BibTex Citation Data :
@article{DLJ12252, author = {Fitri Ayu Lestari*, Nabitatus Saadah, Muhamad Azhar}, title = {TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN IZIN PEMANFAATAN PANAS BUMI PADA HUTAN KONSERVASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI}, journal = {Diponegoro Law Journal}, volume = {5}, number = {3}, year = {2016}, keywords = {Izin Panas Bumi, Hutan Konservasi, Pemanfaatan Panas Bumi}, abstract = { Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap peran energi fosil yang semakin berkurang jumlahnya. pemerintah meningkatkan pengembangan pemanfaatan energi panas bumi guna memenuhi kebutuhan energi nasional. UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi hadir sebagai landasan hukum pengelolaan panas bumi. Tujuan Penelitian ini adalah pertama, mengetahui pengaturan pengelolaan dan pemberian izin panas bumi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi ; kedua, mengetahui alasan pemerintah belum menerbitkan izin panas bumi di kawasan hutan konservasi. Ketiga, menguraikan hambatan yang ditemukan dalam implementasi pemberian izin panas bumi pada wilayah hutan konservasi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi khususnya WKP Cisolok Cisukarame, Sukabumi, Jawa Barat. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan normaif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian lapangan untuk meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian digabungkan dengan data dan fakta yang terjadi di masyarakat. Hasil Penelitian menujukan bahwa UU Nomor 21 Tahun 2014 membagi secara tegas kewenangan pemerintah dalam pengelolaan panas bumi baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan letak potensi panas bumi berada. Pengelolaan panas bumi dibagi menjadi dua bentuk yakni pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Khusus untuk pemanfaatan tidak langsung, kewenangan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Prosedur pemberian izin panas bumi dilakukan setelah pemerintah melakukan penetapan wilayah kerja panas bumi (WKP) dan penawaran WKP. Pemerintah belum bisa menerbitkan perizinan di kawasan hutan konservasi karena peraturan perundang-undangan turunan dari UU Nomor 21 Tahun 2014 belum terbentuk. Perizinan di kawasan hutan konservasi juga mengalami beberapa hambatan antara lain: (a) hambatan regulasi; (b) keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia; (c) minat investasi yang masing rendah; dan (d) keterbatasan infrastruktur energi. }, issn = {2540-9549}, pages = {1--20} doi = {10.14710/dlj.2016.12252}, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/12252} }
Refworks Citation Data :
Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap peran energi fosil yang semakin berkurang jumlahnya. pemerintah meningkatkan pengembangan pemanfaatan energi panas bumi guna memenuhi kebutuhan energi nasional. UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi hadir sebagai landasan hukum pengelolaan panas bumi. Tujuan Penelitian ini adalah pertama, mengetahui pengaturan pengelolaan dan pemberian izin panas bumi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi; kedua, mengetahui alasan pemerintah belum menerbitkan izin panas bumi di kawasan hutan konservasi. Ketiga, menguraikan hambatan yang ditemukan dalam implementasi pemberian izin panas bumi pada wilayah hutan konservasi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi khususnya WKP Cisolok Cisukarame, Sukabumi, Jawa Barat. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan normaif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian lapangan untuk meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian digabungkan dengan data dan fakta yang terjadi di masyarakat. Hasil Penelitian menujukan bahwa UU Nomor 21 Tahun 2014 membagi secara tegas kewenangan pemerintah dalam pengelolaan panas bumi baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan letak potensi panas bumi berada. Pengelolaan panas bumi dibagi menjadi dua bentuk yakni pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Khusus untuk pemanfaatan tidak langsung, kewenangan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Prosedur pemberian izin panas bumi dilakukan setelah pemerintah melakukan penetapan wilayah kerja panas bumi (WKP) dan penawaran WKP. Pemerintah belum bisa menerbitkan perizinan di kawasan hutan konservasi karena peraturan perundang-undangan turunan dari UU Nomor 21 Tahun 2014 belum terbentuk. Perizinan di kawasan hutan konservasi juga mengalami beberapa hambatan antara lain: (a) hambatan regulasi; (b) keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia; (c) minat investasi yang masing rendah; dan (d) keterbatasan infrastruktur energi.
Article Metrics:
Last update:
View My Stats
EDITORIAL ADDRESSDiponegoro Law JournalFaculty of Law, Universitas DiponegoroSatjipto Rahardjo Building, Jl. dr. Antonius Suroyo, Tembalang, Semarangdiponegorolawjournal@gmail.comhttps://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr024 - 76918201 (telp) / 024 - 76918206 (fax)