skip to main content

Representasi Kekuasaan Kulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika Amerika Dalam Film A Time to Kill


Citation Format:
Abstract

1
ABSTRAKSI
Nama : Michael Laurentius
NIM : D2C007056
Judul : Representasi Kekuasaan Kulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika Amerika
Dalam Film A Time to Kill
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan ilmiah ini adalah
untuk mengetahui adanya representasi kekuasaan dan mengetahui visualisasi rasisme
melalui pembagian kelas yang ada di film ini. Pemaknaan kedamaian positif yang ingin
disampaikan melalui film A Time to Kill seakan seperti selaput yang menutupi superioritas
kulit putih Amerika terhadap masyarakat kulit hitam.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika.
Pengertian dasar semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Untuk mengkaji makna tanda
yang terkandung pada film, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang
mengacu pada teori C.S. Peirce dengan identifikasi relasi segitiga antara tanda, pengguna
dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Representasi
dan semiotika memiliki suatu hubungan dalam pembahasan kebudayaan. Kedua hal ini
merupakan sistem yang muncul dalam setiap pembahasan terkait dengan budaya atau
culture. Perlu diketahui bahwa budaya terbentuk dari proses pembagian atau pertukaran
dari banyak makna. Kekuatan dalam representasi (power in representation) menunjukkan
bagaimana kekuasaan dapat memberi tanda atau nilai tertentu, menetapkan dan
mengklasifikasi. Kekuasaan tidak hanya harus dimengerti dalam terminologi eksploitasi
ekonomi dan paksaan fisik, tapi juga harus dipahami lebih luas dalam sudut pandang
kultural dan terminologi simbolik.
Oleh karena itu perlu dipahami secara kritis akan cara kerja representasi kekuasaan
dan rasisme dalam film meskipun film tersebut bertujuan positif dengan menampilkan sisi
kemanusiaan. Bisa jadi terdapat ketidaksamaan kekuatan (power) yang mencolok antara
2
kelompok yang satu dengan yang lain, ada pihak yang lemah dan ada pihak yang lebih kuat
serta mendominasi banyak hal hingga pada akhirnya terciptalah sebuah konsep pandangan
umum tentang adanya perbedaan kekuatan atau kekuasaan.
3
ABSTRACTION
Name : Michael Laurentius
Student Number : D2C007056
Title : Representation of American White Power Against The African
American in A Time to Kill Movie
The research objectives to be achieved in scientific writing is to know the
representation of power and knows racism visualization through class divisions that exist in
this film. Meaning of a positive peace which is to be conveyed through “A Time to Kill”
movie as if such membranes covering the white American superiority against the black
community.
Method of approach used in this study is semiotics. Basic understanding of
semiotics is the study of signs. To assess the meaning of the sign is contained in the film, this
study uses a semiotic analysis method refers to the CS Peirce theory with the identification
of triangular relations between signs, users and external reality as a necessity model to
examine meaning. Representation and semiotics have a relationship in the discussion of
culture. Both of these are systems that arise in any discussion related to the culture. Keep in
mind that the culture formed by the division or exchange of a lot of meaning. Power in
representation shows how power can mark or a specific value, specify and classify. Power
must be understood not only in terms of economic exploitation and physical coercion, but
also must be understood in the broader perspective of cultural and symbolic terms.
Therefore, it will be critically important to understand how the representation of
power and racism in the movie even though the movie aims to show the positive side of
humanity. It could be that there is inequality strength (power) striking between the groups
with each other, there are those who are weak and there are those who are stronger and
dominate many things and eventually created a concept of the common view of the
difference in strength or power.
4
REPRESENTASI KEKUASAAN KULIT PUTIH AMERIKA TERHADAP KAUM
AFRIKA AMERIKA DALAM FILM A TIME TO KILL
1.1 Latar Belakang
Latar waktu pada film tepatnya diatur memasuki tahun 1982. Dimana pada
waktu ini sang penulis John Grisham sebelum menjadi novelis yang sebelumnya
merupakan seorang pengacara pernah menangani kasus serupa. Novel pertamanya, A
Time to Kill, terinspirasi dari kesaksian seorang perempuan berusia 10 tahun yang
dibelanya yang menjadi korban perkosaan dan penganiayaan. Grisham begitu
terobsesi dengan perkara tersebut. Grisham menuturkan,”Apa yang akan terjadi jika
ayah si gadis cilik itu membunuh para pemerkosanya. Saya akan menuliskannya
kembali.”
(http://sosok.kompasiana.com/2013/05/05/grisham-pengacara-yang-sukses-jadi-novelis-557505.html)
Peneliti melihat novel populer ini sangat kontroversial dan sangat berani
dengan judul yang sama dengan filmnya. John Grisham berani memutar cerita
berdasarkan pengalamannya dengan memposisikan seorang kulit hitam membunuh
dua orang kulit putih karena dendam demi kehormatan dan keadilan. Ada makna
yang ingin disampaikan John Grisham melalui novel ini berdasarkan judulnya, yaitu
momentum seorang individu (kulit hitam) yang merasa sudah seharusnya membunuh
orang kulit putih karena telah menghancurkan masa depan putrinya yang ia sayangi ,
tidak akan ada waktu yang tepat bila kita menunggu karena waktu yang tepat
ditentukan oleh kita sendiri. Pemeran kulit hitam seakan diceritakan oleh John
Grisham akhirnya sebagai pengambil keputusan, “sudah waktunya saya bertindak dan
sudah waktunya saya harus membunuh bila kehormatan dan keadilan tidak bisa
diselamatkan” (A Time to Kill).
Namun dibalik tujuan menggambarkan sebuah kerjasama antar ras terdapat
bias yang terjadi dalam film ini yang bukan terkait makna kerjasama antar ras
melainkan ada makna tanda lain yang lebih dominan mengangkat citra kulit putih dan
secara visual membentuk sikap rasis yang semuanya itu digambarkan secara
kompleks melalui permainan dan kontrol kekuasaan yang didominasi oleh kulit putih.
Oleh karena itulah, penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai
bahan pembuatan penulisan ilmiah dengan memberi judul “Representasi Kekuasaan
Kulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika Amerika dalam Film A Time to Kill”.
5
Film A Time to Kill juga memunculkan salah satu terminologi sosiologis
berupa pembentukan kaum mayoritas dan minoritas. Dalam kehidupan
bermasyarakat, hampir dimana ada kelompok mayoritas, baik di bidang agama,
ekonomi, moral, politik, dan sebagainya. Minoritas lebih mudah ditindas dan lebih
sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antara
kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh
sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat
(Schwingenschlögl, 2007). Secara umum, kelompok yang dominan cenderung
mempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial
yang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan
kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan
potensi produktif dari kaum minoritas (Griffiths, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
Secara visual umum film A Time To Kill menggambarkan perjuangan seorang
kulit hitam, dimana dia harus membunuh dengan cara main hakim sendiri yaitu
menembak dengan membabi buta kedua pelaku pemerkosa putrinya. Eksekusi dengan
dasar dendam ini dilakukan di aula pengadilan di muka umum saat dimana para
pelaku pemerkosa tersebut akan diadili. Tindakan tersebut dilakukan oleh kulit hitam
yang mengeksekusi dua orang kulit putih yang mana berdasarkan visualisasi latar
belakang waktu film ini digambarkan masih dalam era rasisme Amerika.
Penggambaran film ini memperlihatkan bagaimana kasus ini diproses secara hukum
dan di dalamnya secara jelas memperlihatkan dominasi tokoh kulit putih dalam
menyelesaikan kasus pembunuhan interasial ini. Pengacara kulit putih dan timnya
yang bersedia membela dan datang sebagai “pahlawan”, pengacara yang cerdas, dan
pantang menyerah. Berbeda dengan tokoh utama kulit hitam yang digambarkan
sebagai buruh, main hakim sendiri, emosional, dan pasrah terhadap kasus yang
sedang dijalaninya kepada pengacaranya.
Dalam merumuskan masalah ini, penulis akan mengemukakan beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan penjelasan di atas, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana representasi kekuasaan kulit putih dalam film A Time to Kill terjadi ?
2. Bagaimana visualisasi rasisme dipraktikkan dalam peran dan tokoh film A Time to
Kill ?
6
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya representasi kekuasaan kulit putih di Amerika dalam
film A Time to Kill.
2. Untuk mengetahui visualisasi rasisme dan pembagian kelas di Amerika yang ada
dalam film A Time to Kill.
1.4 Maanfaat Penelitian
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dan
menggambarkan bagaimana proses terjadinya konstruksi sosial di dalam media
khususnya dalam film A Time to Kill. Dalam film ini terdapat konstruksi sosial
yang divisualisasikan antara kelompok mayoritas dengan minoritas yang juga
dikaitkan dengan sebuah permainan kekuasaan serta rasisme disertai pemisahan
kelas yang secara tidak langsung dilakukan pihak mayoritas di balik tujuan untuk
membantu minoritas.
2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan
kesadaran kepada masyarakat agar dapat memahami bagaimana kekuasaan itu
dapat dimainkan di dalam kehidupan khususnya melalui media dengan berbagai
bentuk baik itu dilakukan secara negatif ataupun di balik perilaku kekuasaan yang
positif. Masyarakat pun harus paham akan bagaimana kekuasaan baik dalam media
ataupun tidak melalui media dapat menciptakan suatu pembedaan dalam
masyarakat itu sendiri bisa dalam hal paham, keyakinan atau agama, ras dan lain
sebagainya. Khalayak luas pun harus dapat memahami secara kritis dan bijak
terhadap pembedaan yang menciptakan perbedaan tersebut.
1.5 KERANGKA TEORI
1.5.1 State of The Art
Penelitian terkait representasi rasisme dalam penelitian melalui film sudah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti sebelumnya menjelaskan dan
menggambarkan lebih mendalam terkait representasi rasisme dan kelas yang
diceritakan dalam film. Fenomena sosial seperti rasisme memang sering muncul
dan diangkat dalam media massa khususnya melalui film.
7
Penelitian sebelumnya hanya fokus pada representasi rasisme dan belum
banyak mengaitkan faktor representasi kekuasaan yangmembentuk pencitraan
rasisme dan stereotyping suatu kelas dalam film. Ada hal menarik untuk diteliti
lebih lanjut yaitu adanya bentuk representasi kekuasaan tersembunyi yang
dilakukan oleh pihak dominan (di dalam film) sehingga menciptakan suatu
stereotyping kelas dan semuanya itu dicitrakan dalam beberapa film yang
umumnya melibatkan tokoh-tokoh yang berbeda latar belakang budaya, agama,
warna kulit, dan lain sebagainya.
1.5.2 Fungsi Media (Film) Dalam Semiotika Komunikasi
Fungsi film yang bersifat audio visual atau bahkan dengan tambahan teks
akan memudahkan makna dari tanda (sign) muncul ke permukaan sehingga
penonton dapat memahami semiotika komuikasi yang bisa jadi terlalu rumit dan
sulit dipahami maknanya. Penonton film yang mendengar dan melihat, memiliki
pemahaman tanda yang lebih cepat dimaknakan dibandingkan seorang pendengar
audio saja (contoh: radio) atau seorang yang hanya melihat secara visual tanpa teks
(contoh: gambar poster).
1.5.3 Representasi dan Semiotika
Representasi dan semiotika memiliki suatu hubungan dalam pembahasan
kebudayaan. Kedua hal ini merupakan sistem yang muncul dalam setiap
pembahasan terkait dengan budaya atau culture. Perlu diketahui bahwa budaya
terbentuk dari proses pembagian atau pertukaran dari banyak makna (shared
meanings) (Hall, 1997:1). Dalam pendekatan semiotika, sebuah representasi
dimengerti sebagai basis jalur kata-kata yang berfungsi sebagai tanda yang
terdapat di dalam bahasa (Hall, 1997:42). Representasi dalam semiotika lebih
memikirkan pada representasi sebagai sebuah sumber produksi pengetahuan sosial
atau social knowledge. Pengetahuan sosial ini merupakan sistem yang lebih
terbuka, serta terhubung lebih banyak dan mendalam di setiap praktek-praktek
sosial.
Kekuasaan tidak hanya harus dimengerti dalam terminologi eksploitasi
ekonomi dan paksaan fisik, tapi juga harus dipahami lebih luas dalam sudut
pandang kultural dan terminologi simbolik, termasuk juga kekuasaan untuk
merepresentasikan seseorang atau sesuatu dengan cara tertentu, hingga dapat
dikatakan terdapat „rezim reperesentasi‟ di dalamnya (Hall, 1997:259). Hal ini
termasuk dalam penggunaan simbol kekuasaan (symbolic power) melalui praktek8
praktek representasional. Stereotyping adalah elemen kunci dalam penggunaan
„simbol kekejaman‟.
1.5.4 Diskursus Dalam Media
Sinema atau film dapat dikatakan merupakan salah satu institusi media
tekstual yang berperan menampilkan berbagai bentuk nilai sosial atau tanda dalam
bentuk imaji audio dan visual hingga dapat memproduksi efek realitas tertentu di
masyarakat. Diskursus dalam media erat kaitannya dengan kekuasaan yang muncul
dalam percakapan.
1.5.5 Stereotype dan Kekuasaan
Stereotype adalah citra mental yang melekat pada sebuah grup atau
kelompok. Pengertian lain dari stereotype adalah penilaian terhadap seseorang
hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat
dikategorikan. Stereotype merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara
intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan
membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.
Bias dalam film A Time to Kill terlihat mengarah pada penggunaan
kekuasaan kaum dominan yaitu orang kulit putih Amerika. Ada suatu gambaran
pendiktean oleh sebuah kekuasaanyang dianggap lebih pintar dan bijak dalam
menyelesaikan masalah rasisme serta dapat menjadi solusi terbaik. Kekuasaan
bijak tersebut seakan direpresentasikan melalui tokoh-tokoh orang kulit putih.
Dalam psikologi sosial interpersonal dan intergroup terdapat penjelasan dari
Susan Fiske yang dibantu oleh kolega-koleganya (berdasarkan pengaruh teori
Dacher Keltner) telah mengembangkan teori power as control (PAC) melalui
berbagai penelitian lab, survey, dan bidang neuroscientific (Dowding, 1996:504).
Dalam hal ini PAC dapat diteliti berdasarkan gambaran kondisi dan situasi yang
memungkinkan suatu kekuasaan atau power muncul, dan melalui beberapa
diskusi terkait bagaimana kekuasaan itu digunakan apakah untuk tujuan yang baik
atau untuk menyakiti.
9
1.5.6 Konsep Marxisme Dalam Media (film) Melalui Kode Konsepsi Kelas
Bentuk metodologi Marxis dan kritiknya terhadap formasi sosial
menciptakan sebuah kelas. Berikut ini merupakan penjelasan serta contoh kasus
pemetaan kelas yang divisualisasikan dalam sebuah film populer yang bersumber
dari buku Marxism and Media Studies.
1.5.6.1 Memetakan kelas (mapping class)
Pembelajaran sekarang mengenai kelas sosial telah difokuskan pada
kelas menengah white-collar/kerah putih yang tidak manual dan kelas pekerja
blue-collar manual. Kelas-kelas tersebut sering dibagi lagi dalam berbagai
tingkatan dalam bentuk kategori-kategori pekerjaan. Klasifikasi khususnya
adalah sebagai berikut:
Kelas menengah : profesional yang lebih tinggi, manajerial dan administrative,
Ahli/profesional yang lebih rendah, manajerial dan
administratif
Kelas pekerja : kemampuan manual (Skilled Manual) Kemampuan semimanual
(semi-skilled manual)  Tidak memiliki kemampuan manual (unskilled
manual) (Haralambos 1985:48)
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
Penelitian tentang bias kekuasaan kaum kulit Amerika dalam film A Time
to Kill merupakan studi yang menggunakan pendekatan interpretif (subjektif)
kritis dengan desain penelitian deksriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif bertujuan
untuk mempersilahkan pembaca mengetahui apa yang terjadi dalam penelitian
tersebut dan bagaimana subjek memandang atau bahkan menilai kejadian tertentu.
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong,2004:3) mengemukakan metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapatdiamati.
10
1.6.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian berikut adalah film A
Time to Kill yang rilis di Amerika tahun 1996. Film ini diangkat dari novel dengan
dengan judul serupa karya John Grisham yang secara garis besar menceritakan
krisis dan konflik rasial antara kulit putih Amerika dengan kaum kulit hitam Afrika
Amerika.
1.6.3 Metode Riset
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semiotika. Pengertian dasar semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi
tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh
mereka yang menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda
(Kriyantono, 2006:265). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tanda
mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengenalan
oleh penggunannya sehingga bisa disebut tanda (Fiske, 2011:61)
Fokus penelitiannya adalah bagaimana bias kekuasaan direpresentasikan
dalam film A Time to Kill. Untuk mengkaji makna tanda-tanda yang terkandung
pada film, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu
pada teori Roland Barthes dengan model semiotika berupa signifier
(penanda/teks), signified (petanda/konteks), sign (tanda).
Stereotype negatif yang dilekatkan pada tokoh kulit hitam di film ini seakan
sudah menjadi mitos sejarah yang terus terpelihara dan dibenarkan sebagai budak
dengan gambaran tanda atau sign kehidupan yang “kumuh”, “kurang terdidik”,
“kasar / barbar” dan “sumber masalah”. Sedangkan tokoh-tokoh kulit putih (peran
pengacara dalam film ini) secara dominan digambarkan secara lebih positif, “punya
kuasa”, “berpenampilan rapih”, “lebih terdidik”, dan “seorang yang dapat mengontrol
situasi”, layaknya gambaran tuan tanah yang berusaha mengatasi aksi protes budak
kulit hitam di masa sejarah rasisme.
Denotasi yang muncul dari cuplikan gambar berupa seorang kulit hitam
dengan penampilan lusuh menembakkan senjata, kemudian berada di penjara.
11
Ditambah lagi dalam gambar pemeran kulit hitam tersebut sempat berkata keras dan
kasar di persidangan yang ditujukan pada para pemerkosa yang sudah ia tembak
sampai mati, “Yes, they deserve to die, and I hope they burn in Hell” (ya, mereka
pantas mati, dan saya berharap merek terbakar di neraka). Peran kulit putih ada
gambar selanjutnya digambarkan rapih, bersih, dan terpelajar (sebagai pengacara).
Konotasi positif muncul pada peran kulit putih yang “jas dan berdasi” dengan
pekerjaan sebagai pengacara sehingga dimaknakan “punya kuasa atau berkuasa”
untuk bertindak.
1.6.4 Jenis Data
Sumber data penelitian ini adalah data teks, dimana data kualitatif
berasal dari teks-teks tertentu. Penggunaan data ini disesuaikan dengan
pendekatan sistem tanda di dalam proses penelitian khususnya analisis semiotik.
Berdasarkan buku Riset Komunikasi (Kriyantono, 2006:38), dalam kajian
komunikasi segala macam tanda adalah teks yang di dalamnya terdapat simbolsimbol
yang sengaja dipilih, di mana pemilihan, penyusunannya, dan
penyampaiannya tidak bebas dari maksud tertentu, karena itu akan memunculkan
makna tertentu. Sistem analisis yang dikembangkan yaitu sistem konotasi dan
denotasi. Kata konotasi berasal dari bahasa latin “Connotare” menjadi tanda dan
mengarah kepada makna- makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan
kata dari bentuk-bentuk komunikasi. Kata konotasi melibatkan simbol –simbol,
historis dan hal – hal yang berhubungan dengan emosional. Denotasi dan
konotasi menguraikan hubungan antara signifier dan referentnya. Denotasi
menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literal atau nyata.
Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan emosional personal.
1.6.5 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu :
a. Data Primer, data ini diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu dari film
A Time To Kill, yaitu akting, dialog, dan alur cerita.
b. Data Sekunder, yang diperoleh dari sumber lain yaitu studi kepustakaan
dalam bentuk buku atau melalui situs internet, baik teori maupun informasi
yang berkaitan dengan film A Time to Kill.
12
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalahdengan studi dokumenter
(documentary study).Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data
dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen,baik dokumen
tertulis,gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian
dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil
kajian yang sistematis, padu dan utuh. Dalam penelitian ini film A Time to Kill
adalah objek utama penelitian yang nantinya akan dibantu dengan data-data
pustaka atau dokumen lainnya terkait tujuan pembongkaran tanda-tanda
representasi kekuasaan dan stereotype yang bersifat rasis.
1.6.7 Teknik Analisis Data
Kode televisi sebuah acara atau film yang ditayangkan sudah dikodekan oleh
kode-kode sosial dalam beberapa tingkatan (Fiske, 2001:7-13) mulai dari;
Tingkat satu:Reality, Tingkat dua : Representation, Tingkat tiga :Ideology (Ideologi)
Realitas:
Pengaturan Kamera (Camera Work), Pencahayaan (Lightning), Editing, Music,
Casting, Setting and Costume, Tata Rias (Make Up), Action, Percakapan
(Dialogue), Ideological Codes.
1.6.8 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah teks visual dan audio yang ada dalam
beberapa adegan dari film yang mencangkup gambar, narasi / copywriting, musik,
warna, serta konteks cerita A Time to Kill.
Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dan kajian pustaka tentang film A Time to Kill
memang dapat disimpulkan adanya nilai kemanusiaan yang kental melalui visualisasi
cerita. Tapi peneliti tidak melihat hanya dari nilai kemanusiaan yang menjadi intisari
dari film ini, hal lainnya yang dapat digali lebih dalam untuk mengetahui kenyataan
yang terlihat semu. Berdasarkan perumusan masalah maka peneliti dapat mengambil
13
beberapa kesimpulan bahwa film A Time to Kill secara keseluruhan penuh dengan
representasi kekuasaan mutlak akan “kekuatan” yang lebih dominan yaitu orang kulit
putih terhadap kaum negro. Saat peneliti mengesampingkan nilai kemanusiaan dalam
film ini dan mencoba melihat lebih dalam dibalik “topeng” kemanusiaan itu sendiri.
14
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Arthur Asa. 1982. Media Analysis Techniques.California. Sage Publications.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT
RajagrafindoPersada.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Davis, Kenneth C. 2003. Don’t Know Much About History. New York: Harper-
Collins Publishers.
Dowding, Keith. 1996. Encyclopedia of Power. London: Sage Publications.
Fiske, John. 2001. Television Culture. London: The Taylor and Francis Group elibrary.
Fiske, John. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practies.
London: Sage Publications.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Mulyana, Deddy. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya
Thwaites, Davis dan Warwick Mules. 2009. Introducing Cultural and Media Studies.
Yogyakarta: Jalasutra.
Wayne, Mike. 2003. Marxism and Media Studies: Key Concept and Contemporary
Trends. London: Pluto Press.
15

Fulltext View|Download

Last update:

No citation recorded.

Last update:

No citation recorded.