BibTex Citation Data :
@article{IO2806, author = {Wilis Windiasih and Taufik Suprihatini and Triono Lukmantoro}, title = {Bintang Film Dewasa sebagai Komoditas dalam Film Horor Indonesia}, journal = {Interaksi Online}, volume = {1}, number = {3}, year = {2013}, keywords = {}, abstract = { Bintang Film Dewasa sebagai Komoditas dalam Film Horor Indonesia Wilis Windiasih (D2C009061) Abstrak Menonjolkan pornografi dan menggunakan bintang film dewasa, seperti Rin Sakuragi, Maria Ozawa, Sora Aoi, Tera Patrick, Sasha Grey, dan Vicky Vette, dalam film horor Indonesia menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Adanya seks dan bintang film dewasa mengubah film horor menjadi film yang penuh dengan adegan vulgar dan erotis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pembuatan film horor dan alasan utama yang mendasari industrialis perfilman memproduksi film horor berbau seks dengan melibatkan bintang film dewasa. Teori yang digunakan yaitu Culture Industry (Theodor W. Adorno, 1991) dan Star System (Paul McDonald, 2000). Tipe penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dikaji dengan analisis ekonomi politik media. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview kepada producer, casting manager, script writer, dan general manager Maxima Pictures. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bintang film dewasa yang terlibat dalam pembuatan film horor Indonesia melaksanakan tugas-tugasnya sebagai tenaga kerja spesialis dalam sebuah industri. Oleh karena itu, keterlibatannya sangat berpengaruh pada pemasaran dan penjualan film baik pada saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja spesialis, bintang film dewasa diperlakukan istimewa dibandingkan tenaga kerja lainnya baik dari segi bayaran maupun fasilitas yang didapat. Seks dan bintang film dewasa dalam industri film horor menjadi bisnis yang mendatangkan keuntungan berlimpah. Seks muncul dalam film horor dikarenakan adanya pangsa pasar di mana masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dikarenakan pada waktu itu sedang digandrungi dan populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hasil lainnya, yaitu industrialis perfilman tetap memperhatikan nilai, tema, dan pesan dalam memproduksi film horor berbau seks yang melibatkan bintang film dewasa. Namun, ketiga hal tersebut sangat kecil kemungkinannya tersampaikan kepada penonton karena film dibuat semata-mata untuk kepentingan komersil. Industrialis perfilman juga memperhatikan kode etik di mana dialog, adegan, dan penyampaiannya yang tidak mendetail saat menampilkan adegan seks dalam film horor. Kata kunci: ekonomi politik media, industri film horor, seks, bintang film dewasa Porn Star as a Commodity in Indonesian Horror Movies Wilis Windiasih (D2C009061) Abstract Highlight the use of pornography and porn stars, like Rin Sakuragi, Maria Ozawa, Sora Aoi, Tera Patrick, Sasha Grey, and Vicky Vette, in Indonesian horror movies become promising business field. The existence of sex and porn stars alter horror movies into a film filled with vulgar and erotic scenes. The purpose of this study are to determine the process of making horror movies and the main reason underlying the film industrialist producing sexist horror movies involving porn stars. The theory used the Culture Industry (Theodor W. Adorno, 1991) and the Star System (Paul McDonald, 2000). This type of research is a qualitative descriptive phenomenological approach and studied by analysis of the political economy of media. Data is collected by in-depth interview to producer, casting manager, script writer, and general manager of Maxima Pictures. These results indicate that porn stars are involved in the manufacture of Indonesian horror movies to perform his duties as a labor specialist in an industry. Therefore, their involvement are very influential in the marketing and sales of both films during preproduction, production, postproduction, distribution, and exhibition. Because as a labor specialist, porn stars are treated more special than other workers in terms of pay and facilities acquired. Sex and porn stars in the horror movie industry become a profitable business abound. Sex appeared in horror movies because of where the market share of Indonesian society with things like that pornography. The involvement of porn stars because at the time they are loved and popular among the people of Indonesia. Other results, the movie industralist still consider the values, themes, and messages in producing sexist horror movies involving porn stars. However, three things are much less likely conveyed to the audience because the films are made solely for commercial purposes. The movie industrialist also pay attention to the code of ethics in which dialogue, scenes, and delivery time are not detailed while displaying sex scenes in horror movies. Keywords: political economy of media, horror movie industry, sex, porn star Bintang Film Dewasa sebagai Komoditas dalam Film Horor Indonesia Wilis Windiasih, Dra. Taufik Suprihatini, M. Si (dosen pembimbing I), Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si (dosen pembimbing II) PENDAHULUAN: Salah satu fungsi film (film horor) adalah sebagai media hiburan. Film horor merupakan salah satu genre film yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Melihat peluang tersebut, para industrialis perfilman berlomba-lomba memproduksi film horor dengan kemasan semenarik mungkin. Karena begitu digemari oleh masayarakat luas, maka perkembangannya pun begitu pesat. Hingga akhirnya film horor mengalami masa keemasan, yaitu di era 80-an dan 2000-an. Masa keemasan di sini tidak hanya ditandai oleh banyaknya penonton yang antusias terhadap film di era tersebut, tetapi juga kualitas dari film itu sendiri. Di era 80-an, film horor Indonesia lebih banyak dibintangi oleh Suzanna Martha Frederika van Osch, seperti film Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Telaga Angker (1984), dan Malam Jumat Kliwon (1985). Tahun 2000-an ditandai dengan munculnya film Jelangkung (2001) yang mencapai penonton hingga 5,7 juta dan Kuntilanak (2006) dengan 2,4 juta penonton (Cheng dan Barker, 2011: 200). Karena begitu ketatnya persaingan dalam industri film horor, maka sang produser mencari inovasi dan gebrakan baru terhadap film horor, sehingga filmnya berbeda dengan lainnya. Muncullah bintang film dewasa dari Jepang, seperti Rin Sakuragi, Maria Ozawa, dan Sora Aio yang digunakan oleh rumah produksi Maxima Pictures dengan Produsernya Ody Mulya Hidayat, serta bintang film dewasa dari Amerika, seperti Tera Patrick, Sasha Grey, dan Vicky Vette yang dikontrak oleh rumah produksi K2K Production dengan produsernya yaitu KK Dheeraj. Adanya bintang film dewasa yang terlibat dalam film horor Indonesia, maka perannya pun sangat dekat dengan hal-hal yang berbau pornografi. Jadi, film horor tersebut menonjolkan seks di dalamnya. Menurut Karl Heider seks merupakan salah satu dari tiga formula ampuh yang digunakan dalam film horor Indonesia, yaitu seks, komedi, dan religi (Rusdiarti, 2009: 11). Adanya perpaduan seks dan bintang film dewasa, ternyata menarik perhatian banyak penonton. Akhirnya, industrialis dapat menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari penjualan filmnya. dapt dikatakan bahwa film merupakan menjadi salah satu produk dari industri budaya (culture industry). Dalam memasarkan produknya, industri budaya menggunakan strategi penggunaan seorang bintang (star system). Kemudian bintang tersebut mengalami komodifikasi tenaga kerja. Melihat fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui bagaimana proses pembuatan film yang melibatkan bintang film dewasa dalam film horor Indonesia dan ingin mengetahui alasan utama yang mendasari industrialis perfilman memproduksi film horor berbau seks dengan melibatkn bintang film dewasa. PEMBAHASAN: Menurut Carrol horor dapat diartikan sebagai sesuatu yang berusaha untuk membangkitkan ketakutan dan hal yang menjijikkan yang ditujukan langsung kepada sebuah monster yaitu makhluk yang dianggap mengancam. Definisi monster yang dimaksud oleh Carroll adalah makhluk-makhluk yang mengerikan. Sedangkan menurut Freeland, horor diartikan sebagai sesuatu yang berusaha untuk mengeksplorasi segala bentuk kejahatan (Livingston dan Plantinga, 2009: 46). Jadi film horor, menurut Vincent Pinell, diartikan sebagai film yang penuh dengan ekspoitasi unsur-unsur horor yang bertujuan untuk membangkitkan ketegangan penonton (Rusdiarti, 2009: 2). Menurut Charles Derry, film horor dibagi menjadi tiga subgenre, yaitu horror of personality (horor psikologis), horrof of armageddon (horor bencana), dan horror of demonic (horor hantu) (Rusdiarti, 2009: 2-3). Horor of personality dihadapkan pada tokoh-tokoh manusia biasa yang tampak normal, tetapi di akhir film mereka memperlihatkan sisi “iblis” atau “monster” mereka. Biasanya mereka adalah individu-individu yang “sakit jiwa” atau terasing secara sosial. Horror of armageddon adalah jenis film horor yang mengangkat ketakutan laten manusia pada hari akhir dunia atau hari kiamat. Manusia percaya bahwa suatu hari dunia akan hancur dan umat manusia akan binasa. Horror of demonic merupakan film yang paling dikenal dalam dunia perfilman horor. Menurut Derry, film jenis ini menawarkan tema tentang dunia (manusia) yang menderita ketakutan karena kekuatan setan menguasai dunia dan mengancam kehidupan umat manusia. Subgenre horor hantu inilah yang sering digunakan dalam film horor Indonesia. Hantu yang sering digunkanan adalah jenis hantu kuntilanak dan pocong. Dalam perkembangannya, film horor mengalami modifikasi dan muncullah konsep sex-horror-comedy. Film horor Indonesia antara tahun 2009 hingga 2011 lebih banyak didominasi film-film yang menonjolkan pornografi di dalamnya, seperti Suster Keramas yang dimainkan oleh Rin Sakuragi, Hantu Tanah Kusir oleh Maria Ozawa, dan Suster Keramas 2 oleh Sora Aoi. Ketiga film tersebut merupakan produksi Maxima Pictures. Adanya seks dalam film horor mereka karena masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dari Jepang karena memang ketiga bintang tersebut sedang digandrungi oleh masayarakat Indonesia. Fenomena semacam ini disebut sebagai culture industry. Film horor kini menjadi salah satu produk industri budaya. Artinya, film horor merupakan sebuah fenomena yang diangkat dari budaya yang ada di masyarakat Indonesia. Kemudian, film horor tersebut dijadikan sebuah konsumsi massa. Jadi, produk industri budaya tidak ada dengan sendiri, melainkan telah melalui proses perencanaan yang dibuat oleh para industrialis yaitu produser. Dapat dikatakan bahwa industri budaya (culture industry) merupakan sebuah komodifikasi dan industrialisasi budaya, dikelola dari atas dan diproduksi untuk mendatangkan keuntungan (Schement, 2002: 209). Dalam memasarkan produknya, industri budaya menggunakan salah satu strategi yaitu penggunaan seorang bintang. Jadi, Maxima Pictures untuk memasarkan filmnya menggunakan star system dalam produksinya. Dalam rangkaian pertukaran komersial, bintang menjadi bentuk modal yang merupakan aset untuk membuat dan mendapatkan keuntungan dalam pasar hiburan. Bintang film dewasa yang berasal dari Jepang menjadi aset yang berharga karena dengan nama besarnya dan ketenarannya di dunia pornografi, industri film akan meraup keuntungan yang berlimpah. Dapat dikatakan bahwa bintang film dewasa dianggap sebagai sebuah citra, sebagai modal, dan sebagai tenaga kerja dalam indsutri film horor Indonesia. Bintang sebagai citra dibangun dalam berbagai kategori teks, yang tidak hanya penampilan bintang film, tetapi juga bentuk-bentuk publisitas dan promosi (McDonald, 2000: 7). Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap citra bintang adalah karakter yang mereka mainkan dan gaya kinerja mereka gunakan untuk menggambarkan peran itu. Citra Rin Sakuragi, Maria Ozawa, dan Sora Aoi terbentuk dari dunia pornografi. Peran dan kinerjanya dalam memainkan adegan-adegan seks dalam blue film membawa namanya hingga ke kancah internasional. Melihat peluang tersebut, Maxima Pictures memanfaatkan ketiga bintang film tersebut karena mereka merupakan ikon dalam dunia pornografi. Dengan demikian, Maxima Pictures tidak bersusah payah untuk mendapatkan market filmnya karena dengan adanya bintang film dewasa secara otomatis akan menarik perhatian penonton. Bintang juga menjadi bentuk modal karena dalam komersial industri film, ia adalah aset berharga bagi sebuah perusahaan produksi. Bintang adalah bentuk investasi yang digunakan dalam produksi film sebagai penjaga terhadap kemungkinan kerugian. Upah bintang sebagian besar dari anggaran setiap film dan bintang juga merupakan alat pemasaran, yang citranya dipromosikan dengan maksud untuk mempengaruhi pasar hiburan. Cathy Klaprat melihat nilai dari bintang melalui prinsip-prinsip ekonomi produk diferensiasi dan inelastisitas permintaan (McDonald, 2000:11). Klaprat berpendapat bahwa diferensiasi bintang secara teoritis bisa menstabilkan permintaan, menciptakan konsistensi kinerja box office untuk sebuah bintang film, sehingga memungkinkan distributor untuk menaikkan harga produk mereka terhadap exhibitors. Diferensiasi bintang itu menjadi strategi yang berharga karena menawarkan cara untuk tidak hanya menstabilkan harga film tetapi juga meningkatkan harga terhadap produk tertentu. Bintang film dewasa yang ada dalam film horor Maxima Pictures memang menjadi aset yang berharga. Bintang film dewasa tersebut diharapkan akan membawa keuntungan bagi Maxima Pictures. Keuntungan di sini tentulah keuntungan materi yang akan diperoleh industri tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada penjualan tiket di bisokop 21 di seluruh nusantara. Tingginya penjualan yang diperoleh film horor yang dibintangi oleh bintang film dewasa, maka film Maxima Pictures dapat bertahan satu setengah bulan untuk diputar di bioskop tersebut. Bintang adalah orang yang bekerja di dalam industri film dan dengan demikian mereka merupakan bagian dari tenaga kerja dari produksi film. Peran bintang dalam industri tersebut tidak hanya terbatas pada fungsi mereka dalam proses pembuatan film, tetapi juga pada proses distribusi dan pameran (McDonald, 2000: 5). Oleh karena itu, bintang film dewasa yang digunakan oleh Maxima Pictures sebagai alat promosi yang akan membantu pemasaran dan penjualannya baik saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja, seorang bintang mengalami sebuah komofidikasi tenaga kerja. Komodifikasi tenaga kerja direproduksi melalui proses eksploitasi absolut (memperpanjang hari kerja) dan eksploitasi relatif (intensifikasi proses kerja) yang memperdalam ekstraksi nilai lebih (Mosco, 2009: 131). Hal tersebut melibatkan perpanjangan hari kerja untuk upah yang sama dan untuk mengintensifkan proses tenaga kerja melalui kontrol yang lebih besar atas penggunaan waktu kerja, termasuk pengukuran dan sistem pemantauan untuk mendapatkan lebih banyak tenaga kerja keluar dari unit waktu kerja. Dengan kata lain, dalam komodifikasi tenaga kerja telah menciptakan nilai absolut dan relatif. Komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar, dari produk transformasi yang nilainya ditentukan oleh kemampuan pemilik modal untuk memenuhi individu dan kebutuhan sosial ke dalam produk yang nilainya ditetapkan oleh harga pasar mereka (Mosco, 2009: 132). Dalam pembagian kerja, bintang dikategorikan sebagai spesialis kinerja di mana bintang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu (McDonald, 2000: 9). Apa yang dilakukan oleh bintang film dewassa merupakan tanggung jawab spesialis bintang dalam pembagian perburuhan. Bintang dapat dikategorikan sebagai spesialis kinerja, tetapi posisi mereka dalam industri juga ditandai dengan status hierarkis mereka. Dane Clark menjelaskan perbedaan antara bintang dan pemain biasa dalam hal kekuatan perbedaan kerja (McDonald, 2000: 10). Bagi Clark, setiap pemahaman tentang sistem bintang tidak bisa berkonsentrasi secara eksklusif pada pemain dengan status bintang, tetapi harus melihat bintang sebagai posisi relatif dalam kondisi tenaga kerja. Meskipun istilah star system mengacu pada hirarki kelembagaan yang dibentuk untuk mengatur dan mengontrol pekerjaan dan penggunaan semua aktor, bintang telah menjadi kelas istimewa dalam pembagian kerja. Melihat sistem bintang dengan cara ini menuntut pertimbangan daya yang melekat pada bintang dalam industri film. Bintang film dewasa yang turut main dalam film horor Maxima Pictures, posisinya lebih istimewa dibanding dengan pemain maupun tim lapangan lainnya. Hal tersebut terlihat pada bayaran yang diterima oleh bintang film dewasa mencapai 1,5 milyar rupiah dan fasilitas yang diperoleh, seperti penyambutan dengan polisi, hotel bintang lima, dan ke mana-mana dikawal oleh bodyguard. Keistimewaan tersebut dikarenakan bintang film dewasa mempunyai nama yang terkenal dan menjadi ikon, meski mereka menjadi ikon dalam blue film bukan dalam public film. Daya yang melekat pada ketiga bintang tersebut sebagai seorang bintang film dewasa, yaitu molek, seksi, menggoda, dan menggairahkan. Fenomena film horor sebagai sebuah industri budaya yaitu dengan menggabungkan unsur horor dan seks yang lebih dominan, menjadi bisnis yang menjanjikan bagi perusahaan Maxima Pictures. Untuk menarik perhatian penonton, mereka tidak tanggung-tanggung dalam memproduksi film horornya yaitu dengan melibatkan bintang film dewasa untuk memainkan adegan-adegan syur dan erotis. Dengan kata lain, Maxima Pictures menggunakan star system dalam film horor Suster Keramas, Hantu Tanah Kusir, dan Suster Keramas 2. Apa yang dilakukan oleh industri tersebut hanyalah memanfaatkan peluang yang ada dengan dasar melihat apa yang sedang tren pada waktu itu. Bintang film dewasa dari Jepang begitu populer pada saat itu. Secara cerdik Maxima Pictures langsung mengadakan kontrak kerjasama dengan manajemen bintang film dewasa tersebut. Tentulah masyarakat penasaran terhadap film horor tersebut karena ingin mengetahui seperti apa bintang film dewasa ketika main dalam film yang bersifat publik. Walau Maxima Pictures melihat berdasarkan tren yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, tetapi film horor yang disuguhkan tidak semata-mata untuk memenuhi keinginan khalayak. Tujuan utama Maxima Pictures adalah untuk kepentingan komersil dengan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Film yang diproduksi lebih mengarah pada kemauan industri tersebut yaitu mencampurkan pornografi di dalamnya untuk diperankan oleh bintang film dewasa. Maxima Pictures yakin bahwa filmnya akan laku keras di pasaran. Alhasil, film horornya booming, sehingga menghasilkan pundi-pundi materi yang berlimpah. Hasil film horor tersebut memang spektakuler, tetapi adegan seks di dalamnya terlalu berlebihan yaitu adanya adegan menanggalkan baju yang hampir terlihat telanjang bulat. Adegan seks dalam film Maxima Pictures telah melanggar Kode Etik Penyensoran Indonesia karena mengarah pada: (1) Adegan seorang pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang. Bintang film dewasa beradegan yang mengesankan telanjang bulat terlihat pada Rin Sakuragi yang beradegan sedang mandi di air terjun dan mandi di kamar mandi. Maria Ozawa saat berganti pakaian di kamar tidurnya karena bajunya tersiram sayur dan di dalam rumah tua karena bajunya basah kuyup akibat hujan di mana ia akan menggantinya dengan kain sarung. Sora Aoi melepaskan pakaian di toilet atas anjuran lawan main pria untuk mengusir setan. (2) Close up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dengan penutup maupun tanpa penutup. Dalam film horor Maxima Pictures bagian dada dari ketiga bintang film dewasa sering di-close up hingga beberapa kali, sehingga memperlihatkan nafsu para pemain prianya. (3) Adegan, gerakan, atau suara persenggamaan, atau yang memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung. Rin Sakuragi beradegan minum es lilin dan kemudian d jilat-jilat serta menjulurkan lidahnya secara terselubung memberikan kesan persenggamaan. Begitupun dengan Sora Aoi yang menunjukkan keinginannya untuk pergi ke tempat karaoke kepada pemain prianya. Sedangkan suara persenggamaan, seperti mendesah, dimainkan oleh Shinta Bachir. PENUTUP: Bintang film dewasa yang terlibat dalam pembuatan film horor Indonesia melaksanakan tugas-tugasnya sebagai tenaga kerja spesialis dalam sebuah industri. Oleh karena itu, keterlibatannya sangat berpengaruh pada pemasaran dan penjualan baik pada saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja spesialis, bintang film dewasa diperlakukan lebih istimewa dibandingkan tenaga kerja lainnya baik dari segi bayaran maupun fasilitas yang didapat. Seks dan bintang film dewasa dalam industri film horor menjadi bisnis yang menjanjikan. Seks muncul dalam film horor dikarenakan adanya pangsa pasar di mana masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dikarenakan pada waktu itu sedang digandrungi dan populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Perpaduan kedua hal tersebut membuat industri film meraup keuntungan yang berlimpah. DAFTAR PUSTAKA: Adorno, Theodor W. (1991). The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. New York: Routledge.; Livingston, Paisley dan Carl Plantinga. (2009). The Routledge Companion to Philosophy and Film. New York: Routledge.; McDonald, Paul. (2000). The Star System: Hollywood’s Production of Popular Identities. London: Wallflower Publishing.; Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication. 2nd Edition. London: Sage Publications.; Rusdiarti, Suma Riella. (2009). Film Horor Indonesia: Dinamika Genre. Universitas Indonesia.;Schement, Jorge Reina. 2002. Encyclopedia of Communication and Information. New York: Gale Group. }, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/2806} }
Refworks Citation Data :
Bintang Film Dewasa sebagai Komoditas dalam Film Horor IndonesiaWilis Windiasih (D2C009061)AbstrakMenonjolkan pornografi dan menggunakan bintang film dewasa, seperti Rin Sakuragi, Maria Ozawa, Sora Aoi, Tera Patrick, Sasha Grey, dan Vicky Vette, dalam film horor Indonesia menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Adanya seks dan bintang film dewasa mengubah film horor menjadi film yang penuh dengan adegan vulgar dan erotis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pembuatan film horor dan alasan utama yang mendasari industrialis perfilman memproduksi film horor berbau seks dengan melibatkan bintang film dewasa. Teori yang digunakan yaitu Culture Industry (Theodor W. Adorno, 1991) dan Star System (Paul McDonald, 2000). Tipe penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dikaji dengan analisis ekonomi politik media. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview kepada producer, casting manager, script writer, dan general manager Maxima Pictures.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bintang film dewasa yang terlibat dalam pembuatan film horor Indonesia melaksanakan tugas-tugasnya sebagai tenaga kerja spesialis dalam sebuah industri. Oleh karena itu, keterlibatannya sangat berpengaruh pada pemasaran dan penjualan film baik pada saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja spesialis, bintang film dewasa diperlakukan istimewa dibandingkan tenaga kerja lainnya baik dari segi bayaran maupun fasilitas yang didapat. Seks dan bintang film dewasa dalam industri film horor menjadi bisnis yang mendatangkan keuntungan berlimpah. Seks muncul dalam film horor dikarenakan adanya pangsa pasar di mana masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dikarenakan pada waktu itu sedang digandrungi dan populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hasil lainnya, yaitu industrialis perfilman tetap memperhatikan nilai, tema, dan pesan dalam memproduksi film horor berbau seks yang melibatkan bintang film dewasa. Namun, ketiga hal tersebut sangat kecil kemungkinannya tersampaikan kepada penonton karena film dibuat semata-mata untuk kepentingan komersil. Industrialis perfilman juga memperhatikan kode etik di mana dialog, adegan, dan penyampaiannya yang tidak mendetail saat menampilkan adegan seks dalam film horor.Kata kunci: ekonomi politik media, industri film horor, seks, bintang film dewasaPorn Star as a Commodity in Indonesian Horror MoviesWilis Windiasih (D2C009061)AbstractHighlight the use of pornography and porn stars, like Rin Sakuragi, Maria Ozawa, Sora Aoi, Tera Patrick, Sasha Grey, and Vicky Vette, in Indonesian horror movies become promising business field. The existence of sex and porn stars alter horror movies into a film filled with vulgar and erotic scenes. The purpose of this study are to determine the process of making horror movies and the main reason underlying the film industrialist producing sexist horror movies involving porn stars. The theory used the Culture Industry (Theodor W. Adorno, 1991) and the Star System (Paul McDonald, 2000). This type of research is a qualitative descriptive phenomenological approach and studied by analysis of the political economy of media. Data is collected by in-depth interview to producer, casting manager, script writer, and general manager of Maxima Pictures.These results indicate that porn stars are involved in the manufacture of Indonesian horror movies to perform his duties as a labor specialist in an industry. Therefore, their involvement are very influential in the marketing and sales of both films during preproduction, production, postproduction, distribution, and exhibition. Because as a labor specialist, porn stars are treated more special than other workers in terms of pay and facilities acquired. Sex and porn stars in the horror movie industry become a profitable business abound. Sex appeared in horror movies because of where the market share of Indonesian society with things like that pornography. The involvement of porn stars because at the time they are loved and popular among the people of Indonesia. Other results, the movie industralist still consider the values, themes, and messages in producing sexist horror movies involving porn stars. However, three things are much less likely conveyed to the audience because the films are made solely for commercial purposes. The movie industrialist also pay attention to the code of ethics in which dialogue, scenes, and delivery time are not detailed while displaying sex scenes in horror movies.Keywords: political economy of media, horror movie industry, sex, porn starBintang Film Dewasa sebagai Komoditas dalam Film Horor IndonesiaWilis Windiasih, Dra. Taufik Suprihatini, M. Si (dosen pembimbing I), Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si (dosen pembimbing II)PENDAHULUAN: Salah satu fungsi film (film horor) adalah sebagai media hiburan. Film horor merupakan salah satu genre film yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Melihat peluang tersebut, para industrialis perfilman berlomba-lomba memproduksi film horor dengan kemasan semenarik mungkin. Karena begitu digemari oleh masayarakat luas, maka perkembangannya pun begitu pesat. Hingga akhirnya film horor mengalami masa keemasan, yaitu di era 80-an dan 2000-an. Masa keemasan di sini tidak hanya ditandai oleh banyaknya penonton yang antusias terhadap film di era tersebut, tetapi juga kualitas dari film itu sendiri. Di era 80-an, film horor Indonesia lebih banyak dibintangi oleh Suzanna Martha Frederika van Osch, seperti film Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Telaga Angker (1984), dan Malam Jumat Kliwon (1985). Tahun 2000-an ditandai dengan munculnya film Jelangkung (2001) yang mencapai penonton hingga 5,7 juta dan Kuntilanak (2006) dengan 2,4 juta penonton (Cheng dan Barker, 2011: 200). Karena begitu ketatnya persaingan dalam industri film horor, maka sang produser mencari inovasi dan gebrakan baru terhadap film horor, sehingga filmnya berbeda dengan lainnya. Muncullah bintang film dewasa dari Jepang, seperti Rin Sakuragi, Maria Ozawa, dan Sora Aio yang digunakan oleh rumah produksi Maxima Pictures dengan Produsernya Ody Mulya Hidayat, serta bintang film dewasa dari Amerika, seperti Tera Patrick, Sasha Grey, dan Vicky Vette yang dikontrak oleh rumah produksi K2K Production dengan produsernya yaitu KK Dheeraj.Adanya bintang film dewasa yang terlibat dalam film horor Indonesia, maka perannya pun sangat dekat dengan hal-hal yang berbau pornografi. Jadi, film horor tersebut menonjolkan seks di dalamnya. Menurut Karl Heider seks merupakan salah satu dari tiga formula ampuh yang digunakan dalam film horor Indonesia, yaitu seks, komedi, dan religi (Rusdiarti, 2009: 11). Adanya perpaduan seks dan bintang film dewasa, ternyata menarik perhatian banyak penonton. Akhirnya, industrialis dapat menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari penjualan filmnya. dapt dikatakan bahwa film merupakan menjadi salah satu produk dari industri budaya (culture industry). Dalam memasarkan produknya, industri budaya menggunakan strategi penggunaan seorang bintang (star system). Kemudian bintang tersebut mengalami komodifikasi tenaga kerja. Melihat fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui bagaimana proses pembuatan film yang melibatkan bintang film dewasa dalam film horor Indonesia dan ingin mengetahui alasan utama yang mendasari industrialis perfilman memproduksi film horor berbau seks dengan melibatkn bintang film dewasa.PEMBAHASAN: Menurut Carrol horor dapat diartikan sebagai sesuatu yang berusaha untuk membangkitkan ketakutan dan hal yang menjijikkan yang ditujukan langsungkepada sebuah monster yaitu makhluk yang dianggap mengancam. Definisi monster yang dimaksud oleh Carroll adalah makhluk-makhluk yang mengerikan. Sedangkan menurut Freeland, horor diartikan sebagai sesuatu yang berusaha untuk mengeksplorasi segala bentuk kejahatan (Livingston dan Plantinga, 2009: 46). Jadi film horor, menurut Vincent Pinell, diartikan sebagai film yang penuh dengan ekspoitasi unsur-unsur horor yang bertujuan untuk membangkitkan ketegangan penonton (Rusdiarti, 2009: 2). Menurut Charles Derry, film horor dibagi menjadi tiga subgenre, yaitu horror of personality (horor psikologis), horrof of armageddon (horor bencana), dan horror of demonic (horor hantu) (Rusdiarti, 2009: 2-3). Horor of personality dihadapkan pada tokoh-tokoh manusia biasa yang tampak normal, tetapi di akhir film mereka memperlihatkan sisi “iblis” atau “monster” mereka. Biasanya mereka adalah individu-individu yang “sakit jiwa” atau terasing secara sosial. Horror of armageddon adalah jenis film horor yang mengangkat ketakutan laten manusia pada hari akhir dunia atau hari kiamat. Manusia percaya bahwa suatu hari dunia akan hancur dan umat manusia akan binasa. Horror of demonic merupakan film yang paling dikenal dalam dunia perfilman horor. Menurut Derry, film jenis ini menawarkan tema tentang dunia (manusia) yang menderita ketakutan karena kekuatan setan menguasai dunia dan mengancam kehidupan umat manusia. Subgenre horor hantu inilah yang sering digunakan dalam film horor Indonesia. Hantu yang sering digunkanan adalah jenis hantu kuntilanak dan pocong.Dalam perkembangannya, film horor mengalami modifikasi dan muncullah konsep sex-horror-comedy. Film horor Indonesia antara tahun 2009 hingga 2011 lebih banyak didominasi film-film yang menonjolkan pornografi di dalamnya, seperti Suster Keramas yang dimainkan oleh Rin Sakuragi, Hantu Tanah Kusir oleh Maria Ozawa, dan Suster Keramas 2 oleh Sora Aoi. Ketiga film tersebut merupakan produksi Maxima Pictures. Adanya seks dalam film horor mereka karena masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dari Jepang karena memang ketiga bintang tersebut sedang digandrungi oleh masayarakat Indonesia. Fenomena semacam ini disebut sebagai culture industry. Film horor kini menjadi salah satu produk industri budaya. Artinya, film horor merupakan sebuah fenomena yang diangkat dari budaya yang ada di masyarakat Indonesia. Kemudian, film horor tersebut dijadikan sebuah konsumsi massa. Jadi, produk industri budaya tidak ada dengan sendiri, melainkan telah melalui proses perencanaan yang dibuat oleh para industrialis yaitu produser. Dapat dikatakan bahwa industri budaya (culture industry) merupakan sebuah komodifikasi dan industrialisasi budaya, dikelola dari atas dan diproduksi untuk mendatangkan keuntungan (Schement, 2002: 209). Dalam memasarkan produknya, industri budaya menggunakan salah satu strategi yaitu penggunaan seorang bintang. Jadi, Maxima Pictures untuk memasarkan filmnya menggunakan star system dalam produksinya. Dalam rangkaian pertukaran komersial, bintang menjadi bentuk modal yang merupakan aset untuk membuat dan mendapatkan keuntungan dalam pasar hiburan. Bintang film dewasa yang berasal dari Jepang menjadi aset yang berharga karena dengan nama besarnya dan ketenarannya di dunia pornografi, industri film akan meraup keuntungan yang berlimpah. Dapat dikatakan bahwa bintang film dewasa dianggap sebagai sebuah citra, sebagai modal, dan sebagai tenaga kerja dalam indsutri film horor Indonesia.Bintang sebagai citra dibangun dalam berbagai kategori teks, yang tidak hanya penampilan bintang film, tetapi juga bentuk-bentuk publisitas dan promosi (McDonald, 2000: 7). Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap citra bintang adalah karakter yang mereka mainkan dan gaya kinerja mereka gunakan untuk menggambarkan peran itu. Citra Rin Sakuragi, Maria Ozawa, dan Sora Aoi terbentuk dari dunia pornografi. Peran dan kinerjanya dalam memainkan adegan-adegan seks dalam blue film membawa namanya hingga ke kancah internasional. Melihat peluang tersebut, Maxima Pictures memanfaatkan ketiga bintang film tersebut karena mereka merupakan ikon dalam dunia pornografi. Dengan demikian, Maxima Pictures tidak bersusah payah untuk mendapatkan market filmnya karena dengan adanya bintang film dewasa secara otomatis akan menarik perhatian penonton.Bintang juga menjadi bentuk modal karena dalam komersial industri film, ia adalah aset berharga bagi sebuah perusahaan produksi. Bintang adalah bentuk investasi yang digunakan dalam produksi film sebagai penjaga terhadap kemungkinan kerugian. Upah bintang sebagian besar dari anggaran setiap film dan bintang juga merupakan alat pemasaran, yang citranya dipromosikan dengan maksud untuk mempengaruhi pasar hiburan. Cathy Klaprat melihat nilai dari bintang melalui prinsip-prinsip ekonomi produk diferensiasi dan inelastisitas permintaan (McDonald, 2000:11). Klaprat berpendapat bahwa diferensiasi bintang secara teoritis bisa menstabilkan permintaan, menciptakan konsistensi kinerja box office untuk sebuah bintang film, sehingga memungkinkan distributor untuk menaikkan harga produk mereka terhadap exhibitors. Diferensiasi bintang itu menjadi strategi yang berharga karena menawarkan cara untuk tidak hanya menstabilkan harga film tetapi juga meningkatkan harga terhadap produk tertentu. Bintang film dewasa yang ada dalam film horor Maxima Pictures memang menjadi aset yang berharga. Bintang film dewasa tersebut diharapkan akan membawa keuntungan bagi Maxima Pictures. Keuntungan di sini tentulah keuntungan materi yang akan diperoleh industri tersebut. Hal tersebut akan berdampak pada penjualan tiket di bisokop 21 di seluruh nusantara. Tingginya penjualan yang diperoleh film horor yang dibintangi oleh bintang film dewasa, maka film Maxima Pictures dapat bertahan satu setengah bulan untuk diputar di bioskop tersebut.Bintang adalah orang yang bekerja di dalam industri film dan dengan demikian mereka merupakan bagian dari tenaga kerja dari produksi film. Peran bintang dalam industri tersebut tidak hanya terbatas pada fungsi mereka dalam proses pembuatan film, tetapi juga pada proses distribusi dan pameran (McDonald, 2000: 5). Oleh karena itu, bintang film dewasa yang digunakan oleh Maxima Pictures sebagai alat promosi yang akan membantu pemasaran dan penjualannya baik saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja, seorang bintang mengalami sebuah komofidikasi tenaga kerja. Komodifikasi tenaga kerja direproduksi melalui proses eksploitasi absolut (memperpanjang hari kerja) dan eksploitasi relatif (intensifikasi proses kerja) yang memperdalam ekstraksi nilai lebih (Mosco, 2009: 131). Hal tersebut melibatkan perpanjangan hari kerja untuk upah yang sama dan untuk mengintensifkan proses tenaga kerja melalui kontrol yang lebih besar atas penggunaan waktu kerja, termasuk pengukuran dan sistem pemantauan untuk mendapatkan lebih banyak tenaga kerja keluar dari unit waktu kerja. Dengan kata lain, dalam komodifikasi tenaga kerja telah menciptakan nilai absolut dan relatif. Komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar, dariproduk transformasi yang nilainya ditentukan oleh kemampuan pemilik modal untuk memenuhi individu dan kebutuhan sosial ke dalam produk yang nilainya ditetapkan oleh harga pasar mereka (Mosco, 2009: 132).Dalam pembagian kerja, bintang dikategorikan sebagai spesialis kinerja di mana bintang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu (McDonald, 2000: 9). Apa yang dilakukan oleh bintang film dewassa merupakan tanggung jawab spesialis bintang dalam pembagian perburuhan. Bintang dapat dikategorikan sebagai spesialis kinerja, tetapi posisi mereka dalam industri juga ditandai dengan status hierarkis mereka. Dane Clark menjelaskan perbedaan antara bintang dan pemain biasa dalam hal kekuatan perbedaan kerja (McDonald, 2000: 10). Bagi Clark, setiap pemahaman tentang sistem bintang tidak bisa berkonsentrasi secara eksklusif pada pemain dengan status bintang, tetapi harus melihat bintang sebagai posisi relatif dalam kondisi tenaga kerja. Meskipun istilah star system mengacu pada hirarki kelembagaan yang dibentuk untuk mengatur dan mengontrol pekerjaan dan penggunaan semua aktor, bintang telah menjadi kelas istimewa dalam pembagian kerja. Melihat sistem bintang dengan cara ini menuntut pertimbangan daya yang melekat pada bintang dalam industri film. Bintang film dewasa yang turut main dalam film horor Maxima Pictures, posisinya lebih istimewa dibanding dengan pemain maupun tim lapangan lainnya. Hal tersebut terlihat pada bayaran yang diterima oleh bintang film dewasa mencapai 1,5 milyar rupiah dan fasilitas yang diperoleh, seperti penyambutan dengan polisi, hotel bintang lima, dan ke mana-mana dikawal oleh bodyguard. Keistimewaan tersebut dikarenakan bintang film dewasa mempunyai nama yang terkenal dan menjadi ikon, meski mereka menjadi ikon dalam blue film bukan dalam public film. Daya yang melekat pada ketiga bintang tersebut sebagai seorang bintang film dewasa, yaitu molek, seksi, menggoda, dan menggairahkan.Fenomena film horor sebagai sebuah industri budaya yaitu dengan menggabungkan unsur horor dan seks yang lebih dominan, menjadi bisnis yang menjanjikan bagi perusahaan Maxima Pictures. Untuk menarik perhatian penonton, mereka tidak tanggung-tanggung dalam memproduksi film horornya yaitu dengan melibatkan bintang film dewasa untuk memainkan adegan-adegan syur dan erotis. Dengan kata lain, Maxima Pictures menggunakan star system dalam film horor Suster Keramas, Hantu Tanah Kusir, dan Suster Keramas 2. Apa yang dilakukan oleh industri tersebut hanyalah memanfaatkan peluang yang ada dengan dasar melihat apa yang sedang tren pada waktu itu. Bintang film dewasa dari Jepang begitu populer pada saat itu. Secara cerdik Maxima Pictures langsung mengadakan kontrak kerjasama dengan manajemen bintang film dewasa tersebut. Tentulah masyarakat penasaran terhadap film horor tersebut karena ingin mengetahui seperti apa bintang film dewasa ketika main dalam film yang bersifat publik.Walau Maxima Pictures melihat berdasarkan tren yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, tetapi film horor yang disuguhkan tidak semata-mata untuk memenuhi keinginan khalayak. Tujuan utama Maxima Pictures adalah untuk kepentingan komersil dengan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Film yang diproduksi lebih mengarah pada kemauan industri tersebut yaitu mencampurkan pornografi di dalamnya untuk diperankan oleh bintang film dewasa. Maxima Pictures yakin bahwa filmnya akan laku keras di pasaran. Alhasil, film horornya booming, sehingga menghasilkan pundi-pundi materi yang berlimpah. Hasil film horor tersebutmemang spektakuler, tetapi adegan seks di dalamnya terlalu berlebihan yaitu adanya adegan menanggalkan baju yang hampir terlihat telanjang bulat.Adegan seks dalam film Maxima Pictures telah melanggar Kode Etik Penyensoran Indonesia karena mengarah pada: (1) Adegan seorang pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang. Bintang film dewasa beradegan yang mengesankan telanjang bulat terlihat pada Rin Sakuragi yang beradegan sedang mandi di air terjun dan mandi di kamar mandi. Maria Ozawa saat berganti pakaian di kamar tidurnya karena bajunya tersiram sayur dan di dalam rumah tua karena bajunya basah kuyup akibat hujan di mana ia akan menggantinya dengan kain sarung. Sora Aoi melepaskan pakaian di toilet atas anjuran lawan main pria untuk mengusir setan. (2) Close up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dengan penutup maupun tanpa penutup. Dalam film horor Maxima Pictures bagian dada dari ketiga bintang film dewasa sering di-close up hingga beberapa kali, sehingga memperlihatkan nafsu para pemain prianya. (3) Adegan, gerakan, atau suara persenggamaan, atau yang memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung. Rin Sakuragi beradegan minum es lilin dan kemudian d jilat-jilat serta menjulurkan lidahnya secara terselubung memberikan kesan persenggamaan. Begitupun dengan Sora Aoi yang menunjukkan keinginannya untuk pergi ke tempat karaoke kepada pemain prianya. Sedangkan suara persenggamaan, seperti mendesah, dimainkan oleh Shinta Bachir.PENUTUP: Bintang film dewasa yang terlibat dalam pembuatan film horor Indonesia melaksanakan tugas-tugasnya sebagai tenaga kerja spesialis dalam sebuah industri. Oleh karena itu, keterlibatannya sangat berpengaruh pada pemasaran dan penjualan baik pada saat preproduction, production, postproduction, distribution, dan exhibition. Karena sebagai tenaga kerja spesialis, bintang film dewasa diperlakukan lebih istimewa dibandingkan tenaga kerja lainnya baik dari segi bayaran maupun fasilitas yang didapat. Seks dan bintang film dewasa dalam industri film horor menjadi bisnis yang menjanjikan. Seks muncul dalam film horor dikarenakan adanya pangsa pasar di mana masyarakat Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau pornografi. Adanya keterlibatan bintang film dewasa dikarenakan pada waktu itu sedang digandrungi dan populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Perpaduan kedua hal tersebut membuat industri film meraup keuntungan yang berlimpah.DAFTAR PUSTAKA: Adorno, Theodor W. (1991). The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. New York: Routledge.; Livingston, Paisley dan Carl Plantinga. (2009). The Routledge Companion to Philosophy and Film. New York: Routledge.; McDonald, Paul. (2000). The Star System: Hollywood’s Production of Popular Identities. London: Wallflower Publishing.; Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication. 2nd Edition. London: Sage Publications.; Rusdiarti, Suma Riella. (2009). Film Horor Indonesia: Dinamika Genre. Universitas Indonesia.;Schement, Jorge Reina. 2002. Encyclopedia of Communication and Information. New York: Gale Group.
Last update:
Interaksi Online, is published by Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jln. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah 50275; Telp. (024)7460056, Fax: (024)7460055
Interaksi Online by http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/interaksi-online is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.