil dari wawancara mendalam
dengan enam informan. Informan yang dipilih berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
latar belakang sosial-budaya dan tingkat pendidikan yang beragam. Pertanyaan yang
diajukan kepada informan mengacu pada interview guide yang telah dibuat., yaitu
seputar resepsi terhadap berita-berita konflik Papua di televisi. Tiap-tiap informan
memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pemberitaan konflik Papua di
televisi, karena masing-masing informan memiliki latar belakang budaya, sosial,
maupun pendidikan yang berbeda-beda.
Konflik Papua dengan segala peristiwa yang terjadi didalamnya, diinterpretasi
oleh informan dengan sudut pandang dan pendekatan yang bervariasi. Terdapat
kesamaan dan perbedaan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepada
informan. Interpretasi informan terhadap konflik Papua pada pemberitaan ditelevisi,
melihat konflik Papua sangat dekat dengan kekerasan, pembunuhan dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan kekerasan. Selain itu konflik Papua juga dalam
pemberitaannya selalu dikaitkan dengan unsur kekerasan dan anarkisme. Hal ini
menyebabkan penggambaran terhadap masyarakat Papua oleh informan menjadi
kurang baik dalam kehidupannya. Perangai yang keras, tidak bisa diatur dan sadis
merupakan salah satu dari sekian citra negatif dalam pemberitan media mengenai
masyarakat Papua.
6. Pembahasan
Dari fokus permasalahan yang telah diteliti peneliti, yaitu menelusuri
pemaknaan yang diberikan audience televisi terhadap pemberitaan konflik Papua,
ternyata peneliti menemukan resepsi yang dilakukan para informan terhadap
pemberitaan konflik Papua sangat beragam.
Informan pertama bernama Gentur, masuk dalam posisi negotiated reading,
gentur membuat pemaknaan alternatif atau pemaknaan sendiri pada berita konflik
Papua. Meskipun Gentur melihat konflik Papua terjadi antara pemerintah dengan
sebagian warga Papua, Gentur juga memberikan penilaian bahwa konflik Papua
terjadi karena faktor kesenjangan ekonomi antara pendatang dan pribumi. Selain itu
gentur melihat konflik yang terjadi menyebabkan timbulnya banyak korban, akan
tetapi gentur menilai sebagian besar pihak yang berkonflik sudah memulai dialog
damai antar pihak pemerintah dengan pemuka adat. Gentur berada ditengah-tengah
yang melihat konflik dari sisi negatif namun tetap memberikan penilaian positif
berupa dialog damai dalam rekonsiliasi konflik Papua. Gentur yang memiliki latar
belakang sebagai polisi, tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan diberbagai
media termasuk televisi. Gentur memiliki pendapatnya sendiri dalam memandang
konflik Papua. pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang sosialnya tersebut
membuat Gentur memnculkan maknanya sendiri saat menginterpretasi berita konflik
Papua yang diterimanya.
Informan kedua adalah Zamzuri, menempati posisi dominant reading,
Zamzuri memaknai berita konflik Papua yang dilihatnya, sesuai dengan makna
dominan (prefered reading) yang ditawarkan oleh pemberitaan di televisi. Zamzuri
melihat konflik Papua sebagai konflik bersenjata antara aparat dengan Organisasi
Papua Merdeka. Zamzuri melihat konflik selalu diliputi oleh berbagai kekerasan
seperti penembakan dan pembunuhan. Unsur kekerasan yang ditonjolkan oleh televisi
dan melekat dengan dengan masyarakat Papua dalam pemberitaan konflik Papua,
dimaknai sama oleh Zamzuri. Interpretasi yang dilakukan oleh zamzuri dipengaruhi
oleh latar belakang budaya dan sosialnya. Zamzuri yang tinggal dilingkungan barak
batalyon TNI selalu menganggap setiap permasalahn konflik berujung pada
kekerasan. Latar belakang dan kerangka pemikiran ini ikut mempengaruhi
pemikirannya dalam memandang konflik Papua. Konflik antara pemerintah dengan
masyarakatnya sendiri menurut Zamzuri justru membuat stabilitas negara menjadi
terganggu dan dengan itu harus diselesaikan dengan cepat.
Informan ketiga bernama Sahrian, ia masuk dalam dominant reading. Sahrian
melihat konflik Papua sebagai upaya kurang perhatiannya pemerintah terhadap
warganya sendiri tanpa adanya penyelesian masalah dari pemerintah dan solusi.
Sahrian menganggap kekerasaan yang terjadi di Papua lebih banyak menimbukan
korban jiwa. Selain itu Sahrian menganggap kinerja aparat tidak maksimal dan tdak
dapat menangkap pelaku kekerasan seperti yang diberitaka oleh media televisi dalam
pemberitaannya. Interpretasi Sahrian dipengaruhi oleh latar belakang budaya
sosialnya. Sahrian tinggal dikeluarga yang hangat dan tidak menyenangi konflik
terbuka. Jika ada suatu masalah, Sahrian terbiasa untuk menyelesaikan baik-baik
tanpa perlu bersitegang secara langsung. Latar belakang itu mempengaruhi
pemikirannya dalam menyikapi konflik yang terjadi di Papua.
Informan keempat bernama Niko, ia termasuk dalam posisi oppositional
reading. Niko menilai konflik yang terjadi di Papua hanya protes warga terhadap
pemerintah hanya saja caranya yang berbeda dan tidak ditanggapi dengan baik oleh
pemerintah. Niko juga menilai bahwa orang Papua itu kehidupannya sama saja
dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Niko memaknai berita konflik Papua
yang diterimanya, berbeda dengan makna dominan yang dihasilkan pengelola
pemberitaan ditelevisi. Niko sangat mudah bergaul dengan siapapun salah satunya
dengan beberapa orang Papua yang ada di Semarang. Kebiasaan inilah yang membuat
Niko tidak mudah terpengaruh denagn pemberitaan yang disajikan media televisi
dalam mengangkat peristiwa yang terjadi diPapua. Pengalaman bergaul dengan orang
Papua inilah yang lebih dipercayai Niko daripada pemberitaan yang ada.
Informan kelima adalah Meida, ia masuk dalam posisi negotiated reading.
Menurut Meida kehidupan masyarakat Papua masih terbelakang namun mereka tidak
buta akan informasi. Konflik di Papua menurut Meida tidak pernah lepas dari aksi
kekerasan. Meida menilai konflik yang terjadi dipapua karena sebagian masyarakat
Papua ingin memisahkan diri dari NKRI. Meida juga menambahkan selain
masyarakat Papua ingin memerdekakan diri, masyarakat Papua juga ingin
diperhatikan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyaknya koruptor yang
merajalela menjadi salah satu alasan terjadinya konflik di Papua. Meida membuat
pemaknaan sendiri pada berita konflik papua yang disaksikannya. Interpretasi Meida
dipengaruhi oleh latar belakang Meida sebagai seoang guru yang dituntut untuk
memiliki wawasan dan pengetahuan meskipun dari media massa.
Informan keenam adalah Nia, ia masuk kedalam posisi dominant reading,
karena Nia menginterpretasikan berita konflik Papua yang disaksikan sesuai dengan
makna dominan yang dihadirkan media televisi. Ia memaknai konflik yang terjadi di
Papua selalu diliputi oleh kekerasan. Hal yang sering muncul dalam pemberitaan
konflik Papua seperti pembunuhan, penembakan dan penyerangan yang ditujukan
oleh aparat dan warga sipil oleh orang tak dikenal. Ia memandang negatif citra
masyarakat Papua dan kehidupan masyarakat Papua sangat terbelakang dan
temperamental. Secara keseluruhan Nia menilai konflik di Papua lekat dengan
anarkisme dan kekerasan. Interpretasi Nia tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial
dan latar belakang budaya. Nia yang sangat kental dengan kebudayan Jawa ningrat
sangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau kekerasan dan konflik.
7. Penutup
Interpretasi khalayak merupakan wujud interaksi antara khalayak dengan
media. Khalayak akan memaknai kembali informasi yang diterima melalua media
massa sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, pengetahuan, dan pendidikan yang
mereka miliki. Begitupun dengan berita konflik Papua yang ditayangkan media
televisi, khalayak akan menginterpretasikannya sesuai dengan latar belakangnya yang
berbeda.
ABSTRAKSI
Nama : Bayu Ardyantara
NIM : D2C606009
Judul : Interpretasi Khalayak terhadap Pemberitaan Konflik Papua di Televisi
Pascareformasi, Papua sering dilanda konflik. Konflik Papua rupanya memilki daya
tarik tersendiri bagi media massa untuk mengengkatnya menjadi berita. Televisi, merupakan
salah satu media yang memberitakan konflik Papua sebagai pemberitaannya. Akan tetapi,
Televisi mengidentikan konflik Papua yang terjadi dengan kekerasan pada berita yang
dihasilkan. Kata-kata penembakan, pembunuhan, dan kekerasan selalu ada dalam berita
konflik Papua di televisi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana interpretasi khalayak
terhadap berita- berita konflik Papua di Televisi. Tipe penelitian ini adalah kualitatif dengan
menggunakan pendekatan analisis resepsi. Dalam analisis resepsi, khalayak dipandang
sebagai produser makna, tidak hanya menjadi konsumen isi media. Khalayak akan menerima
berita konflik Papua yang diterimanya sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan
pengetahuan mereka. Penelitian ini juga menggunakan model encoding-decoding Stuart Hall,
untuk menjeelaskan jalannya proses encoding dan decoding berita-berita konflik Papua.
Hasil penelitian menunjukan bahwa khalayak aktif dalam menginterpretasi berita
konflik Papua yang diterimannya. Interpretasi khalayak terbagi dalam tiga posisi pemaknaan;
dominant reading, negotiated reading, dan oppositional reading. Khalayak yang masuk posisi
dominant reading, memaknai konflik Papua identik dengan kekerasan didalamnya. Khalayak
tersebut memaknai berita konflik Papua sesuai dengan makna dominan yang dihadirkan
media televisi. Sementara khalayak dengan posisi negotiated reading, memaknai konflik
Papua dengan pemaknaannya sendiri. Khalayak ini tidak memandang konflik Papua dari segi
kekerasannya saja tetapi dia lebih menonjolkan positif daripada konflik tersebut. Sedangkan
khalayak yang masuk dalam posisi oppositional reading memaknai konflik Papua sama sekali
berbeda dengan makna dominan dari pemberitaan televisi.
Penelitian ini sangat terbuka untuk dikaji dari sudut pandang dan metode yang
berbeda. Penelitian serupa dengan memaknai pendekatan yang berbeda, diharapkan dapat
dapat menambah dan menyempurnakan penelitian yang sudah ada.
Key words : kekerasan, media massa, resepsi, interpretasi

Fulltext View|Download

Last update:

No citation recorded.

Last update:

No citation recorded.