BibTex Citation Data :
@article{TPWK6801, author = {Agnes Helena and Agung Sugiri}, title = {KAJIAN PARTISIPASI KOMUNITAS MARGINAL DALAM PENATAAN KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG}, journal = {Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota)}, volume = {3}, number = {4}, year = {2014}, keywords = {Kawasan Konservasi, Komunitas Marginal, Perencanaan Bottom Up, Perencanaan Partisipatif, Perencanaan Top Down}, abstract = { Abstrak: Perencanaan saat ini sebagian besar bersifat top down yang hanya dikendalikan oleh elit pemangku kepentingan. Hal ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian dalam proses pelaksanaannya. Terkadang proses perencanaan secara top down kurang menyentuh permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat karena seluruh proses di lakukan oleh elit pemangku kepentingan. Untuk itu perlu adanya pelibatan peran masyarakat dalam berbagai proses perencanaan agar aspirasi mereka dapat tersalurkan sehingga perencanaan yang dibuat tetap relevan dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat. Kawasan Kota Lama Semarang merupakan kawasan bersejarah yang dikonservasi dimana terdapat komunitas-komunitas marginal didalamnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa komunitas marginal yang ada telah menjadi bagian dari kawasan Kota Lama Semarang. Beberapa komunitas marginal yang dapat ditemukan seperti tukang becak, PKL, penjual ayam bangkok, pemulung, tuna wisma, pengumpul barang rongsok serta bangunan-bangunan liar. Keberadaan komunitas marginal di kawasan Kota Lama sedikit banyak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya yang semakin kotor dan kumuh. Dari komunitas-komunitas marginal tersebut, hanya becak dan PKL yang diatur keberadaannya dalam RTBL Kota Lama, dan dapat dikatakan keberadaannya legal. Bentuk partisipasi dan pelibatan komunitas marginal yang dilakukan pemerintah apabila dikaitkan dengan tangga Arnstein, termasuk pada tangga Therapy dan Informing. Dimana pemerintah hanya memberikan informasi satu arah kepada komunitas marginal berupa penggusuran dan berpindah tempat saat kegiatan-kegiatan tertentu. Pada tangga informing, pemerintah hanya meminta pendapat dari komunitas marginal tanpa adanya jaminan bahwa pendapat tersebut akan diikutsertakan dalam proses pembangunan. Belum adanya upaya pemerintah untuk membahas penataan Kota Lama bersama komunitas marginal yang menjadi bagian dari kawasan Kota Lama, membuat komunitas-komunitas marginal yang ada enggan untuk berpartisipasi dan merasa acuh tak acuh. Menurut pemerintah terkait, banyak kendala dalam menertibkan komunitas marginal untuk menata kawasan Kota Lama. Banyaknya komunitas marginal yang merupakan pendatang serta tidak adanya pendataan yang jelas membuat komunitas marginal ini semakin sulit untuk ditertibkan. Walaupun banyak kendala, seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam menertibkan komunitas marginal, terlebih dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terkait penataan Kota Lama seperti RTBL, dan Grand Design kawasan Kota Lama. }, issn = {2338-3526}, pages = {964--978} doi = {10.14710/tpwk.2014.6801}, url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6801} }
Refworks Citation Data :
Abstrak: Perencanaan saat ini sebagian besar bersifat top down yang hanya dikendalikan oleh elit pemangku kepentingan. Hal ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian dalam proses pelaksanaannya. Terkadang proses perencanaan secara top down kurang menyentuh permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat karena seluruh proses di lakukan oleh elit pemangku kepentingan. Untuk itu perlu adanya pelibatan peran masyarakat dalam berbagai proses perencanaan agar aspirasi mereka dapat tersalurkan sehingga perencanaan yang dibuat tetap relevan dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat.
Kawasan Kota Lama Semarang merupakan kawasan bersejarah yang dikonservasi dimana terdapat komunitas-komunitas marginal didalamnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa komunitas marginal yang ada telah menjadi bagian dari kawasan Kota Lama Semarang. Beberapa komunitas marginal yang dapat ditemukan seperti tukang becak, PKL, penjual ayam bangkok, pemulung, tuna wisma, pengumpul barang rongsok serta bangunan-bangunan liar. Keberadaan komunitas marginal di kawasan Kota Lama sedikit banyak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya yang semakin kotor dan kumuh. Dari komunitas-komunitas marginal tersebut, hanya becak dan PKL yang diatur keberadaannya dalam RTBL Kota Lama, dan dapat dikatakan keberadaannya legal.
Bentuk partisipasi dan pelibatan komunitas marginal yang dilakukan pemerintah apabila dikaitkan dengan tangga Arnstein, termasuk pada tangga Therapy dan Informing. Dimana pemerintah hanya memberikan informasi satu arah kepada komunitas marginal berupa penggusuran dan berpindah tempat saat kegiatan-kegiatan tertentu. Pada tangga informing, pemerintah hanya meminta pendapat dari komunitas marginal tanpa adanya jaminan bahwa pendapat tersebut akan diikutsertakan dalam proses pembangunan. Belum adanya upaya pemerintah untuk membahas penataan Kota Lama bersama komunitas marginal yang menjadi bagian dari kawasan Kota Lama, membuat komunitas-komunitas marginal yang ada enggan untuk berpartisipasi dan merasa acuh tak acuh.
Menurut pemerintah terkait, banyak kendala dalam menertibkan komunitas marginal untuk menata kawasan Kota Lama. Banyaknya komunitas marginal yang merupakan pendatang serta tidak adanya pendataan yang jelas membuat komunitas marginal ini semakin sulit untuk ditertibkan. Walaupun banyak kendala, seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam menertibkan komunitas marginal, terlebih dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terkait penataan Kota Lama seperti RTBL, dan Grand Design kawasan Kota Lama.
Article Metrics:
Last update: