BibTex Citation Data :
@article{IO3620, author = {Muhammad Hidayat and Turnomo Rahardjo and Taufik Suprihatini}, title = {Penerimaan Suku Anak Dalam Terhadap Pendidikan}, journal = {Interaksi Online}, volume = {1}, number = {4}, year = {2013}, keywords = {}, abstract = { ABSTRACTION TITLE : NAMA : NIM : ACCEPTANCE OF EDUCATION AMONG ANAK DALAM TRIBE M. SYAMSUL HIDAYAT D2C606031 Trough the nine-years compulsory education program, Education Department of Soralangun, Jambi held socialization the importance of education for Anak Dalam Tribe. The local government was purpose to prevalent education for all Sarolangun citizen, included Anak Dalam Tribe. However, the fact is Anak Dalam Tribe have some response about the education ratification by government, some of Anak Dalam Tribe accepting the education, but most of them resist the socialization by government because they have not been taught by their parents, temenggung, and their ancestor, so they don’t have to accept it and attend school. This Research aims to find out the acceptance of education among Anak Dalam Tribe, why most of them who have faith that education never been taught by their ancestor instead accept it and finally attend school. This research was conducted by using phenomenological approach by relating the government experience of socialization who with theory of persuasion to encourage and change the thought and assumption of Anak Dalam Tribe so they accept education and attend school. Also acceptance and experience of Anak Dalam Tribe after they accept and attend school, this research attempts to explain the Anak Dalam Tribe’s efforts in order to be accepted by people outside agains the stereotype about them in the people’s sight and otherwise. The subject of this research consists of three people from government dan three Anak Dalam Tribe’s people who attend school and settle outside the forest. The data was obtained byinterview, observation, and literature. Results of this study indicate that government was done persuasion communication by interacting directly with Anak Dalam Tribe, trying to convince and changing the thought and behavior of Anak Dalam Tribe. In effort to change the behavior, the governments formerly try to establish the cognitive and affective component from Anak Dalam Tribe, the expectation is by changing the component, could change their behavior. To establish the cognitive component, government conveying the importance of education and then the teachers and experts in their field indirectly has set an example for Anak Dalam Tribe. The government also gives all equipment and school supplies. Moreover, Anak Dalam Tribe is free of charge for school. It is done in order to establish the affective component of Anak Dalam Tribe. After cognitive and affective has been establish, it will be directly followed by changes of behavior, that is Anak Dalam Tribe who want to attend school. Key words: acceptance, persuasion, Anak Dalam Tribe, education ABSTRAKSI JUDUL : NAMA : NIM : Penerimaan Suku Anak Dalam Terhadap Pendidikan M. SYAMSUL HIDAYAT D2C606031 Dengan adanya program wajib belajar sembilan tahun, Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun, Jambi, mengadakan sosialisasi pentingnya pendidikan terhadap Suku Anak Dalam (SAD). Tujuan dari pemerintah daerah adalah meratanya pendidikan bagi semua warga masyarakat yang ada di Kabupaten Sarolangun, termasuk Suku Anak Dalam. Namun, pada kenyataannya adalah, Suku Anak Dalam memiliki beberapa tanggapan tentang disosialisasikannya pendidikan oleh pemerintah, sebagian Suku Anak Dalam menerima adanya pendidikan, namun sebagian besar menolak sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi yang diajarkan dalam ingroup oleh temenggung, hingga nenek moyang mereka, sehingga Suku Anak Dalam tidak harus menerima dan bersekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerimaan Suku Anak Dalam terhadap pendidikan, mengapa Suku Anak Dalam yang mayoritas memiliki kepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka justru ada yang menerima hingga akhirnya bersekolah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi yang mengaitkan pengalamanpengalaman pemerintah dalam melakukan sosialisasi melalui teori persuasi untuk mengajak serta merubah pemikiran serta anggapan Suku Anak Dalam sehingga Suku Anak Dalam menerima pendidikan dan sekolah. Serta penerimaan dan pengalaman Suku Anak Dalam setelah Suku Anak Dalam menerima dan bersekolah, penelitian ini juga mencoba menggunakan co-cultural theory untuk menjelaskan usaha-usaha Suku Anak Dalam agar dapat diterima oleh masyarakat luar setelah adanya strereotip negatif tentang Suku Anak Dalam. Subyek penelitian terdiri dari tiga orang pemerintah dan tiga orang Suku Anak Dalam yang bersekolah dan menetap di luar hutan, dimana pengumpulan data diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan individu Suku Anak Dalam yang telah bersekolah terhadap pendidikan telah berubah. Pendidikan dan bersekolah dimaknai sebagai salah satu hal yang menyenangkan serta menguntungkan untuk masa depan individu Suku Anak Dalam. Pengetahuan baru setelah bersekolah membuat cara pandang individu Suku Anak Dalam tentang masa depan mengalami perubahan, tentang cita-cita dan lapangan pekerjaan yang lebih layak. Pengalaman-pengalaman baru juga dirasakan individu Suku Anak Dalam setelah bersekolah, seperti Key words: penerimaan, persuasi, Suku Anak Dalam, pendidikan PENERIMAAN SUKU ANAK DALAM (SAD) TERHADAP PENDIDIKAN Summary Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata I Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Penyusun : Nama : M Syamsul Hidayat NIM : D2C606031 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013 PENDAHULUAN Pendidikan, merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harus terpenuhi, selain menjadi bagian dari hak asasi manusia, pendidikan juga merupakan salah satu elemen penting dimana suatu kesuksesan dan kemajuan Negara di ukur oleh seperti apa pendidikan di Negara tersebut. Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajar sebaik-baiknya dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehingga dimanapun mereka berada harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yang layak sebagai hak-hak asasi bagi mereka. Adanya program wajib belajar Sembilan tahun yang digalakkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu mendapat respon yang positiv bagi masyarakat Indonesia. Tentunya, hampir semua pemerintah daerah juga berperan serta dalam mensosialisasikan program tersebut. Tidak ketinggalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Sarolangun, Jambi. Pemerintah daerah sarolangun pun tidak pandang bulu, semua elemen masyarakat, baik yang di kota, pedesaan hingga daerah yang susah dijangkaupun menjadi target pemerintah guna sosialisasi pentingnya pendidiakn. Salah satunya Suku anak dalam, tentunya menjadi sesuatu yang sangat baru bagi suku anak dalam. Banyak dari mereka yang hingga sekarang masih kurang bisa menerima sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Program pendidikan bagi Suku Anak Dalam yang dicanangkan oleh pemerintah cenderung memunculkan fenomena perubahan perilaku bagi Suku Anak Dalam. Pasalnya, Suku Anak Dalam atau Suku Kubu yang pada awalnya belum pernah sama sekali mengenal pendidikan justru mau menerima adanya pendidikan. Meskipun belum semua Suku Anak Dalam (SAD) yang ada mau bersekolah, setidaknya, lebih dari 50 anak telah melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Namun, Suku Anak Dalam, yang pada hakekatnya lebih suka berburu dan melangun, cenderung kurang bisa menerima adanya perubahan dan serta adanya sesuatu yang baru, yang menutup diri dengan perkembangan serta kemajuan. Suku Anak Dalam lebih susah diatur, dalam arti susah jika diberi penjelasan tentang sesuatu yang baru, semisal tentang pendidikan, mereka lebih memilih melangun daripada harus duduk dikursi sekolah mendengarkan dan memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh pengajar. Bahkan, beberapa individu Suku Anak Dalam cenderung beranggapan bahwa sekolah adalah sesuatu yang menyesatkan dan sekolah merupakan sesuatu yang belum dan tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka, terlebih sekolah tidak membuat mereka kenyang. Padahal, Surjadi dalam bukunya Pembangunan Masyarakat Desa mengatakan bahwa, Bila kesempatan akan lapangan pekerjaan berkembang diluar masayarakatnya, maka sekolah dianggap oleh orang - orang sebagai pintu gerbang bagi anak - anaknya untuk memperoleh pekerjaan yang baik diluar masyarakat (Surjadi, 1989: 101). Apa yang disampaikan oleh Surjadi jelas bahwa pendidikan merupakan elemen serta sarana utama untuk membuka masa depan dan cita-cita. Adanya sesuatu yang baru dalam kelompok atau tatanan masyarakat tentunya menjadikan pengalaman yang baru juga bagi manusia atau masyarakat tersebut. Masyarakat yang pada awalnya belum mengenal serta mengetahui tentang pendidikan, belajar mengajar dan bersekolah, masyarakat yang pada dasarnya masih memegang teguh ajaran-ajaran adat istiadat, sebagian dari mereka kini telah mengenal serta melakukan kegiatan belajar mengajar. Namun tidak demikian bagi sebagian kecil Suku Anak Dalam yang ada di Desa Air Hitam Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun atau yang berada di Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian kecil dari Suku Anak Dalam yang ada disana telah mengenal serta melakukan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar. Hal ini menjadi pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dirasakan serta diperoleh oleh mereka Suku Anak Dalam. Pendidikan menjadi fenomena baru bagi mereka, pengalaman serta kahidupan baru tentunya. Disinilah yang menarik. Suku Anak Dalam yang pada dasarnya taat serta masih menjunjung ttinggi ajaran-ajaran yang diajarkan oleh nenek moyang mereka justru mau serta bisa menerima adanya pendidikan serta kegiatan belajar mengajar. Bagaimana penerimaan Suku Anak Dalam terhadap fenomena baru yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan, yaitu pendidikan. Fenomena serta pengalaman seperti apa yang membuat dan menjadikan mereka mau bersekolah. Pengalaman seperti apa yang mereka dapatkan setelah melaksanakan kegiatan belajar mengajar selama ini. PEMBAHASAN Pada awalnya, para individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki pandangan atau persepsi negatif terhadap pendidikan formal. Fenomena tersebut terkait dengan ajaran dari orang tua, temenggung (kepala suku), dan bahkan nenek moyang mereka yang mengasumsikan bahwa pendidikan yang diterima dari sekolah bukanlah sebuah kegiatan yang wajib untuk dilakukan. Alasannya, dengan mengikuti kegiatan belajar di sekolah, maka waktu mereka untuk melakukan kegiatan seperti berhutan menjadi tersisihkan, sehingga label yang kemudian muncul adalah mereka akan meninggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dari berhutan. Pendidikan formal atau bersekolah adalah salah satu fenomena yang relatif baru bagi individu Suku Anak Dalam. Sebelumnya, mereka tidak pernah diperkenalkan adanya istilah pendidikan maupun istilah bersekolah. Seperti yang disampaikan oleh Edmund Husserl, bahwa fenomenologi berfokus pada bagaimana orang mengalami fenomena tertentu, menyelidiki bagaimana individu mengkonstruksikan makna dari sebuah pengalaman yang mereka alami dan bagaimana makna yang ditangkap oleh individu tersebut bisa memicu terbentuknya makna kelompok atau bahkan membentuk pemahaman baru pada kebudayaan tertentu (Vandersteop dan Johnston, 2009: 206). Terkait dalam hal ini adalah kemunculan pengetahuan baru dari pengalaman individu Suku Anak Dalam mengenai pendidikan yang diperolehnya, serta menghasilkan beberapa pandangan yang berhasil dimaknai oleh individu Suku Anak Dalam. Persepsi awal dari Suku Anak Dalam terhaap pendidikan yang terbentuk cenderung negatif. Namun, seiring dengan terus dilakukannya sosialisasi oleh pemerintah tentang pentingnya pendidikan serta adanya faktor pendorong internal (cita-cita hidup) dalam diri individu Suku Anak Dalam, sebagian individu Suku Anak Dalam cenderung menjadi lebih aktif untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Bahkan, pemerintah membangun Sekolah Dasar khusus bagi Suku Anak Dalam. Persepsi individu Suku Anak Dalam terhadap pendidikan formal yang pada awalnya menganggap bahwa pendidikan adalah ajaran yang tidak benar, dalam perkembangannya cenderung mulai mengalami perubahan, dan bahkan Suku Anak Dalam telah bersekolah dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah. Sehingga, individu Suku Anak Dalam cenderung memaknai pendidikan dan bersekolah sebagai salah satu hal yang menyenangkan sekaligus menguntungkan. Hal ini disampaikan oleh salah satu individu Suku Anak Dalam bahwa dengan bersekolah maka akan mendapatkan makanan ataupun jajanan, bahkan program rekreasi atau berwisata yang diselenggarakan oleh sekolah menjadi salah satu faktor pendorong bagi Suku Anak Dalam untuk bersekolah. Fenomena paling menonjol terkait dengan konstruksi makna pendidikan bagi individu Suku Anak Dalam adalah bahwa dengan mengikuti pelajaran di sekolah, mereka memiliki gambaran tentang cita-cita hidup seperti ingin menjadi seorang anggota kepolisian. Cita-cita tersebut terungkap melalui pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan, karena mereka merasa sering menjadi korban penipuan dari toke atau pengepul. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan dalam memahami makna pendidikan formal yang diterima oleh individu Suku Anak Dalam. Pernyataan tersebut bukan menjadi satu-satunya alasan informan Suku Anak Dalam memaknai pendidikan dan bersekolah, mereka menganggap bahwa bersekolah adalah salah satu cara untuk mencari teman bermain yang banyak, dan bukan hanya dari kalangan Suku Anak Dalam saja, namun teman dari orang luar (bukan Suku Anak Dalam). Dalam pengalaman sadar yang dialami individu Suku Anak Dalam, terdapat beberapa faktor yang mendorong individu Suku Anak Dalam untuk bersekolah, yaitu adanya rayuan serta pemberian sesuatu yang menarik (imingiming) oleh pemerintah dan pihak sekolah, membuat individu Suku Anak Dalam akhirnya bersekolah. Para informan mengungkapkan bahwa dengan adanya pemberian baju baru (seragam sekolah) menjadi salah satu alasan individu Suku Anak Dalam untuk bersekolah. Selain itu, pemberian perlengkapan dan kebutuhan sekolah oleh pemerintah daerah, juga menjadi faktor penarik tersendiri bagi individu Suku Anak Dalam untuk bersekolah. Pada awalnya, keinginan bersekolah terbentuk bukan karena adanya dorongan pribadi (faktor internal) dari individu Suku Anak Dalam. Para informan mengatakan bahwa alasan pertama mereka bersekolah lebih kepada faktor eksternal, yaitu dorongan dari orang tua mereka. Alasan orang tua Suku Anak Dalam meminta anaknya untuk bersekolahpun bukan tanpa alasan, para orang tua mengatakan, dengan bersekolah maka akan diberikan makanan serta pakaian baru tanpa dipungut biaya. Asumsi orang tua Suku Anak Dalam tersebut didasari dari adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah yang menyampaikan suatu informasi mengenai adanya reward jika anak-anak aktif bersekolah. Fenomena yang paling menonjol terkait dengan minat individu Suku Anak Dalam untuk menimba ilmu di sekolah formal adalah adanya pembagian makanan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Bagi para informan, adanya pembagian makanan yang dilakukan oleh pihak sekolah secara rutin, membuat mereka menjadi bersemangat untuk tetap bersekolah. Pembagian makanan yang diberikan atau dilakukan oleh pihak sekolah membuat Suku Anak Dalam ahirnya bersekolah, ketertarikan individu Suku Anak Dalam terhadap makanan orang luar (bukan Suku Anak Dalam) menjadi salah satu daya tarik bagi mereka untuk berangkat ke sekolah. Hal ini terjadi karena Induvidu Suku Anak Dalam merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat makanan selayaknya yang dimakan oleh orang luar, makanan seperti nasi goreng, bubur, dan lauk pauk seperti ikan laut tidak pernah dirasakan oleh individu Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam beranggapan bahwa sekolah dan belajar telah memberikan sebuah pengalaman baru yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan. Sekarang, Suku Anak Dalam yang telah bersekolah mengaku menjadi semakin mengenal nama-nama pahlawan perjuangan. Jika dibandingkan dengan sebelum Suku Anak Dalam bersekolah, mereka tidak mengenal nama-nama menteri bahkan nama presiden Indonesia. Kemampuan mengoperasikan benda elektronik juga menjadi salah satu pengalaman berbeda yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Dengan kemampuan membaca yang mereka miliki, kini Suku Anak Dalam yang telah bersekolah mampu mengganti channel televisi yang ada di rumah mereka, serta mengganti dan mencari channel parabola yang telah terpasang di rumah. Kemampuan mengoperasikan benda elektronik lainnya seperti handphone juga menjadi salah satu pengalaman baru bagi Suku Anak Dalam. Ketika Suku Anak Dalam sebelum bersekolah, mereka hanya menggunakan handphone sekedar untuk menonton televisi dan memutar lagu, kini mereka mampu memaksimalkan kegunaan handphone tersebut, selain untuk berkomunikasi, mereka telah mampu meng akses facebook dari handphone mereka. dengan bersekolah dan belajar menjadikan mereka memiliki kemampuan untuk membaca serta menulis, memiliki kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi. Dibandingkan dengan ketika Suku Anak Dalam belum bersekolah, Suku Anak Dalam tidak pernah berhubungan, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan orang luar, meskipun pernah, interaksi hanya terjadi beberapa kali dan tidak se sering sekarang. Hal ini terjadi dikarenakan kehidupan Suku Anak Dalam yang lebih banyak berada di hutan. Sebelum sekolah, Suku Anak Dalam keluar dari hutan hanya ketika hendak menjual hasil hutan mereka. Berbeda dengan ketika Suku Anak Dalam telah bersekolah seperti sekarang, bagi Suku Anak Dalam yang telah bersekolah, bersosialisasi dengan orang luar kini lebih sering terjadi. Hal ini terjadi karena selain di sekolah mereka harus bersosialisasi dengan orang luar, kehidupan sehari-hari juga menuntut Suku Anak Dalan untuk lebih sering bersosialisasi dengan orang luar, karena perumahan yang Suku Anak Dalam tempati berada di lingkungan dan di sekitar rumah warga atau hampir semua tetangga mereka adalah orang luar. Dengan berpindah serta bertempat tinggal Suku Anak Dalam di sekitar atau bertetangga dengan orang luar telah merubah anggapan serta stereotype Suku Anak Dalam terhadap orang luar. Dengan berteman dengan orang luar, komunikasi serta interaksi mereka menjadi semakin intens dan semakin sering. Fenomena tersebut membuat mereka saling membuka diri satu sama lain, Menurut Irwin Altman dan Dalmas Taylor (Littlejohn, 2005 : 194) dalam teori penetrasi sosial (Social Penetration Theory) bahwa seseorang melakukan komunikasi yang bergerak dari unintimate kemudian mencapai puncak pada titik intimate. Proses tersebut adalah penetrasi yang mana syarat mutlaknya yaitu self disclosure atau keterbukaan. Terjadinya keterbukaan diri diantara Suku Anak Dalam dengan orang luar lebih dilatar belakangi adanya keinginan untuk saling mengenal satu sama lain, memperoleh pengetahuan dari apa yang sebelumnya belum pernah didapat oleh mereka. Suku Anak Dalam yang telah mampu dan melangsungkan komunikasi atau sosialisasi dengan orang luar merupakan salah satu contoh adanya upaya dari Suku Anak Dalam (kelompok minoritas) agar diterima oleh orang luar (kelompok mayoritas). Orbe menjelaskan dalam co-cultural theory, yang mengkaji bagaimana anggota kelompok minoritas berkomunikasi dengan anggota kelompok dominan (Littlejohn, 2009: 264). Usaha yang dilakukan oleh individu Suku Anak Dalam cenderung mengarah pada tujuan asimilasi. Fenomena yang terjadi antara Suku Anak Dalam dengan orang luar, selain telah melakukan komunikasi dan bersosialisasi dengan orang luar, Suku Anak Dalam juga mengganti nama mereka. Seperti informan yang penulis temui, dua dari tiga informan Suku Anak Dalam telah merubah namanya, yang pertama adalah Abdul Rahman, yang memiliki nama asli Nyembah, yang ke dua adalah Farida yang memiliki nama asli Gemensek. PENUTUP Pada awalnya, individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki persepsi negatif terhadap pendidikan yang disosialisasikan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena bertentangan dengan ajaran leluhur, sehingga individu Suku Anak Dalam merasa tidak perlu bersekolah. Namun seiring dengan perkembangan waktu, persepsi mereka mulai berubah. Individu Suku Anak Dalam merasa senang dengan bersekolah, karena ketika bersekolah, mereka akan mendapatkan makanan serta jajan yang dibagikan oleh pihak sekolah. Ada beberapa faktor yang akhirnya mampu membuat para individu Suku Anak Dalam menerima pendidikan. Penerimaan individu Suku Anak Dalam dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar, seperti adanya imbalan atau sesuatu yang menarik yang diberikan dan disampaikan oleh pemerintah. Serta adanya dorongan atau ‘perintah’ dari orang tua mereka untuk bersekolah. Meskipun dorongan dari orang tua mereka dilatar belakangi dengan adanya imbalan berupa akan dibagikannya pakaian baru (seragam sekolah) dan makanan oleh pihak sekolah. Dengan bersekolahnya individu Suku Anak Dalam, pengalamanpengalaman baru dialami oleh mereka. Memiliki teman serta bersosialisasi dengan orang luar (bukan Suku Anak Dalam) menjadi pengalaman baru yang didapat ketika bersekolah. Kemampuan menggunakan dan mengoptimalkan peralatan elektronik, memiliki kemampuan membuat serta log in sosial media seperti facebook di handphone juga dimiliki oleh individu Suku Anak Dalam setelah bersekolah. Hal ini didasari pada kemampuan menulis, membaca, dan berbahasa Inggris yang diajarkan ketika mereka bersekolah. DAFTAR PUSTAKA Littlejohn. Stephen W, and Foss. A Karen. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika. Surjadi A. 1989. Pembangunan masyarakat Desa. Bandung: PT. Mandar Maju Vanderstoep, Scott W. and Deirdre D. Johnston. 2009. Research Methods for Everyday Life “Blending Qualitative and Quantitative Approaches”. San Fransisco, CA: Jossey-Bass. http://www.kpde.batangharikab.go.id/?p=166 (diunduh pada tangal 7 November 2012) http://www.tarungnews.com/fullpost/budaya/1318475559/kehidupan-primitifsuku- kubu-anak-dalam-di-jambi.html (diunduh pada tanggal 10 November 2012) }, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/3620} }
Refworks Citation Data :
ABSTRACTIONTITLE :NAMA :NIM :ACCEPTANCE OF EDUCATION AMONG ANAKDALAM TRIBEM. SYAMSUL HIDAYATD2C606031Trough the nine-years compulsory education program, EducationDepartment of Soralangun, Jambi held socialization the importance of educationfor Anak Dalam Tribe. The local government was purpose to prevalent educationfor all Sarolangun citizen, included Anak Dalam Tribe. However, the fact is AnakDalam Tribe have some response about the education ratification by government,some of Anak Dalam Tribe accepting the education, but most of them resist thesocialization by government because they have not been taught by their parents,temenggung, and their ancestor, so they don’t have to accept it and attend school.This Research aims to find out the acceptance of education among AnakDalam Tribe, why most of them who have faith that education never been taughtby their ancestor instead accept it and finally attend school. This research wasconducted by using phenomenological approach by relating the governmentexperience of socialization who with theory of persuasion to encourage andchange the thought and assumption of Anak Dalam Tribe so they accept educationand attend school. Also acceptance and experience of Anak Dalam Tribe afterthey accept and attend school, this research attempts to explain the Anak DalamTribe’s efforts in order to be accepted by people outside agains the stereotypeabout them in the people’s sight and otherwise. The subject of this researchconsists of three people from government dan three Anak Dalam Tribe’s peoplewho attend school and settle outside the forest. The data was obtainedbyinterview, observation, and literature.Results of this study indicate that government was done persuasioncommunication by interacting directly with Anak Dalam Tribe, trying to convinceand changing the thought and behavior of Anak Dalam Tribe. In effort to changethe behavior, the governments formerly try to establish the cognitive and affectivecomponent from Anak Dalam Tribe, the expectation is by changing thecomponent, could change their behavior. To establish the cognitive component,government conveying the importance of education and then the teachers andexperts in their field indirectly has set an example for Anak Dalam Tribe. Thegovernment also gives all equipment and school supplies. Moreover, Anak DalamTribe is free of charge for school. It is done in order to establish the affectivecomponent of Anak Dalam Tribe. After cognitive and affective has been establish,it will be directly followed by changes of behavior, that is Anak Dalam Tribe whowant to attend school.Key words: acceptance, persuasion, Anak Dalam Tribe, educationABSTRAKSIJUDUL :NAMA :NIM :Penerimaan Suku Anak Dalam Terhadap PendidikanM. SYAMSUL HIDAYATD2C606031Dengan adanya program wajib belajar sembilan tahun, Dinas PendidikanKabupaten Sarolangun, Jambi, mengadakan sosialisasi pentingnya pendidikanterhadap Suku Anak Dalam (SAD). Tujuan dari pemerintah daerah adalahmeratanya pendidikan bagi semua warga masyarakat yang ada di KabupatenSarolangun, termasuk Suku Anak Dalam. Namun, pada kenyataannya adalah,Suku Anak Dalam memiliki beberapa tanggapan tentang disosialisasikannyapendidikan oleh pemerintah, sebagian Suku Anak Dalam menerima adanyapendidikan, namun sebagian besar menolak sosialisasi yang dilakukan olehpemerintah dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi yang diajarkan dalamingroup oleh temenggung, hingga nenek moyang mereka, sehingga Suku AnakDalam tidak harus menerima dan bersekolah.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerimaan Suku Anak Dalamterhadap pendidikan, mengapa Suku Anak Dalam yang mayoritas memilikikepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang merekajustru ada yang menerima hingga akhirnya bersekolah. Penelitian ini dilakukandengan menggunakan pendekatan fenomenologi yang mengaitkan pengalamanpengalamanpemerintah dalam melakukan sosialisasi melalui teori persuasi untukmengajak serta merubah pemikiran serta anggapan Suku Anak Dalam sehinggaSuku Anak Dalam menerima pendidikan dan sekolah. Serta penerimaan danpengalaman Suku Anak Dalam setelah Suku Anak Dalam menerima danbersekolah, penelitian ini juga mencoba menggunakan co-cultural theory untukmenjelaskan usaha-usaha Suku Anak Dalam agar dapat diterima oleh masyarakatluar setelah adanya strereotip negatif tentang Suku Anak Dalam. Subyekpenelitian terdiri dari tiga orang pemerintah dan tiga orang Suku Anak Dalamyang bersekolah dan menetap di luar hutan, dimana pengumpulan data diperolehdari hasil wawancara, observasi, dan studi pustaka.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan individu Suku AnakDalam yang telah bersekolah terhadap pendidikan telah berubah. Pendidikan danbersekolah dimaknai sebagai salah satu hal yang menyenangkan sertamenguntungkan untuk masa depan individu Suku Anak Dalam. Pengetahuan barusetelah bersekolah membuat cara pandang individu Suku Anak Dalam tentangmasa depan mengalami perubahan, tentang cita-cita dan lapangan pekerjaan yanglebih layak. Pengalaman-pengalaman baru juga dirasakan individu Suku AnakDalam setelah bersekolah, sepertiKey words: penerimaan, persuasi, Suku Anak Dalam, pendidikanPENERIMAAN SUKU ANAK DALAM (SAD)TERHADAP PENDIDIKANSummary SkripsiDisusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikanPendidikan Strata IJurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas DiponegoroPenyusun :Nama : M Syamsul HidayatNIM : D2C606031JURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2013PENDAHULUANPendidikan, merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harusterpenuhi, selain menjadi bagian dari hak asasi manusia, pendidikan jugamerupakan salah satu elemen penting dimana suatu kesuksesan dan kemajuanNegara di ukur oleh seperti apa pendidikan di Negara tersebut. Oleh karena itusetiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajarsebaik-baiknya dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehinggadimanapun mereka berada harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yanglayak sebagai hak-hak asasi bagi mereka.Adanya program wajib belajar Sembilan tahun yang digalakkan olehpemerintah sejak beberapa tahun yang lalu mendapat respon yang positiv bagimasyarakat Indonesia. Tentunya, hampir semua pemerintah daerah juga berperanserta dalam mensosialisasikan program tersebut. Tidak ketinggalan yangdilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Sarolangun, Jambi. Pemerintahdaerah sarolangun pun tidak pandang bulu, semua elemen masyarakat, baik yangdi kota, pedesaan hingga daerah yang susah dijangkaupun menjadi targetpemerintah guna sosialisasi pentingnya pendidiakn. Salah satunya Suku anakdalam, tentunya menjadi sesuatu yang sangat baru bagi suku anak dalam. Banyakdari mereka yang hingga sekarang masih kurang bisa menerima sosialisasi yangdilakukan oleh pemerintah.Program pendidikan bagi Suku Anak Dalam yang dicanangkan olehpemerintah cenderung memunculkan fenomena perubahan perilaku bagi SukuAnak Dalam. Pasalnya, Suku Anak Dalam atau Suku Kubu yang pada awalnyabelum pernah sama sekali mengenal pendidikan justru mau menerima adanyapendidikan. Meskipun belum semua Suku Anak Dalam (SAD) yang ada maubersekolah, setidaknya, lebih dari 50 anak telah melaksanakan kegiatan belajarmengajar.Namun, Suku Anak Dalam, yang pada hakekatnya lebih suka berburu danmelangun, cenderung kurang bisa menerima adanya perubahan dan serta adanyasesuatu yang baru, yang menutup diri dengan perkembangan serta kemajuan.Suku Anak Dalam lebih susah diatur, dalam arti susah jika diberi penjelasantentang sesuatu yang baru, semisal tentang pendidikan, mereka lebih memilihmelangun daripada harus duduk dikursi sekolah mendengarkan danmemperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh pengajar.Bahkan, beberapa individu Suku Anak Dalam cenderung beranggapanbahwa sekolah adalah sesuatu yang menyesatkan dan sekolah merupakan sesuatuyang belum dan tidak pernah diajarkan oleh nenek moyang mereka, terlebihsekolah tidak membuat mereka kenyang. Padahal, Surjadi dalam bukunyaPembangunan Masyarakat Desa mengatakan bahwa, Bila kesempatan akanlapangan pekerjaan berkembang diluar masayarakatnya, maka sekolah dianggapoleh orang - orang sebagai pintu gerbang bagi anak - anaknya untuk memperolehpekerjaan yang baik diluar masyarakat (Surjadi, 1989: 101). Apa yangdisampaikan oleh Surjadi jelas bahwa pendidikan merupakan elemen serta saranautama untuk membuka masa depan dan cita-cita.Adanya sesuatu yang baru dalam kelompok atau tatanan masyarakattentunya menjadikan pengalaman yang baru juga bagi manusia atau masyarakattersebut. Masyarakat yang pada awalnya belum mengenal serta mengetahuitentang pendidikan, belajar mengajar dan bersekolah, masyarakat yang padadasarnya masih memegang teguh ajaran-ajaran adat istiadat, sebagian dari merekakini telah mengenal serta melakukan kegiatan belajar mengajar. Namun tidakdemikian bagi sebagian kecil Suku Anak Dalam yang ada di Desa Air HitamKecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun atau yang berada di Taman NasionalBukit Duabelas, sebagian kecil dari Suku Anak Dalam yang ada disana telahmengenal serta melakukan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar. Hal inimenjadi pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dirasakan sertadiperoleh oleh mereka Suku Anak Dalam. Pendidikan menjadi fenomena barubagi mereka, pengalaman serta kahidupan baru tentunya.Disinilah yang menarik. Suku Anak Dalam yang pada dasarnya taat sertamasih menjunjung ttinggi ajaran-ajaran yang diajarkan oleh nenek moyangmereka justru mau serta bisa menerima adanya pendidikan serta kegiatan belajarmengajar. Bagaimana penerimaan Suku Anak Dalam terhadap fenomena baruyang sebelumnya belum pernah mereka rasakan, yaitu pendidikan. Fenomenaserta pengalaman seperti apa yang membuat dan menjadikan mereka maubersekolah. Pengalaman seperti apa yang mereka dapatkan setelah melaksanakankegiatan belajar mengajar selama ini.PEMBAHASANPada awalnya, para individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki pandanganatau persepsi negatif terhadap pendidikan formal. Fenomena tersebut terkaitdengan ajaran dari orang tua, temenggung (kepala suku), dan bahkan nenekmoyang mereka yang mengasumsikan bahwa pendidikan yang diterima darisekolah bukanlah sebuah kegiatan yang wajib untuk dilakukan. Alasannya,dengan mengikuti kegiatan belajar di sekolah, maka waktu mereka untukmelakukan kegiatan seperti berhutan menjadi tersisihkan, sehingga label yangkemudian muncul adalah mereka akan meninggal karena tidak dapat memenuhikebutuhan hidup mereka dari berhutan.Pendidikan formal atau bersekolah adalah salah satu fenomena yang relatifbaru bagi individu Suku Anak Dalam. Sebelumnya, mereka tidak pernahdiperkenalkan adanya istilah pendidikan maupun istilah bersekolah. Seperti yangdisampaikan oleh Edmund Husserl, bahwa fenomenologi berfokus padabagaimana orang mengalami fenomena tertentu, menyelidiki bagaimana individumengkonstruksikan makna dari sebuah pengalaman yang mereka alami danbagaimana makna yang ditangkap oleh individu tersebut bisa memicuterbentuknya makna kelompok atau bahkan membentuk pemahaman baru padakebudayaan tertentu (Vandersteop dan Johnston, 2009: 206). Terkait dalam hal iniadalah kemunculan pengetahuan baru dari pengalaman individu Suku AnakDalam mengenai pendidikan yang diperolehnya, serta menghasilkan beberapapandangan yang berhasil dimaknai oleh individu Suku Anak Dalam.Persepsi awal dari Suku Anak Dalam terhaap pendidikan yang terbentukcenderung negatif. Namun, seiring dengan terus dilakukannya sosialisasi olehpemerintah tentang pentingnya pendidikan serta adanya faktor pendorong internal(cita-cita hidup) dalam diri individu Suku Anak Dalam, sebagian individu SukuAnak Dalam cenderung menjadi lebih aktif untuk mengikuti kegiatan belajar disekolah. Bahkan, pemerintah membangun Sekolah Dasar khusus bagi Suku AnakDalam. Persepsi individu Suku Anak Dalam terhadap pendidikan formal yangpada awalnya menganggap bahwa pendidikan adalah ajaran yang tidak benar,dalam perkembangannya cenderung mulai mengalami perubahan, dan bahkanSuku Anak Dalam telah bersekolah dan menempati rumah yang disediakan olehpemerintah.Sehingga, individu Suku Anak Dalam cenderung memaknai pendidikandan bersekolah sebagai salah satu hal yang menyenangkan sekaligusmenguntungkan. Hal ini disampaikan oleh salah satu individu Suku Anak Dalambahwa dengan bersekolah maka akan mendapatkan makanan ataupun jajanan,bahkan program rekreasi atau berwisata yang diselenggarakan oleh sekolahmenjadi salah satu faktor pendorong bagi Suku Anak Dalam untuk bersekolah.Fenomena paling menonjol terkait dengan konstruksi makna pendidikan bagiindividu Suku Anak Dalam adalah bahwa dengan mengikuti pelajaran di sekolah,mereka memiliki gambaran tentang cita-cita hidup seperti ingin menjadi seoranganggota kepolisian. Cita-cita tersebut terungkap melalui pengalaman masa laluyang kurang menyenangkan, karena mereka merasa sering menjadi korbanpenipuan dari toke atau pengepul. Hal tersebut mengindikasikan adanyaperubahan dalam memahami makna pendidikan formal yang diterima olehindividu Suku Anak Dalam. Pernyataan tersebut bukan menjadi satu-satunyaalasan informan Suku Anak Dalam memaknai pendidikan dan bersekolah, merekamenganggap bahwa bersekolah adalah salah satu cara untuk mencari temanbermain yang banyak, dan bukan hanya dari kalangan Suku Anak Dalam saja,namun teman dari orang luar (bukan Suku Anak Dalam).Dalam pengalaman sadar yang dialami individu Suku Anak Dalam,terdapat beberapa faktor yang mendorong individu Suku Anak Dalam untukbersekolah, yaitu adanya rayuan serta pemberian sesuatu yang menarik (imingiming)oleh pemerintah dan pihak sekolah, membuat individu Suku Anak Dalamakhirnya bersekolah. Para informan mengungkapkan bahwa dengan adanyapemberian baju baru (seragam sekolah) menjadi salah satu alasan individu SukuAnak Dalam untuk bersekolah. Selain itu, pemberian perlengkapan dan kebutuhansekolah oleh pemerintah daerah, juga menjadi faktor penarik tersendiri bagiindividu Suku Anak Dalam untuk bersekolah.Pada awalnya, keinginan bersekolah terbentuk bukan karena adanyadorongan pribadi (faktor internal) dari individu Suku Anak Dalam. Para informanmengatakan bahwa alasan pertama mereka bersekolah lebih kepada faktoreksternal, yaitu dorongan dari orang tua mereka. Alasan orang tua Suku AnakDalam meminta anaknya untuk bersekolahpun bukan tanpa alasan, para orang tuamengatakan, dengan bersekolah maka akan diberikan makanan serta pakaian barutanpa dipungut biaya. Asumsi orang tua Suku Anak Dalam tersebut didasari dariadanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah yang menyampaikan suatuinformasi mengenai adanya reward jika anak-anak aktif bersekolah.Fenomena yang paling menonjol terkait dengan minat individu Suku AnakDalam untuk menimba ilmu di sekolah formal adalah adanya pembagian makananyang dilakukan oleh pihak sekolah. Bagi para informan, adanya pembagianmakanan yang dilakukan oleh pihak sekolah secara rutin, membuat merekamenjadi bersemangat untuk tetap bersekolah. Pembagian makanan yang diberikanatau dilakukan oleh pihak sekolah membuat Suku Anak Dalam ahirnyabersekolah, ketertarikan individu Suku Anak Dalam terhadap makanan orang luar(bukan Suku Anak Dalam) menjadi salah satu daya tarik bagi mereka untukberangkat ke sekolah. Hal ini terjadi karena Induvidu Suku Anak Dalam merasatidak memiliki kemampuan untuk membuat makanan selayaknya yang dimakanoleh orang luar, makanan seperti nasi goreng, bubur, dan lauk pauk seperti ikanlaut tidak pernah dirasakan oleh individu Suku Anak Dalam.Suku Anak Dalam beranggapan bahwa sekolah dan belajar telahmemberikan sebuah pengalaman baru yang sebelumnya tidak pernah merekadapatkan. Sekarang, Suku Anak Dalam yang telah bersekolah mengaku menjadisemakin mengenal nama-nama pahlawan perjuangan. Jika dibandingkan dengansebelum Suku Anak Dalam bersekolah, mereka tidak mengenal nama-namamenteri bahkan nama presiden Indonesia. Kemampuan mengoperasikan bendaelektronik juga menjadi salah satu pengalaman berbeda yang sebelumnya tidakmereka dapatkan. Dengan kemampuan membaca yang mereka miliki, kini SukuAnak Dalam yang telah bersekolah mampu mengganti channel televisi yang adadi rumah mereka, serta mengganti dan mencari channel parabola yang telahterpasang di rumah. Kemampuan mengoperasikan benda elektronik lainnyaseperti handphone juga menjadi salah satu pengalaman baru bagi Suku AnakDalam. Ketika Suku Anak Dalam sebelum bersekolah, mereka hanyamenggunakan handphone sekedar untuk menonton televisi dan memutar lagu, kinimereka mampu memaksimalkan kegunaan handphone tersebut, selain untukberkomunikasi, mereka telah mampu meng akses facebook dari handphonemereka.dengan bersekolah dan belajar menjadikan mereka memiliki kemampuanuntuk membaca serta menulis, memiliki kemampuan bersosialisasi danbernegosiasi. Dibandingkan dengan ketika Suku Anak Dalam belum bersekolah,Suku Anak Dalam tidak pernah berhubungan, bersosialisasi, dan berinteraksidengan orang luar, meskipun pernah, interaksi hanya terjadi beberapa kali dantidak se sering sekarang. Hal ini terjadi dikarenakan kehidupan Suku Anak Dalamyang lebih banyak berada di hutan. Sebelum sekolah, Suku Anak Dalam keluardari hutan hanya ketika hendak menjual hasil hutan mereka. Berbeda denganketika Suku Anak Dalam telah bersekolah seperti sekarang, bagi Suku AnakDalam yang telah bersekolah, bersosialisasi dengan orang luar kini lebih seringterjadi. Hal ini terjadi karena selain di sekolah mereka harus bersosialisasi denganorang luar, kehidupan sehari-hari juga menuntut Suku Anak Dalan untuk lebihsering bersosialisasi dengan orang luar, karena perumahan yang Suku AnakDalam tempati berada di lingkungan dan di sekitar rumah warga atau hampirsemua tetangga mereka adalah orang luar.Dengan berpindah serta bertempat tinggal Suku Anak Dalam di sekitaratau bertetangga dengan orang luar telah merubah anggapan serta stereotypeSuku Anak Dalam terhadap orang luar. Dengan berteman dengan orang luar,komunikasi serta interaksi mereka menjadi semakin intens dan semakin sering.Fenomena tersebut membuat mereka saling membuka diri satu sama lain, MenurutIrwin Altman dan Dalmas Taylor (Littlejohn, 2005 : 194) dalam teori penetrasisosial (Social Penetration Theory) bahwa seseorang melakukan komunikasi yangbergerak dari unintimate kemudian mencapai puncak pada titik intimate. Prosestersebut adalah penetrasi yang mana syarat mutlaknya yaitu self disclosure atauketerbukaan. Terjadinya keterbukaan diri diantara Suku Anak Dalam denganorang luar lebih dilatar belakangi adanya keinginan untuk saling mengenal satusama lain, memperoleh pengetahuan dari apa yang sebelumnya belum pernahdidapat oleh mereka.Suku Anak Dalam yang telah mampu dan melangsungkan komunikasiatau sosialisasi dengan orang luar merupakan salah satu contoh adanya upaya dariSuku Anak Dalam (kelompok minoritas) agar diterima oleh orang luar (kelompokmayoritas). Orbe menjelaskan dalam co-cultural theory, yang mengkajibagaimana anggota kelompok minoritas berkomunikasi dengan anggota kelompokdominan (Littlejohn, 2009: 264). Usaha yang dilakukan oleh individu Suku AnakDalam cenderung mengarah pada tujuan asimilasi. Fenomena yang terjadi antaraSuku Anak Dalam dengan orang luar, selain telah melakukan komunikasi danbersosialisasi dengan orang luar, Suku Anak Dalam juga mengganti nama mereka.Seperti informan yang penulis temui, dua dari tiga informan Suku Anak Dalamtelah merubah namanya, yang pertama adalah Abdul Rahman, yang memilikinama asli Nyembah, yang ke dua adalah Farida yang memiliki nama asliGemensek.PENUTUPPada awalnya, individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki persepsi negatifterhadap pendidikan yang disosialisasikan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karenabertentangan dengan ajaran leluhur, sehingga individu Suku Anak Dalam merasatidak perlu bersekolah. Namun seiring dengan perkembangan waktu, persepsimereka mulai berubah. Individu Suku Anak Dalam merasa senang denganbersekolah, karena ketika bersekolah, mereka akan mendapatkan makanan sertajajan yang dibagikan oleh pihak sekolah.Ada beberapa faktor yang akhirnya mampu membuat para individu SukuAnak Dalam menerima pendidikan. Penerimaan individu Suku Anak Dalamdipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar, seperti adanya imbalan atau sesuatu yangmenarik yang diberikan dan disampaikan oleh pemerintah. Serta adanya doronganatau ‘perintah’ dari orang tua mereka untuk bersekolah. Meskipun dorongan dariorang tua mereka dilatar belakangi dengan adanya imbalan berupa akandibagikannya pakaian baru (seragam sekolah) dan makanan oleh pihak sekolah.Dengan bersekolahnya individu Suku Anak Dalam, pengalamanpengalamanbaru dialami oleh mereka. Memiliki teman serta bersosialisasi denganorang luar (bukan Suku Anak Dalam) menjadi pengalaman baru yang didapatketika bersekolah. Kemampuan menggunakan dan mengoptimalkan peralatanelektronik, memiliki kemampuan membuat serta log in sosial media sepertifacebook di handphone juga dimiliki oleh individu Suku Anak Dalam setelahbersekolah. Hal ini didasari pada kemampuan menulis, membaca, dan berbahasaInggris yang diajarkan ketika mereka bersekolah.DAFTAR PUSTAKALittlejohn. Stephen W, and Foss. A Karen. 2009. Teori Komunikasi: Theories ofHuman Communication. Jakarta: Salemba Humanika.Surjadi A. 1989. Pembangunan masyarakat Desa. Bandung: PT. Mandar MajuVanderstoep, Scott W. and Deirdre D. Johnston. 2009. Research Methods forEveryday Life “Blending Qualitative and Quantitative Approaches”. SanFransisco, CA: Jossey-Bass.http://www.kpde.batangharikab.go.id/?p=166 (diunduh pada tangal 7 November2012)http://www.tarungnews.com/fullpost/budaya/1318475559/kehidupan-primitifsuku-kubu-anak-dalam-di-jambi.html (diunduh pada tanggal 10 November2012)
Last update:
Interaksi Online, is published by Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jln. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275; Telp. (024)7460056, Fax: (024)7460055
Interaksi Online by http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/interaksi-online is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.